Demikian halnya dengan pro kontra yang terjadi di publik khususnya media massa. Perdebatan yang berlangsung sudah tidak lagi substantif pada materi hukum layaknya hukum yang selalu dibuat dengan tinjauan yang dalam, tetapi sudah menjurus pada upaya mengkerdilkan dan mengembangkan prasangka pro dan kontra Syariah. Kelompok yang pro lebih puas menyebut kelompok yang kontra dengan label anti Syariah. Sebutan ini belakangan cenderung efektif untuk menakut-nakuti dan membungkam kelompok yang kontra. Hingga isu Syariah menjadi begitu sensitif untuk dikritisi. Padahal Qanun merupakan produk hukum yang diproduksi di lembaga perwakilan (DPRA) yang merupakan lembaga yang didominasi oleh kekuatan politik.
Tidak jarang pula isu Syariah dijadikan legimitasi untuk melakukan kekerasan dan pelanggaran. Setiap individu maupun kelompok dalam masyarakat dapat bertindak sendiri-sendiri dalam penegakan hukum. Catatan KontraS Aceh sedikitnya 127 kasus kekerasan atas nama Syariah terjadi di Aceh sepanjang tahun 2008. Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara mengatakan dua hal utama yang menyebabkan timbulnya ketidakpastian dalam penerapan hukum; pertama, tidak adanya acuan baku dalam bertindak, dan kedua, masing-masing kelompok mempunyai parameter yang berbeda-beda dalam menilai kejahatan, kebenaran dan keadilan.
Pemicu lainnya adalah ketidakmampuan pemerintah dalam menjalankan peraturan-peraturan yang dibuatnya dalam menegakkan Syariah. Realitas ini telah berlangsung di Aceh sejak Qanun Khamar, Khalwat dan Maisir disahkan. Beberapa kali kita menyaksikan dan membaca di media massa tentang anggota masyarakat yang menindak sendiri pelanggaran atau maksiat yang terjadi dengan alasan sebagai wujud kepedulian terhadap penegakan Syariah di Aceh. Dan seolah telah menjadi kebiasaan pelanggar Syariah dihajar dulu fisiknya baru kemudian diserahkan ke Wilayatul Hisbah.
Untuk menghindari anarki, ulama besar dari Timur Tengah, Prof. Dr. Yusuf Qardhawi menentukan syarat-syarat yang ketat dalam penegakan hukum. Pertama, perkara itu disepakati keharamannya, kedua, kemungkaran itu dilakukan secara terang-terangan, ketiga, para penindak mempunyai kemampuan untuk mengubahnya, keempat, tindakan yang diambil tidak dikhawatirkan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar (Daud Rasyid, 1999).
Syarat yang keempat jarang disinggung dalam pembicaraan-pembicaraan mengenai penegakan hukum, padahal penerapan Syariah di Aceh semakin hari semakin mendapat tantangan yang besar. Apalagi pembatasan mengenai peran dan sejauhmana keterlibatan masyarakat dibolehkan tidak diatur secara konkrit dalam Qanun.
Perlindungan dan Keadilan
Hampir keseluruhan isi dalam Qanun Jinayah tidak menganut kepastian hukum dan keadilan. Kepastian hukum adalah hal yang mendasar dimana ketika suatu peraturan dibuat tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan peraturan tersebut menjadi suatu sistem norma yang tidak berbenturan dengan norma lainnya atau menimbulkan konflik norma. Sehingga siapapun yang membaca Qanun Jinayah harusnya berpikiran sama, baik dalam memaknai bahasa maupun istilah yang digunakan.
Qanun Jinayah yang dihasilkan DPRA periode 2004-2009 juga mengulangi kelemahan yang terdapat dalam 3 Qanun serupa sebelumnya. Salah satunya adalah Qanun tidak berlaku bagi pelanggar Syariah karena melaksanakan peraturan perundang-undangan. Dimasukkannya alasan pembenar dan alasan pemaaf bagi aparatur negara sungguh sangat tidak bisa diterima. Lagi-lagi Syariah hanya menjangkau masyarakat biasa, tidak untuk setiap individu yang ada di Aceh apalagi untuk menjerat para pejabat negara.
Jika demikian pengaturannya, hukum yang dibuat tidak bisa dikatakan ditujukan untuk membangun ketertiban dan keadilan sosial bagi seluruh elemen masyarakat yang ada. Qanun yang dihasilkan hanya memuat teknis prosedural semata sehingga yang terlihat hanya (penegakan) moral dan etika sementara substansi tidak dipikirkan. Harusnya tidak dibenarkan munculnya hukum-hukum yang mendorong atau membiarkan terjadinya jurang sosial yang mendiskriminasikan satu kelompok dengan kelompok lainnya tanpa perlindungan negara. Sebaliknya Qanun-qanun Syariah yang dihasilkan harus mampu memberi jaminan perlindungan dan keadilan bagi setiap individu sebagai subjek dengan tanpa mereduksi nilai-nilai Syariah yang ingin ditegakkan.
Penegasan kembali bahwa isi Qanun merupakan produk politik yang disepakati oleh lembaga yang berwenang membuatnya berdasarkan situasi dan pada waktu tertentu. Jika situasi dan keadaran masyarakat berubah maka produk hukumnya juga dapat diubah kembali dengan produk hukum yang baru agar sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan kesadaran masyarakat. Persoalan benar atau salah, baik atau buruk sangat tergantung pada pengalaman, perspektif dan dalil-dalil yang digunakan. Bila dalam pembuatannya dulu ada kemungkinan didominasi atau dipengaruhi oleh suasana emosi dan euphoria sehingga berbagai gagasan yang dituangkan dalam Qanun tanpa pertimbangan yang matang.
Dengan demikian ada baiknya agar Qanun Jinayah dikaji ulang. Kepada para pembuat hukum agar tidak hanya membuat peraturan untuk mencari kemenangan dan bukan untuk menegakkan keadilan. Bila Syariah adalah Undang-undang tertinggi yang tidak bisa sembarangan dikritisi maka pembuat kebijakan ke depan agar dapat melibatkan ulama dan masyarakat untuk merumuskan kembali bentuk-bentuk partisipasi dalam menyusun Qanun yang bersesuaian dengan Syariah