Dikatakan tidak bertanggung Jawab sebab terbentuknya jurang keterpisahan baik dalam praktik maupun konsep antara hukum dan moral ini telah memisahkan Agama dari sesuatu yang esensil dari Agama itu sendiri. Keterpisahan atau terbentuknya jurang antara hukum dan moral ini dapat terjadi manakala suatu kelompok menganggap formalisasi aspek hukum adalah hal yang pokok (primer) dan hal pertama yang paling harus diutamakan untuk ditegakkan, hal ini dikarenakan mereka menganggap keseluruhan nilai moral yang terkandung dalam Agama dapat terwakili sepenuhnya ketika dimensi hukum dilaksanakan.
Tanpa formalisasi hukum, nilai-nilai moral keagamaan dipastikan tidak akan dapat termanifestasi, sehingga sebagai akibatnya sekalipun tidak dideklarasikan secara gamblang dalam suatu naskah tertulis, dominasi peran hukum dalam suatu ajaran Agama telah menempatkan moralitas terselubung dalam kristalisasi hukum dan bahkan terhempas dari Agama itu sendiri. Jika demikian adanya, maka serangkaian pertanyaan yang sering diajukan oleh sebagian kita berkaitan dengan hal di atas adalah, bukankah jika hukum (agama) tidak ditegakkan maka tidak akan terciptanya nilai moral dalam masyarakat? Bagaimana mungkin jika Agama yang mengedepankan hukumnya dikatakan telah menghempas nilai moral Agama itu sendiri?, bukankah nilai moral Agama sudah sesuai dengan hukumnya sendiri sehingga penerapan hukum berarti manifestasi langsung dari perintah moral Agama?. Untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan di atas sesungguhnya tidak seperti kita menjawab soal-soal ujian midtest yang dapat diberikan satu jawaban untuk masing-masing pertanyaan, namun untuk memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, kita harus terlebih dahulu memberikan jawaban terhadap satu pertanyaan yang lebih penting lainnya, yakni apakah sesungguhnya dimensi esensial dari ajaran Agama itu sendiri?
Jika persoalan ini dilihat dari sudut pandang yang lebih luas maka setidaknya kita akan senantiasa mengakui bahwa pokok-pokok dari ajaran Agama itu terutama adalah tentang penegakan nilai moralitas, hal ini tentu saja bukanlah sebuah pengakuan yang tidak beralasan, sebab siapapun tidak dapat menyangkal bahwa banyak sekali tuntunan Agama yang berbicara tentang pentingnya berprilaku dengan Akhlak atau budi pekerti yang luhur, dari sini dapatlah diketahui bahwa Agama diramu atas dasar konsep-konsep moralitas murni yang telah ada jauh sebelum Agama dilahirkan.
Karena Agama diisi oleh konsepsi moral yang eksistensinya mendahului Agama itu sendiri, maka sulit bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa sifat asasi moral itu berasal dari Tuhan sebagai sumber kebaikan murni sekaligus sebagai sumber eksistensi tertinggi dari seluruh keberadaan. Terkait dengan upaya kita untuk mencari dimensi esensil dari ajaran Agama, kita sejauh ini baru hanya menemukan kenyataan bahwa moralitas telah mendahului kehadiran Agama, namun kita belum dapat memastikan bahwasanya moralitaslah sebagai esensi ajaran Agama, sebab bagaimanapun keberagamaan seseorang tak bisa lepas dari konsep iman dan metodologi aktualisasinya yang khas dalam setiap Agama, dan tak jarang dalam keadaan-keadaan seperti inilah terjadinya pemahaman seseorang tentang ajaran moral Agama yang terpisah dari konsep iman serta timbulnya pemahaman seseorang yang beranggapan Formalisasi dan positifisasi hukum adalah cerminan aktualisasi nilai moral paling sejati.
Oleh karena itu, kita harus menemukan konsep moral yang paling dekat dan bekorelasi langsung dengan konsep keimanan dan ketaqwaan, sehingga jelas bagi kita peranan moral dalam membentuk karakter religius seseorang. Jika membahas tentang konsep moral serta dinamika-dinamika persoalan yang menyertainya, maka kita rasanya tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari gagasan moralnya Immanuel Kant. Salah satu dari gagasan moral Kant yang terkenal adalah tentang konsep budi otonom.
Konsep moral ini pada intinya menjelaskan kepada kita bahwa suatu tindakan seseorang itu dikatakan memiliki nilai moral, manakala ia bertindak atas nama dan berdasarkan perintah moral murni yang terdapat dalam diri seseorang tersebut. Dalam pandangan Kant, seseorang yang bertindak bukan atas dasar perintah moral murni yang berasal dari dirinya atau bertindak atas faktor-faktor pendorong lainnya semisal agar memperoleh imbalan, karena belas kasihan dan sebagainya, maka tindakan seseorang tersebut dikatakan tidak memiliki nilai moral.
Misalnya, seseorang yang ingin memberikan uang kepada kepada seorang anak yatim karena merasa kasihan pada anak tersebut, maka tindakan orang yang membantu tersebut belum dapat dikatakan sebagai tindakan yang memiliki nilai moral, sebab ia tidak bertindak atas dasar perintah budi murninya, melainkan karena faktor lain yakni rasa belas kasihan. Namun, perlu digarisbawahi disini adalah apa yang dimaksudkan oleh Immanuel Kant terhadap tindakan yang tidak memiliki nilai moral, bukan berarti tindakan tersebut bersifat a moral, hanya saja tindakan tersebut dikatakan tidak mengandung nilai moral, sehingga dengan demikian dapat dipahami betapa Kant menempatkan nilai moralitas itu pada tempat yang begitu tinggi.
Selain itu, Menurut Kant dalam konteks moral seseorang juga memungkinkan untuk mencapai tingkat religiusitas. Sebagai perbandingan, Immanuel Kant berpendapat bahwa moralitas mengarah pada Agama melalui pemahaman mengenai kebaikan tertinggi (Begriff des hochsten Guts), Menurutnya Tuhan adalah yang sempurna secara moral, sehingga kehendak dan perintahNya sempurna juga. Karena tujuan manusia adalah kebaikan tertinggi dan hal itu hanya ada pada Tuhan, maka meyakini Tuhan merupakan suatu kemestian. Untuk mencapai tujuan tersebut kita harus menyelaraskan diri dengan perintah Tuhan. Inilah yang disebut Kant dengan Agama (SP.Lili Tjahjadi: Hukum Moral).
Akan tetapi kepercayaan Kant terhadap Agama dan perintah Tuhan adalah bukan melalui Kitab suci atau Wahyu, melainkan dengan bertindak semata mata berdasarkan kewajiban moral yang secara asasi telah ada dalam diri masing masing kita, kewajiban inilah yang disebutkan sebagai perintah Ilahi. Dari sini Kant juga membagi Agama kedalam dua jenis yakni: Agama Kodrati dan Agama Wahyu. Agama kodrati yakni mentaati Tuhan melalui kepercayaan moral (theismus moralis) yang bersumber dari Tuhan sebagai Agama murni, sehingga hukum Agama dalam konsep moral Kant berlaku karena moralitas personal seseorang yang menghukumi dirinya sendiri agar wajib bertindak sesuai dengan perintah moralnya sendiri yang bersumber dari Tuhan.
Sedangkan Agama wahyu, mengembangkan ajaranya melalui interpretasi kitab suci. Dalam hal ini sangat mungkin untuk diselewengkan berdasarkan pengetahuan manusia, Karenanya dibutuhkan budi murni untuk memperoleh kebenaran sejati. Setelah menyimak sekilas pandangan Immanuel Kant tentang konsep moral, sekarang mari kita pahami dan sekaligus kita bandingkan bagaimana Agama Islam memperkenalkan karakter keberimanan seseorang agar bertindak untuk dan atas nama Tuhan sebagai sumber perintah kebaikan tertinggi, sehingga seseorang dapat mencapai tingkat keimanan sejati tanpa dipengaruhi embel-embel lain yang dapat mereduksi kualitas keimanan seseorang.
Dalam Alquran disebutkan: Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: “Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab: “(Allah telah menurunkan) kebaikan.” Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa,(An-nahlu ayat 10). Dalam ayat ini dengan sangat jelas Alquran telah memperkenalkan kepada Umat manusia betapa tingginya kedudukan kebaikan atau moralitas disisi Tuhan, sehingga diceritakan kepada kita bahwa kesadaran teringgi dari orang-orang yang bertakwa kepada Allah adalah yang menyadari bahwa rahmat tertinggi yang berasal dari Tuhan adalah kebaikan atau moralitas itu sendiri, dengan kata lain ayat ini menjelaskan pada kita bahwa Tuhanlah sebagai sumber kebaikan tertinggi sebagaimana yang pernah diungkapkan Kant diatas. Lebih jauh tentang betapa esensilnya kedudukan moral atau kebaikan dalam ajaran Agama, dapat disebutkan bahwa kualitas akhlak/moral seseorang menjadi salah satu dasar atau landasan dari karakter seorang manusia sehingga ia terpilih dan mendapatkan prediket kenabiannya.
Dalam hal ini Alquran menyebutkan: Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.( al-qashash ayat 14.). Setelah mengetahui betapa tingginya kedudukan moralitas dalam Islam, kita selanjutnya juga harus memahami lagi bagaimana prinsip moralitas itu ditegakkan agar kita dapat mencapai pemahaman bahwa tindakan yang kita lakukan semata-mata karena perintah budi murni yang berasal dari Tuhan sebagai sumber kebaikan tertinggi. Dalam hal ini, Agama Islam mengajarkan kepada kita akan pentingnya menanamkan pengetahuan tentang kesadaran Ketuhanan (god consciousness) pada diri pribadi sebagai cerminan keberimanan sejati.
Kesadaran ketuhanan itu sendiri dapat diartikan kemampuan manusia menghadirkan Tuhan dalam seluruh event kegiatan kemanusiaan termasuk dalam tindakan-tindakan moral kita. Penanaman akan pentingnya memiliki kesadaran ketuhanan dalam kehidupan manusia dijelaskan dalam Alquran: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya . Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (Al Hadiid ayat 4).
Karena itu, jika dalam setiap kegiatan konsep kesadaran ketuhanan ini diterapkan, maka manusia tidak lagi membutuhkan hukum sebagai hakim bagi moral, melainkan Moralitas menjadi hakim bagi dirinya sendiri karena setiap perintah moral murni yang bersumber dari Tuhan, diyakini sebagai kewajiban yang harus segera ditaati. Jika direnungkan lebih jauh, konsep keberimanan seperti inilah yang mencerminkan kesejatian dari kualitas iman itu sendiri, yakni bertindak semata-mata karena Tuhan karena kita meyakini Tuhan selalu hadir dalam segenap aktifitas kita.
Dengan konsep moralitas seperti ini pula yang mengarahkan kita pada makna asasi dari Agama, yakni sikap berserah diri, tunduk dan patuh sebagai cerminan ketakwaan, dan percaya kepada kehadiran Tuhan sebagai sumber kebaikan tertinggi yang merupakan cerminan iman. Dari uraian pengertian moral Kant serta moralitas menurut konsepsi Islam di atas, maka semakin teranglah bagi kita betapa esensialnya kedudukan moral dalam Agama. Postulasi ini menjadi semakin jelas ketika dibenturkan dengan aspek hukum dalam suatu Agama.
Formalisasi hukum menghendaki adanya aparat hukum yang berwenang mengawasi tindakan seseorang agar sesuai dengan perintah moral Agama, dan sekaligus memberikan hukuman atau sanksi bagi yang melanggar perintah moral tersebut, dengan wewenang berupa tindakan paksaan yang mereka miliki. Jika dikaitan dengan konsep moral diatas, maka daya paksa hukum atas moral tidak dapat mengantarkan subjek hukum tersebut (manusia) pada tingakatan moral sejati atau keberimanan sejati, melainkan untuk menghindar dari hukuman yang akan dijatuhkan atasnya karena melanggar perintah moral Agama.
Karena itu pula, pada awal tulisan ini disebutkan bahwa dominasi peran hukum dalam Agama, dalam kadar tertentu justru telah menghempas nilai moralitas sejati dari Agama itu sendiri, yakni ketika seseorang bertindak bukan atas dasar kesadaran ketuhanan dan perintah budi murninya sendiri melainkan karena faktor lain, yakni takluk pada daya paksa hukum atasnya. Keberlakuan hukum yang dapat mengantarkan para pemeluk Agama pada tingkatan keimanan sejati adalah ketika hukum Agama ditaati dengan sendirinya karena dianggap sebagai perintah moral dari sumber kebaikan tertinggi (Tuhan) dan tanpa ada paksaan dari Institusi manapun.
Karena pada dasarnya tidak ada Institusi manapun di dunia ini yang dapat menjamin keberlangsungan eksistensi moral seseorang. Jikapun ada lembaga yang bertindak demikian seperti halnya Polisi Syariat saat ini, maka lembaga inipun bahkan tak mampu menjamin moralitas mereka sendiri. Jika sudah begini, alih-alih kita memprediksikan akan adanya People Power untuk mendukung Syariat, saya justru mengkhawatirkan adanya People Power untuk membubarkan Institusi ini karena krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum.
Namun terlepas dari itu semua, perlu dicatat pula bahwa keberadaan hukum moral seperti ini (tanpa paksaan) tentu saja tidak dapat dibandingkan dengan sifat daya paksa yang ada dalam hukum konvensional, karena daya paksa dalam hukum konvensional tidak bermaksud untuk mengintervensi wilayah moral seseorang, melainkan memiliki tujuannya yang khas yakni apa yang disebut dengan Orde en Rust. Orde berkaitan dengan ketertiban dan keamanan, serta kata Rust yang berkaitan dengan ketentraman dan ketenangan. Walhasil, dalam pembahasan yang singkat ini setidaknya ada sedikit hikmah yang kita dapati, apalagi jika dikaitkan dengan konteks kehidupan keberagamaan kita saat ini. Mudah-mudahan dapat memberi manfaat. Amiin ya Rabb.