KISAH di atas memberikan gambaran betapa tingginya kesabaran dan pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as untuk melaksanakan segala perintah Allah SWT. Kesabaran seorang hamba Allah yang mungkin kita tak mampu mengikutinya yaitu menyembelih anaknya yang paling dia cintai dan sayangi.
Kesabaran Ibrahim as juga diikuti oleh anaknya Ismail as yang rela disembelih dengan tanpa sedikitpun melawan ayahandanya tercinta. Ismail as bahkan mengatakanWahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.
Pengorbanan Ibrahim dan Ismail kepada agama Allah SWT ini membuat Setan menjadi gerah. Setan dan pasukannya mempengaruhi Ibrahim as, Ismail as dan juga Ismail Siti Hajar agar rencana menyembelih Ismail as dapat dibatalkan. Namun segala daya upaya yang dilakukan oleh Setan tersebut tidak berhasil sedikit pun dan bahkan Ibrahim, Ismail serta Siti Hajar melemper Setan tersebut yang sekarang menjadi salah satu rukun dalam haji yaitu melempar jumrah.
Maha Besar Allah, dengan kebesaran dan izin Allah Ismail kemudian digantikan dengan seekor domba dan yang tersembelih itu adalah domba yang saat ini menjadi kewajiban bagi setiap umat Islam yang mampu untuk melaksanakan tradisi yang telah diletakkan oleh Nabi ulul azmi dan Bapak para Nabi tersebut.
Penguatan Ekonomi Umat
Perintah kurban merupakan perintah yang sinergi dengan perintah untuk menegakkan sholat. Hal ini seperti difirmankan oleh Allah SWT dalam surah al-kausar ayat(2) yang artinya maka shalatkan dan berkurbanlah (bersembelihlah).
Kedua bentuk ibadah ini memberikan makna bahwa manusia harus membangun dua dimensi dalam berkehidupan. Dimensi pertama adalah membangun hubungan dengan Tuhannya (Transedental), dimana solat merupakan bentuk pengakuan hamba kepada Rabb-nya secara totalitas. Bentuk sujud adalah refleksi bahwa manusia itu sangat hina seperti halnya tanah dihadapan Tuhan. Solat juga memberikan makna bahwa setiap nafas (kehidupan), usaha (bisnis/politi), langkah (orientasi), diri, keluarga, dan semuanya adalah milik Allah SWT.
Sebaliknya kurban selain sebagai bentuk menjalankan perintah secara transedental juga memberi makna relasi sosial-horizontal sesama manusia. Kurban juga menjadi simbol dari pengorbanan terhadap harta benda dan sumber ekonomi lainnya kepada agama (Islam). Kurban juga menjadi bentuk dari upaya membunuh sifat kerakusan yang dimiliki oleh manusia. Hal ini seperti dinukil oleh Ali Syariati dalam bukunya berjudul Haji. Ia menyatakan bahwa makna dari berkurban adalah upaya untuk menyembelih nafsu keakuan, nafsu egoisme, nafsu kepemilikan, nafsu keserakahan yang ada pada diri seseorang manusia. Maka dengan berkurban ia menyadari dan menyakini bahwa semua harta dan bahkan nyawa-nya sekalipun adalah milik Allah SWT.
Melalui Sunah ini maka diharapkan umat Islam tidak ada lagi yang miskin, tidak ada yang menjadi pengemis, tidak ada para santri yang mencari sumbangan untuk pesantren, tidak ada kesenjangan antara sikaya dan simiskin dan tidak ada yang berkata minta sedekah pak, saya sudah tiga hari tidak makan. Sayangnya kemiskinan itu tetap menjadi satu fenomena dan seakan seperti cerita tanpa ada akhir. Apa sebenarnya yang terjadi? Prof.Dr.Tan Sri Dato Zulkifli Abdul Razak dalam sebuah seminar yang dilaksanakan oleh Aceh Malaysia Youth Leader Conference di Banda Aceh (4/10) mengatakan bahwa krisis ekonomi dan kemiskinan yang menimpa umat Islam seluruh dunia hari ini bukanlah kekurangan modal (capital) yang dimiliki oleh umat Islam akan tetapi karena distribusi modal itu yang tidak berjalan sebab dikuasai dan dimonopoli oleh seseorang atau kelompok tertentu oleh umat Islam itu sendiri.
Indonesia adalah negara yang kaya, sehingga ada lirik lagu tongkat batu jadi tanaman. Begitu juga dengan Provinsi Aceh menjadi salah satu daerah yang sangat kaya akan sumber daya alamnya. Namun kemiskinan masih juga menjadi hal yang mengkhawatirkan. Karena harta kekayaan dianggap sebagai hak milik pribadi (kelompok) dan keturunannya saja dan bukan dikorbankan untuk kepentingan agama Tuhan sekalian alam.
Inilah yang dikatakan Syariati bahwa kurban belum dimaknai sebagai modal (capital) yang harus didistribusikan untuk menghilangkan kemiskinan dan memperkuat perekonomian umat. Melainkan menjadi agenda rutinitas belaka. Kurban belum dipahami dan belum dinyakini sebagai penyembelihan terhadap nafsu kepemilikan, keegoisan kleptokratis dan nepotis.
Imam Malik bahkan menyatakan bahwa kurban bukan sekedar sunnah muakad, melainkan menjadi wajib bagi yang mampu untuk melaksanakannya. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi saw dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah).
Konsolidasi Politik
Selain makna mengorbankan harta untuk stabilitas ekonomi umat, kurban juga memberikan makna agar umat Islam bersatu, tidak terpecah belah karena nafsu kekuasaan, nafsu terhadap harta benda, dan nafsu duniawi lainnya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Quran surah asy-syura ayat 13:
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: tegakanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya. Amat berat bagi orang Muslim agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali pada-Nya
Ayat ini dengan jelas mengajarkan manusia bahwa tujuan akhir (maqashid syari) dari segala usaha di dunia adalah menegakkan agama Allah SWT baik melalui instrumen dakwah, politik, sosial-budaya dan lain sebagainya dan tidak menyebabkan perpecahan diantara umat Islam itu sendiri.
Tradisi inilah yang telah dilakukan oleh para ambiya, baik Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Daud, Sulaiman, Isa dan juga nabi besar Muhammad saw. Semua usaha dengan berbagai instrumen yang diberikan oleh Allah SWT bertujuan untuk menebar kebenaran dan kebaikan.
Pemilu Indonesia pada 9 April 2014 menjadi ujian bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi Aceh untuk mewujudkan proses demokrasi yang mengedepankan prinsip-prinsip maqashid syari, dimana tujuannya adalah mencapai keridhaan Allah SWT. Sementara kekuasaan hanyalah amanah yang harus dikorbankan untuk kepentingan agama dan rakyat.