Ham, Syariat Dan Realitas Sosial

0
193

Kajian HAM acapkali dianggap kontra dan tersekat dari diskursus keislaman. Bahkan ada plesetan bahwa HAM adalah singkatan untuk Hak Asasi Maksiat atau Hak Asasi Mesum dengan mencontohkan kebebasan yang kebablasan sebagaimana beberapa fenomena dan kasus di Amerika Serikat. Dikotomi ini semakin memperuncing oposisi biner: Islam versus Barat, dan (Institusionalisasi) Syariat versus HAM. Menurut penulis, dikotomi seperti ini pada ranah tertentu memang eksis, namun hanya berada di satu lapisan perspektif dari keseluruhan diskursif tentang persoalan kemanusiaan dan kehidupan sosial politik kita. Oleh karena itu, penulis hendak membuka prolog singkat terhadap lapisan perspektif lain dari perdebatan ini.

Hak asasi manusia adalah reaksi umat manusia atas sejarahnya bersama. begitulah ungkapan Peter Berger dalam buku klasiknya Piramida Kurban Manusia yang secara sederhana dan tepat menggambarkan pemahaman tentang hak asasi manusia atau HAM. Hak asasi manusia, meski istilahnya dipopulerkan oleh negara-negara Barat melalui Deklarasi HAM PBB tahun 1948, bukanlah produk Barat an sich yang dikonstruksi secara mentah, melainkan hasil dari pergerumulan sejarah umat manusia bersama.

Jika dianalogikan secara sederhana, HAM ibarat sebuah pakaian. Pada intinya, semua manusia memerlukan pakaian untuk melindungi tubuhnya dari kondisi lingkungan fisik di sekitarnya: cuaca, kotoran, ancaman penyakit, sekaligus mengikuti norma sosial dimana dia berada: norma kesopanan dan adat. Sama halnya dengan konsep pakaian, HAM pada dasarnya bersifat universal karena ia merupakan instrumen manusia untuk mendapat zona imunnya secara sosial, yaitu zona perlindungan dimana ia adalah individu utuh dengan seperangkat haknya sebagai manusia yang dibawa sejak ia berada dalam kandungan hingga akhir hayatnya. Namun, sebagaimana juga pakaian, konsep HAM itu sendiri inheren dalam diri manusia sebagai individu dan anggota kelompok sekaligus, sehingga mau tidak mau dalam derajat tertentu HAM melebur dengan realita dimana konteks sosial suatu masyarakat itu berada.

Derivasi dari konsep ini adalah ibarat perbedaan jenis pakaian di negara yang berbeda iklim. Pakaian di negara Eropa yang bersalju berbeda dengan pakaian di wilayah Sahara Afrika misalnya, tergantung dari tantangan dan kondisi eksternal yang harus dihadapi oleh masyarakat tertentu. Meski contoh tersebut terkesan naif, namun sebenarnya relevan pada tahap yang sangat mendasar. Pada dasarnya tidak ada sesuatu yang tunggal absolut dalam suatu konsep ketika bersentuhan dengan partikularitas realita sosial pada masyarakat yang amat beragam di seluruh penjuru dunia. Namun, semua keberagaman itu memiliki satu titik inti yang hakiki, titik yang ada di diri setiap manusia terlepas dari betapa fluktuatif dan superfisialnya kehidupan yang dibangun manusia modern. Titik inti ini adalah rasa kemanusiaan itu sendiri, yang membuat HAM tersingkap sebagai reaksi umat manusia atas sejarahnya bersama yaitu sejarah akan peperangan, konflik, dan pertumpahan darah penderitaan dan luka sejarah yang mau tidak mau secara perlahan membentuk kehidupan modern, dan pada saat yang sama juga merangkum pelajaran dari sejarah tentang perlunya sebuah tindakan kolektif atau perkumpulan yang bersifat global untuk merespon dan membentuk masa depan yang lebih baik. Karena itulah di abad 20 muncul Perserikatan Bangsa-Bangsa serta beragam konvensi perlindungan hak asasi manusia, terlepas dari persoalan dinamika politik global yang juga bermain disitu dalam prakteknya.

Kalau kita tengok ke belakang, Nabi Muhammad SAW pada tahun 622 M telah mencetuskan Piagam Madinah yang fenomenal. Piagam tersebut tidak lain juga mengandung dua unsur: universalitas hak asasi manusia, sekaligus partikularitasnya sebagai respon atas konteks sosial historis pada masa itu. Universalitas hak asasi manusia yang dimaksud disini adalah perjanjian akan hak-hak individu, sosial, dan politik yang didapat oleh suku Yahudi di Madinah yang dijamin oleh otoritas tertinggi, yaitu Nabi pada saat itu. Piagam ini juga upaya menyatukan kekuatan melalui penghilangan permusuhan internal dengan menegakkan keadilan dan perdamaian. Partikularitas konteks sosial historis yang dimaksud adalah piagam ini merupakan strategi humanis sekaligus politis yang dilakukan Nabi untuk membangun basis dakwah dan penyebaran agama Islam. Perselisihan umat Islam dengan kaum Yahudi di Madinah pada saat itu, ditambah permusuhan yang sengit dari kaum kafir Quraish di Mekkah, pada akhirnya membuat penyebaran awal Islam tidak hanya terbatas pada jihad di ujung pedang, melainkan negosiasi dan perjanjian tanpa pertumpahan darah. Dengan pertimbangan itu, Nabi menerapkan aturan yang mendahulu-kan kepentingan dan kebaikan bersama yaitu membangun komunitas solid tanpa rasa takut. Caranya adalah dengan mengakui hak asasi manusia dari tiap-tiap orang dan suku yang berbeda di Madinah, sambil mengusung prasyarat yang tetap diperlukan untuk menegakkan Islam pada saat itu dengan segala konteks kultur Arabnya (yang pada saat itu dianggap masih jahiliyah).

Dengan demikian, andaikan konsep HAM dibenturkan dengan begitu banyak contoh-contoh peristiwa sosial politik yang beragam di tempat yang berbeda untuk menegasikan dan mendekonstruksi term hak asasi manusia itu sendiri, sesungguhnya yang perlu ditelisik adalah lapisan-lapisan dari perspektif penilaian terhadap HAM itu sendiri. Karena konsep itu mustahil tunggal dan absolut, maka yang perlu kita kaji adalah sejauh mana perspektif kritis kita terhadap konsep HAM itu berada apakah pada lapisan partikular atau universal? Apakah pada suatu generalisasi atau fragmen? Apakah pada tataran praktek yang kontekstual atau konsep yang substansial? Jalinan dari perspektif itu ibarat sebuah mozaik dalam kehidupan kosmos manusia: satu realita adalah bagian dari fragmen-fragmen realita yang lain. Untuk itu, penegakkan hak asasi manusia yang paling mendasar adalah bagaimana cara kita memahami kumpulan fragmen ini, yang berada dalam bingkai yang sama bernama kehidupan kemanusiaan.

Kesimpulannya, wacana institusionalisasi syariat Islam di Aceh dengan HAM bukanlah diskursus yang terpisah. Betul bahwa dalam penerapannya terdapat ranah-ranah yang berbeda karena tiap wacana memiliki lingkupnya sendiri, namun secara substansial keduanya tidak bertentangan. Piagam Madinah membangun wacana perlindungan HAM berdasarkan konsensus dan syariat Islam itu sendiri memiliki elemen kemanusiaan yang hukum-hukumnya sendiri sangat mempertimbangkan kondisi dan realita sosial. Dengan membangun harmoni antara syariat Islam yang (memang) berwawasan HAM dan HAM yang berwawasan syariat Islam, maka diharapkan dalam prakteknya tidak akan terjadi diskriminasi, yaitu tidak mengorbankan pelaku pelanggaran dari kaum marjinal saja (perempuan, anak, orang miskin, dsbnya) sebagai pihak terhukum melainkan juga para pelaku pelanggaran yang berada di tingkat penguasa atau aparat pemerintahan. Dengan begitu diharapkan kearifan dalam membedah persoalan antara konsep dan praktek hak asasi manusia dapat berjalan dengan membawa lebih banyak kebaikan dan perdamaian, serta terhindar dari permusuhan, ketakutan, dan absolutisme.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.