Yang unik, Meskipun rancangan qanun tersebut telah clear di tingkat legislatif, namun sepertinya pihak eksekutif belum mau terburu-buru mengesahkannya. Sampai saat ini pihak eksekutif belum menandatangai raqan jinayat tersebut. Berita disebagian besar surat kabar lokal di Aceh beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa qanun jinayat telah disahkan, ternyata belumlah berupa qanun dalam arti sebenarnya. Melainkan masih berupa draft (rancangan) qanun. Meski DPRA periode sebelumnya mengatakan secara sepihak bahwa qanun tersebut sudah sah, akan tetapi sebagaimana di ungkapkan gubernur Aceh Irwandi Yusuf, untuk mengesahkan sebuah qanun haruslah ada persetujuan kedua belah pihak antara eksekutif dan legislatif, apabila tidak ada persetujuan kedua pihak maka menyalahi ketentuan yang ada dalam pasal 23, 232 dan pasal 234 Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) (Serambi, 02/10/09).
Sebenarnya yang menjadi kendala mengapa proses qanun tersebut seperti terjadi tarik menarik antara eksekutif dan legislatif serta antara kalangan aktivis mahasiswa dan antara aktivis pejuang HAM ialah karena dalam qanun tersebut ada pasal kontroversial tentang hukuman rajam sampai mati (stoning to death) bagi pezina laki-laki dan perempuan yang sudah atau pernah menikah (muhshan ) serta mekanisme perancangan qanun itu sendiri yang tidak partispatif, dalam artian tidak melibatkan seluruh stakeholder yang ada. Tampaknya bagi sebagian kalangan, syariat islam tanpa hukum pidana (jinayat) belumlah tepat dikatakan sebagai daerah berstatus syariat Islam. Perlu adanya aksi semacam pelemparan batu dan pemotongan tangan manusia agar status syariat Islam tersebut terakreditasi dan sah di hadapan sang Pencipta.
Pembangunan ekonomi Aceh yang dililit inflasi, pemberantasan korupsi yang semakin gila di pemerintahan serta percepatan pembangunan Aceh pasca Tsunami tampaknya belum dianggap sebagai sesuatu hal yang mendesak untuk segera dilakukan, meskipun hal tersebut sebenarnya merupakan bagian dari maqashid al-syariah (filosofi tujuan hukum). Tulisan ini mencoba untuk menelaah sejauh mana aspek yuridis sosiologis penerapan sebuah peraturan daerah apabila tidak dilakukan melalui mekanisme yang partisipatif. Tentunya kita berharap apabila sebuah qanun akan diberlakukan bagi publik, hendaknya qanun tersebut dapat menjadi solusi bagi permasalahan yang ada, dan bukannya malah menambah masalah baru.
Relevansi Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan
Pembentukan peraturan perundang-undangan, menurut M.Solly Lubis tidak pernah lepas dari 3 landasan penyusunan peraturan perundang-undangan, yaitu: filosfis, yuridis dan politis (Djoko Prakoso, 1985:44). Jika landasan politis yang mendominasi pembentukan peraturan daerah, maka para wakil rakyat kerap kali tidak mengindahkan kepentingan yang diwakili (rakyat), melainkan lebih mementingkan kepentingan kendaraan politiknya (partai politik yang mengusungnya) atau bahkan kepentingan pribadinya. Sajipto raharjo melihat pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai medan pembentukan dan pergumulan (Tn Harnowo, 2004:27), dan sebagai suatu pelembagaan sosial, memandang undang-undang sekaligus berfungsi sebagai sarana penyelesaian konfilik. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan mencerminkan suasana konflik antar kekuatan dan kepentingan dalam masyarakat (satjipto raharjo, 2003:127).
Didalam negara seperti Indonesia ini kontrol dari rakyat melalui pemilihan umum ternyata kurang berarti. Sumber legitimasi wakil rakyat tidak lagi ada pada rakyat, tetapi pada partai politik, modal dan kekuatan politik lain yang dominan. Kenyataan aktual juga memperlihatkan bahwa wakil rakyat memiliki beban ekonomi politik yang nyata, baik institusional maupun personel. Situasi ini yang mendorong tindakan wakil rakyat dan institusi birokrasi bisa bertolak belakang dengan kepentingan publik. Oleh karena itu monopoli birokrasi dalam proses pembentukan peraturan sudah tidak mungkin lagi dipertahankan. Didalam kondisi inilah muncul gagasan tentang sistem demokrasi yang melibatkan partisipasi sekaligus meningkatkan kemampuan rakyat yang rendah dari segi ekonomi, politik dan sosial. Melalui radikalisasi konsep negara hukum klasik kedaulatan rakyat bergeser dari proses pengambilan keputusan diparlemen ke proses partisipasi dalam ruang publik. Kedaulatan rakyat bukanlah substansi yang membeku dalam perkumpulan para wakil rakyat, melainkan juga terdapat diperbagai forum warga negara, organisasi non pemerintah, gerakan sosial atau singkatnya dimanapun diskursus tentang kepentingan bersama warga negara dilancarkan. Oleh sebab itu keterlibatan masyarakat sebagai pemangku kepentingan dalam pembentukan peraturan daerah menjadi penting. Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah juga merupakan wujud penyelenggaraan pemerintahan yang baik sesuai dengan prinsip good governance, diantaranya: keterlibatan masyarakat, akuntabilitas dan trasparansi.
Aksi yang dilakukan sejumlah aktivis lsm dan pejuang HAM beberapa waktu yang lalu yang meminta agar DPRA tidak terlalu terburu-buru dan menunda pengesahan qanun Jinayat, sepatutnya dimaknai oleh pengambil kebijakan bahwa hal tersebut bukan berarti menolak segala hal yang berbau syariat Islam, atau malah menuduh bahwa aksi yang dilakukan karena terkait dengan kepentingan asing yang notabene dianggap alergi dengan yang namanya syariat Islam, akan tetapi sepatutnya suara dari aktivis lsm tersebut dimaknai sebagai bagian dari suara rakyat yang ingin agar proses perancangan qanun tersebut dilakukan dengan melibatkan semua komponen yang ada, sehingga arah serta tujuan dari qanun jinayat tersebut kelak dapat lebih efektif ketika benar-benar disahkan. Mendengar satu pihak dan mengabaikan pihak lain tentunya bukan merupakan prinsip dari demokrasi. Berbicara syariat Islam tentu bukan hanya monopoli sebagian golongan yang dianggap tahu dan paling mengerti akan syariat itu sendiri, akan tetapi golongan yang lain walaupun mungkin dianggap sebagai golongan sekuler dan tidak paham syariat, suara dari golongan tersebut tetap harus mendapat perhatian yang memadai.
Selain proses mekanisme pembentukan qanun jinayat yang tidak dilakukan secara partispatif dan terkesan terburu-buru tersebut, qanun jinayat rupanya juga tidak melalui tahapan publikasi yang efektif. qanun yang memicu kontoversi tersebut kabarnya berbeda 180 derajat dengan publikasi raqan jinayat versi terdahulu, dimana pada qanun versi DPRA terdapat poin krusial mengenai hukuman rajam yang sebelumnya justru tidak dicantumkan. Cukup mengherankan DPRA periode yang lalu langsung tergerak untuk segera mengesahkan qanun jinayat yang memuat poin kontroversial tersebut semata hanya karena desakan dari puluhan mahasiswa. Ironisnya, keterdesakan tersebut menjadi pembenar bagi DPRA untuk mengabaikan proses perancangan peraturan daerah melalui mekanisme partisipatif dan publikasi yang efektif kepada publik. Rival G. Ahmad, dkk (Rival G. Ahmad, dkk, 2003;109) mengajukan 8 prinsip didalam rangka optimalisasi partispasi masyarakat di dalam suatu proses perancangan peraturan perundang-undangan yaitu (1) Adanya kewajiban publikasi yang efektif; (2) Adanya kewajiban informasi dan dokumentasi yang sistematis; (3) Adanya jaminan prosedur dan forum yang terbuka dan efektif bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses perencanaaan (4) Adanya prosedur yang menjamin publik bisa mengajukan raperda selain anggota DPR, DPD dan pemerintah; (5) Adanya pengaturan yang jelas mengenai dokumen dasar yang wajib tersedia dan bebas diakses oleh publik, misalnya naskah akademik dan perancangan peraturan perundang-undangan; (6) Disediakan jaminan banding bagi publik apabila proses pembentukan peraturan perundang-undangan tidak dilakukan secara partisipatif; (7) Adanya pengaturan jangka waktu yang memadai untuk semua proses penyusunan, pembahasan Raperda, dan desiminasi UU yang telah dilakukan, dan (8) Adanya pertanggungjawaban yang jelas yang memadai bagi pembentuk Undang-undang yang dengan sengaja menutup peluang masyarakat untuk berpartisipasi.
Peran partisipasi masyarakat (di Indonesia) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk dalam hal pembentukan perda, secara yuridis telah dinormativisasikan dalam pasal 139 ayat (1) UU. No 32 tahun 2004 dan pasal 53 UU No. 10 tahun 2004 serta dianutnya asas keterbukaan dalam kedua UU tersebut. Pasal 53 UU No. 10 tahun 2004 menyatakan Masyarakat berhak memberikan masukan lisan secara tertulis dalam rangka penyiapan, atau pembahasan rancangan Undang-undang dan rancangan peraturan daerah . Penegasan lebih lanjut juga diatur dalam UUPA pada pasal 238 ayat (1) yaitu Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun dan ayat (2) yaitu Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik.
Dampak sosiologis penerapan qanun Jinayat yang tidak partisipatif
Sebagai gejala empiris, sekurang-kurangnya empat undang-undang yang terbentuk akibat proses yang tidak partisipatif, yaitu: (1) Undang-undang atau peraturan tersebut tidak efektif dalam arti tidak mencapai tujuan yang diharapkan, contoh: UU No 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas; (2) Undang-undang tersebut tidak implementatif, dalam arti tidak dapat dijalankan atau gagal sejak dini, contoh: UU pemberantasan Korupsi Tahun 1999 harus segera diamandemen kurang dari satu tahun sejak diundangkannya; (3) Undang-undang atau peraturan tersebut tidak respontif, Yaitu sejak dirancang sampai diundangkannya mendapat penolakan keras dari masyarakat, Misalnya UUPKB; (4) Undang-undang atau peraturan tersebut bukannya memecahkan masalah sosial, tetapi malah menimbulkan masalah baru di masyarakat, contoh: Undang-undang Yayasan No.16 tahun 2001 yang berlaku sejak 6 agustus 2002 yang lalu (Hans, 2002: 122-123).
Meskipun akibat-akibat itu berasal dari adanya kombinasi masyarakat yang sangat kompleks, tapi cara atau proses pembentukan kebijakan peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah tanpa adanya partisipasi masyarakat memberikan sumbangan besar terhadap segala permasalahan diatas. Berkaca dari realitas tersebut, maka berikut ialah prediksi atau kemungkinan yang dapat terjadi ketika proses perumusan qanun jinayat tidak dilakukan melalui prosedur tahapan yang partisipatif dan demokratis:
Pertama, qanun jinayat tersebut tidak efektif dalam arti tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Kehadiran qanun jinayat tersebut bertujuan untuk mengeliminir dan meminimalisir perbuatan Jarimah, yaitu perbuatan yang diancam dengan uqubat qishash, diat, hudud, dan/atau tazir seperti maisir, khalwat, ikhtilath, liwath dan zina. Namun dikarenakan proses perancangan dan perumusan qanun tersebut tidak melalui tahapan yang demokratis serta aspiratif, maka dikhawatirkan tujuan tersebut akan sulit tercapai karena rendahnya rasa memiliki masyarakat terhadap peraturan yang disusun dalam qanun tersebut. Mengganggap qanun tersebut sudah pasti disetujui dan akan dilaksanakan oleh seluruh komponen masyarakat tanpa sebelumnya mengikutsertakan berbagai komponen yang ada merupakan suatu hal yang asbsurd. Eksesnya, pasca pengesahan qanun tersebut nantinya tidak membawa banyak perubahan yang berarti bagi masyarakat. Hal-hal yang dilarang dalam qanun tersebut bukannya makin berkurang, dikhawatirkan malah semakin bertambah banyak.
Kedua, qanun jinayat tersebut tidak implementatif, dalam arti tidak dapat dijalankan atau gagal sejak dini. Besar kemungkinan pengesahan qanun jinayat yang terkesan kejar tayang tersebut pada pertengahan jalan harus segera direvisi karena sebagian besar pasalnya ternyata tidak implementatif. Masyarakat yang semula tidak dilibatkan dalam proses perumusan qanun tersebut akan mengajukan uji materiil ke mahkamah agung. Sehingga usaha merancang qanun tersebut dapat dikatakan sia-sia dan hanya membuang energi parlemen. DPRA harus bekerja dua kali untuk merevisi kembali qanun tersebut.
Ketiga, qanun jinayat tersebut tidak respontif. Sejak semula perumusan qanun tanpa melibatkan berbagai stakeholder tersebut telah mendapat penolakan keras dari masyarakat, khususnya kalangan aktivis lsm dan pejuang HAM. Menganggap bahwa masyarakat yang meminta agar qanun tersebut ditunda sebagai orang yang ditunggangi kepentingan asing dan anti syariat Islam dan dengan demikian mengabaikan aspirasi mereka, sama saja dengan menganak emaskan sebagian masyarakat disatu sisi (pro qanun) dan disisi lain mendiskriminasikan sebagian masyarakat lainnya (kontra qanun). Ironisnya, argumen pembenaran untuk mengabaikan salah satu komponen masyarakat tersebut sama sekali tidak dapat dibuktikan dengan fakta dan bukti-bukti yang konkrit.
Keempat, qanun jinayat tersebut bukannya memecahkan masalah sosial, tetapi malah menimbulkan masalah baru di masyarakat. Dikhwatirkan qanun jinayat tersebut dapat menimbulkan ekses sosiologis bagi masyarakat berupa perilaku main hakim sendiri. Hal tersebut terbukti dimana dulunya ketika syariat Islam baru diberlakukan dan memasuki fase sosialisasi, sebagian masyarakat yang sudah tidak sabar lagi menerapkan syariat Islam akhirnya melakukan eksekusi sendiri di lapangan. Para pelaku pelanggar Syariat Islam bukannya diserahkan terlebih dahulu kepada aparat yang berwenang dalam penanganan Syariat Islam (baca:wilayatul Hibah), akan tetapi justru terlebih dahulu diarak keliling kampung, dimandikan dengan air got atau yang paling sial pelaku dihajar lebih dulu serta dinikmati beramai-ramai seperti kasus yang terjadi di Leupung, Aceh Besar beberapa waktu yang lalu. Bukan tidak mungkin apabila qanun jinayat yang memuat poin krusial seperti hukuman rajam (kabarnya juga potong tangan) tersebut diberlakukan tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan aspek sosiologis masyarakat, kedepan akan banyak eksekusi pelemparan batu dan pemotongan tangan ilegal kepada orang yang dianggap melanggar Syariat Islam.
Hal ini dapat terjadi karena disatu sisi untuk membuktikan seorang berzina itu sendiri cukup sulit, harus menghadirkan 4 saksi yang melihat perbuatan tersebut dari awal sampai akhir. Disatu sisi masyarakat yang mendambakan pelaksanakan hukuman rajam sebagaimana zaman rasul, menginginkan agar pelaku syariat yang ditangkap oleh masyarakat segera dijatuhkan hukuman, tanpa perduli dengan prosedur yang terkadang memang membutuhkan waktu. Walhasil, keinginan masyarakat yang tidak terakomodir tersebut dilampiaskan dengan segera mengeksekusi pelaku di lapangan. Hal tersebut dapat terjadi karena masyarakat menganggap prosedur pemerintah dalam memberlakukan hukuman bagi pelanggar syariat Islam terlalu berbelit dan bertele-tele, sehingga penyerahan pelaku pelanggaran Syariat Islam kepada aparat yang berwenang dianggap kurang efektif, lebih tepat apabila eksekusi langsung dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Selain lebih mengena karena masyarakat dapat langsung merasa menjalankan perintah Tuhan dan mendapat pahala, sensasi kepuasaan pelemparan batu dan pemotongan tangan sebagaimana yang dibayangkan didalam benak sebagian masyarakat tersebut dapat langsung dirasakan oleh masyarakat itu sendiri. Masyarakat tidak ingin direpotkan dengan prosedur birokrasi hukum yang serba prosedural. Tentunya hal itu dilakukan dengan argumen bahwa hukum Tuhan harus segera dijalankan, dan menganggap negara dalam hal ini tidak becus dalam menerapkan hukum Tuhan.
Disisi lain , ekskusi ilegal ini sendiri dapat memicu terjadinya perang antar kampung bahkan antar suku dan antar daerah di Aceh (tribal war). Hal tersebut dapat terjadi apabila ternyata masyarakat salah tangkap, salah rajam dan salah potong kepada orang yang dituduh sebagai pelaku pelanggaran syariat Islam. Korban yang merasa dizalimi akan melapor kepada orang kuat di kampung atau didaerahnya, klimaksnya memicu konflik antar kampung, antar suku dan bahkan antar daerah. Dapat dikatakan bahwa potensi konflik kedepan sangatlah besar apabila qanun jinayat yang dirancang serba instant tersebut diberlakukan. Tentunya hal ini dapat menggangu proses jalannya perdamaian yang kini sedang disemai bersama oleh seluruh komponen masyarakat Aceh dan dunia Internasional.
Meskipun dalam qanun jinayat ini terdapat ganti rugi, rehabilitasi dan penyelesaian secara adat, timbul pertanyaan, bagaimana bentuk ganti rugi dan rehabilitasi bagi orang yang dituduh melanggar qanun jinayat padahal sebenarnya tidak dia tidak melanggar qanun tersebut? Bagaimana mengganti tangannya yang sudah duluan buntung akibat salah potong dan kerugian keluarga korban yang meninggal dunia akibat salah rajam? Apakah dengan membalas memotong atau merajam orang yang menuduh atau malah mengganti tangan orang tersebut dengan tangan orang yang menuduh atau bagaimana? Karena dipastikan ganti rugi harta alakadar maupun cambuk dirasakan kurang adil bagi masyarakat yang telah dizalimi akibat penerapan hukuman yang salah. Kemudian juga harus dipikirkan bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkan oleh sang suami karena telah dirajam atau dipotong tanganya. Mampukah dalam hal ini negara membiayai kehidupan keluarga korban rajam tersebut semasa hidupnya? Kesimpulannya, qanun jinayat yang tidak dirumuskan secara demokratis dan partispatif bukannya memecahkan masalah sosial, tetapi malah menimbulkan masalah baru di masyarakat.
Partisipasi masyarakat bukanlah tujuan akhir. Tujuan sebenarnya ialah memberikan ruang yang luas pada masyarakat umumnya, khususnya bagi kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan atau rentan, agar mampu memberikan pengaruh berarti terhadap proses pemerintahan dalam arti mulai proses pengambilan keputusan, pelaksanaan serta evaluasinya. Sehingga diharapkan masyarakat yang adil makmur dan berkeadilan di bawah naungan syariat Islam yang bermartabat dapat terwujud di Nanggroe Aceh tercinta. Semoga!