Pernyataan Gubernur Irwandi Yusuf tersebut mengingatkan saya pada pernyataan salah seorang perwakilan Uni Eropa di Aceh dalam sebuah pertemuan makan malam di Banda Aceh, ia menyatakan keprihatinannya jika di Aceh diterapkan hukum rajam, bagaimana bisa di abad modern, Aceh akan menerapkan hukuman seperti pada zaman batu yang tidak berperadaban, hukuman yang kejam dan primitif. Keprihatian seorang diplomat Uni Eropa yang beragama jelas bukan Islam tersebut dapat kita pahami karena ketidaktahuannya terhadap ajaran dan ketentuan hudud (ketentuan hukum dalam Al-Quran dan Hadis) dalam Islam. Namun sebaliknya, sangat kita sayangkan jika seorang pemimpin negeri (imam) yang ingin menerapkan hukum Islam secara kaffah menyatakan sikap yang sama terhadap hal tersebut. Padahal seorang pemimpin dalam Islam adalah sebagai seorang khalifah yang mempunyai tugas dan kewajiban untuk menegakkan hukum dan aturan yang diturunkan oleh Allah SWT.
Hukum Jinayat
Hukum jinayat (Islamic Crime Law) yang ditetapkan menjadi suatu undang-undang oleh DPRA (ahl al-halli wa al-aqdi), menjadi tidak efektif karena pemimpin (ulil amri) tidak mau mensahkan dan melaksanakannya, seperti diungkap oleh Gubernur Irwandi Yusuf. Hanya karena adanya sanksi hukum cambuk dan rajam bagi penzina.
Mengenai hukum rajam itu sendiri, meskipun terdapat perdebatan dan perbedaan pendapat dikalangan Fuqaha (ahli fikih). Namun, ketentuan hukuman tersebut bukanlah sesuatu hal yang baru dalam Islam. Praktek ini pernah dilakukan pada masa Rasulullah saw, dengan ketentuan dan proses yang panjang untuk menyakinkan penjatuhan hukuman tersebut dan semuanya pun karena pengakuan pelaku zina itu sendiri. Praktek hukum ini juga pernah dilakukan pada masa sultan Iskandar Muda, bahkan hukuman tersebut kabarnya dijatuhkan kepada putra mahkotanya sendiri.
Begitu juga halnya dengan cambuk, didunia modern ini masih banyak Negara-negara maju yang memberikan hukum cambuk bagi pelaku kejahatan. Di Singapore, Malaysia, India, Inggris bahkan di Amerika sendiri, seperti dilaporkan dalam Republika (12-10-09) masih menerapkan hukuman cambuk. Sebuah kasus vandalisme (mencorat-coret ditempat) umum di Negara bagian Columbia pernah dihukum cambuk, meskipun Bill Clinton pernah minta untuk dimaafkan, namun hukum tersebut tetap dilakukan, dan semuanya tidak ada yang berteriak itu melanggar HAM.
Ironisnya, akibat penolakan penguasa Aceh terhadap qanun jinayat, telah menyebabkan hukum-hukum lain, seperti hukum mengenai khamar, judi, perkosaan, khalwat, ikhlilad, dan qadzaf juga tidak dapat diberlakukan karena ketidaksetujuan pihak eksekutif terhadap qanun tersebut untuk diterapkan, padahal pada dasarnya qanun dari inisiatif dewan tersebut bertujuan untuk menyempurnakan qanun-qanun sebelumnya, yaitu qanun nomor 12,13 dan 14 tahun 2003 yang masih mempunyai berbagai kelemahan dan kekurangannya.
Kelihatannya, ketakutan terhadap qanun jinayat, terutama berkenaan dengan hukum rajam adalah pada aspek penghukumannya. Padahal esensi hukum yang terpenting bukanlah pada penghukuman tetapi lebih pada apa yang hendak dicapai dengan adanya qanun tersebut. Hukuman hanya bersifat ultimum remedium, sedangkan sasaran utama yang hendak diwujudkan adalah upaya untuk mencegah terjadinya delik dengan menyatakan ancaman sanksi yang berat, yang kiranya dapat menimbulkan effek menakutkan. Ancaman, tidak melulu senada dengan pelaksanaan. Bahkan seringkali pelaksanaan hukuman jauh di bawah ancaman pidana yang dinyatakan dalam suatu hukum.
Hukum dan Moralitas
Suatu hukum pada prinsipnya ditetapkan untuk mewujudkan keadilan dan menata moralitas yang sesuai dengan kenyakinan dan budaya suatu bangsa, juga untuk melegalkan atau mengilegalkan suatu perbuatan dan tindakan. diAmerika misalnya, laki-laki yang menikah saudara perempuannya telah dianggap sesuai dengan UU Negara itu. Seks bebas dan pornografi menjadi suatu kebudayaan dan seni. Seperti gambar-gambar wanita telanjang karya Picasso dan Henri Matissee dianggap sebagai sebuah karya seni besar. Namun, dalam Islam, seks bebas, perzinaan merupakan perbuatan yang keji dan tak bermoral. Hal tersebut juga dikatakan oleh Plato sebagai sesuatu yang buruk dan immoral bagi moralitas.
Moralitas sebagaimana yang diakui oleh Plato adalah sebuah prinsip yang mengilhami dan mendorong kita untuk merealisasikannya dalam sebuah cita-cita, tindakan dan kehidupan kita. Ia bersifat transcendental dan immanen. Hukum jinayat pada dasarnya adalah sebuah cita-cita untuk membentuk moralitas yang sesuai dengan hukum tuhan yang bersifat transcendental, mewujudkan moralitas yang sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam, sehingga mampu mewujudkan nilai-nilai kepatuhan manusia kepada konsep hukum Tuhan.
Bagi umat Islam dan orang-orang yang beriman, tak satupun yang menyatakan bahwa perbuatan zina adalah perbuatan yang bermoral, melainkan itu merupakan suatu perbuatan yang immoral dan sangat keji. Bahkan Allah SWT pun berfirman dalam Al-Quran surah an-Nur ayat 2, bahwa perbuatan zina adalah perbuatan yang keji dan dosa besar. Sehingga Tuhan memberikan sanksi yang berat terhadap perbuatan yang keji dan dosa besar tersebut.
Umat nabi Luth, adalah sebuah catatan sejarah manusia yang ditengelamkan ke dalam bumi oleh Tuhan yang maha kuasa dengan hujan batu dari neraka akibat moralitasnya yang sangat keji, dengan mengingkari hukum tuhannya, bahkan mengusir utusan Tuhan (rasul) yang memberikan peringatan akan perbuatan keji tersebut.
Pengesahan qanun jinayat diharapkan dapat menjadi media untuk mencengah perbuatan dan budaya yang tidak bermoral, keji dan diharamkan oleh Allah. Ia adalah aktualisasi syariat Allah yang dilegal formalkan untuk dapat diterapkan secara sah dalam sebuah konteks Negara hukum. Hukum yang bertujuan untuk membentuk moralitas umat Islam menjadi insan kamil, dari sumbernya yaitu ajaran tauhid, ajaran sang pencipta.
Jadi, hukum ini bukanlah ciptaan pikiran manusia. Ia sepenuhnya berdiri sendiri sebagai sebuah realitas independen. Hukum tuhan tidak selalu harus dirasionalkan dengan rasio dan rasa manusia, karena itulah bentuk taabbudiyah hamba kepada hukum Tuhannya, dan Tuhan pun maha tahu terhadap keadilan hamba-Nya. Karena sejatinya hukum yang dibuat oleh manusia harus tunduk dibawah ketentuan hukum tuhan, bukan sebaliknya.
Hukum dan moralitas dalam Islam dibangun di atas dasar bangunan besar berupa kenyakinan yang kuat pada kasih sayang Allah dan pada kehidupan sesudah mati, dan bahkan manusia diberi pahala yang berlipat ganda apabila mereka melakukan perbuatan baik tetapi akan disiksa jika melakukan perbuatan yang buruk dipengadilan akhirat (day of judgment).
Jika kita nyakin bahwa manusia diciptakan oleh Allah dan dia harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang dia lakukan kepada-Nya, maka Allah akan menunjukkan kepadanya jalan kehidupan dan keputusan yang benar. Seorang pemimpin sudah seharusnya memberikan citra dan keputusan yang benar terhadap hukum dan umat yang dipimpinnya. Namun, jika seorang pemimpin tidak mengesahkan sebuah produk hukum syariat, dan memutuskan untuk mengesahkan sebuah rekomendasi terhadap perwakilan Aceh dalam pesta buka aurat (ajang PPI) disisi lainnya, adalah sebuah moralitas yang sangat disesali. Wallahualambhisshawab.