Hemat penulis, persoalan penegakan syariat Islam bukan hanya masalah ofisialisasi hukum Islam (jinayat) menjadi hukum positif negara an sich sehingga hanya kajian-kajian komparatif terhadap tafsir fiqih klasik yang menjadi keniscayaan. Islam dengan salah satu perangkatnya syariat, selayaknya bukan hanya dijadikan alat legalitas atas nama politik kekuasaan sambil secara monolitik mengkebiri kelompok lain. Atau jangan sampai penerapan syariat hanya dijadikan komoditas hasil kinerja yang terburu-buru padahal eksesnya sangat luas di masyarakat bawah dan berjangka waktu lama.
Proses saling lempar bola panas syariat Islam di Aceh yang dilakukan kelompok neo -fundamentalis wahabiyah sampai detik ini mengakibatkan citra Islam semakin pucat, suram, dan terpuruk. Razia jilbab, razia pacaran, dan yang keterlaluan adalah larangan mengenakan celana panjang atau jeans bagi wanita di sebagian wilayah Aceh menjadi puncak tragedi salah kaprah pemahaman orang Aceh khususnya dan umat Islam umumnya akan signifikansi penerapan syariat Islam bagi masyarakat muslim. Aksi petugas Wilayatul Hisbah yang hiperaktif juga menjadi tanda tanya besar bagaimana instrumen negara dengan legalitas tertentu telah memborong habis semua hak sosial maupun hak privat umat bahkan yang tidak pernah diberlakukan Rasul SAW di Negara Madinah sekalipun.
Dalam banyak literatur sejarah Negara Madinah, pelanggar-pelanggar susila (pezina, pemabuk, pencuri, dan lain-lain) tidak selalu dihukum rajam, cambuk, atau potong tangan malah dalam beberapa kasus hukuman-hukuman jinayat tersebut dilakukan Rasulullah SAW karena beliau terus-menerus didesak oleh pelaku sendiri untuk segera dilaksanakan hukuman. Proses dari awalnya pun pelaku datang sendiri kepada Nabi SAW, bukan digrebek atau campur tangan warga maupun institusi negara. Itu menunjukkan sebenarnya tidak ada difinisi Polisi Moral dalam penerapan syariat Islam dimana pemerintah membentuk satuan polisi yang mengawasi setiap perilaku dan tindak-tanduk pribadi rakyatnya. Kalau toh dibentuk, tugas polisi mestinya hanya menindak apabila terjadi kasus pelanggaran, bukan mencari-cari kesalahan warga dengan mengadakan sweeping, razia, dan aksi-aksi sok suci lainnya.
Pemerintahan seharusnya berkewajiban untuk melindungi seluruh warga dari rasa takut, memberi makan fakir miskin, mengobati yang sakit, membangun generasi masa depan yang kuat, menikahkan para lajang/duda/janda yang kesulitan biaya menikah, dan membagi secara adil sumber-sumber kekayaan daerah. Pemerintah juga wajib menyelesaikan persoalan-persoalan sengketa antar warga, menegakkan hukum, menjatuhkan vonis bagi para pelanggar hukum, dan menindak tegas para pejabat negara yang menyalahgunakan kekuasaan. Semuanya dilakukan dengan seadil-adilnya menurut syariat karena Islam membawa ajaran keadilan universal. Keadilan universal Islam secara ideal pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW di Negara Madinah. Piagam Madinah (Shahifah Madinah/Madina Charter) menjadi tonggak bukti sejarah bahwa Nabi SAW mengatur pola hubungan antar warganya, baik yang beragama Islam maupun non-Islam, menjelaskan hak-hak dan kewajiban, membebaskan pilihan agamanya dengan mendeklarasikan sebuah undang-undang sebagai landasan hukum. Piagam Madinah menjadi kontrak sosial yang mengikat seluruh warga negara yang ada di Madinah, baik yang beragama Islam, Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Meminjam kalimat Ismail Razi al-Faruqi, seorang filosof Palestina dalam menggambarkan Negara Islam ala Nabi SAW: Rakyat Negara Islam tidak berdasarkan kelahiran, warna kulit, ras, atau kebudayaan; tetapi berdasarkan keikhlasan. Di bawah konstitusi Negara Islam, setiap orang dewasa bebas berpergian bersama keluarga dan membawa hartanya, seandainya dia memutuskan untuk tidak menjadi warga negara itu lagi. Tak seorang pun dipaksa negara untuk menjadi warganya dan menganut ideologinya, mempercayai tujuannya, dan bersedia memikul beban bersama. Menjadi warga Negara Islam terbuka bagi siapa pun yang menghendaki Negara Islam itu sebagai negaranya. Dengan demikian Negara Islam, tak seperti Negara Kebangsaan, merupakan suatu masyarakat yang terbuka, siap menerima siapa pun yang ingin menjadi warganya. (Ismail Razi al-Faruqi, Hakekat Hijrah, Mizan, Bandung, 1985).
Penerapan syariat Islam di Aceh perlu perumusan kembali (reformulasi) selain dengan pertimbangan mashalih (maslahat) dan mafasid (kerusakan) namun juga dengan mengedapankan kaidah-kaidah dasar Fikih Prioritas (fiqhul aulawiyat), Fikih Kekinian (fiqhul waqi), dan Fikih Perbedaan (fiqhul ikhtilaf) rumusan Dr. Yusuf Qardhawi, ulama intelektual Mesir. Menurut formula Qardhawi, Fikih Prioritas (fiqhul aulawiyat) menerapkan bahasan misalnya persoalan mengapa hukum potong tangan tidak bisa diterapkan sebelum kesejahteraan/pendapatan ekonomi masyarakat terjamin dan mencukupi, pendapatan per kapita tinggi, dan angka pengangguran nol persen. Hukum cambuk maupun rajam tidak bisa diterapkan sebelum institusi negara benar-benar bisa mendukung, memudahkan, meringankan, dan menjamin hak-hak warganya untuk menikah, atau bahkan berpoligami. Fikih Kekinian (fiqhul waqi) menyelaraskan tafsir-tafsir referensi Islam klasik dengan kondisi kekinian sekaligus disesuaikan dengan kultur masyarakat setempat karena kedatangan Islam bukan untuk menegasikan yang sudah ada tetapi meluruskan dan mengubah warna budaya.
Adapun Fikih Perbedaan (fiqhul ikhtilaf) digunakan sebagai standar etika bahwa ikhtilaf (beda pendapat) dalam urusan agama merupakan keniscayaan sehingga bisa diketahui seberapa banyak benang-benang persamaan yang bisa disambung diantara spektrum luas perbedaan dalam cabang-cabang fikih.
Dengan reformulasi berdasarkan kaidah- kaidah fikih tersebut syariat Islam di Aceh diharapkan mamp u menjelma menjadi rumusan baru yang solutif sekaligus menjadi pilot project yang berhasil membuktikan bahwa penerapan syariat Islam bisa menjadi sarana peningkatan kualitas seluruh umat bukan hanya dalam hal spiritual, namun juga kualitas material dan finansial, bukan malah menjadi pranata baru yang mengarah ke dalam perangkap konflik baru lagi bagi rakyat Aceh.