Problematika Penerapan Syariat Islam Dalam Negara Kontemporer

0
1122

Perdebatan soal pemberlakuan Syariat Islam sampai saat ini masih menyisakan pro dan kontra, terutama di negara-negara yang secara resmi bukan sebagai negara Islam. Jika dicermati dalam konteks sosio politisnya, isu formalisasi Syariat Islam sebagai hukum publik dewasa ini, paling tidak merupakan fenomena yang didorong oleh kebangkitan Islam (al-sahwah al-Islamiyah /Islamic awakening) pasca kolonial, terutama setelah perang dunia ke II.

Pada umumnya kebangkitan Islam ini merupakan respon yang wajar atas beragam krisis multidimensi berlarut larut, terutama bagi mereka yang cenderung berpikir praktis dan jarang berpikir kritis, pemecahan melalui jalur Syariat ini diyakini merupakan satu-satunya jalan keluar dalam mengatasi beragam krisis multidimensi tersebut. Dengan kata lain, formalisasi syariat ke ruang publik diamini sebagai solusikomplet nan mujarab dalam menuntaskan beragam kompleksitas persoalan di dalam masyarakat.

Sedikitnya ada tiga arus besar yang mengemuka dalam menyikapi Syariat Islam. Pertama, arus formalisasi Syariat. Kelompok ini menghendaki agar Syariat dijadikan landasan riil berbangsa dan benegara, implikasinya ia getol menyuarakan perlunya mendirikan negara Islam atau dengan berupaya memasukan Syariat Islam secara formal dalam Undang undang negara. Kedua, arus deformalisasi Syariat. Kelompok ini lebih memilih pemaknaaan Syariat secara substantif. Pemaknaan Syariat tidak serta merta dihegemoni oleh negara, karena wataknya yang represif. Syariat secara individu sudah diterapkan, sehingga formalisasi dalam undang undang tidak mempunyai alasan yang kuat. Ketiga, arus moderat. Kelompok ini dikesankan mengambil jalan tengah, menolak sekularisasi dan Islamisasi. Pemandangan tersebut menjadi bukti kuat, bahwa penerapan Syariat Islam merupakan arena perdebatan yang subur, dan tak jarang mengalami tarik ulur.

Syariat sebagai elemen tertinggi dalam agama mempunyai legitimasi paling kuat untuk menjustifikasi kebenaran agama. Keislaman yang semestinya dapat dipahami kepasrahan diri, pembebasan dari penindasan, pemihakan pada kaum lemah, kemudian direduksi dalam syariat rigid dan kaku. Syariah dimaknai sebagai keakuan yang tidak terjamah dan mesti dibela hingga titik darah penghabisan. Syariat menjadi alat untuk mempersempit ruang agama, sehingga pada taraf tertentu syariat bermetamorfosa menjadi agama tersendiri. Bagi kalangan yang berpijak pada arus formalisasi Syariat, penafsiran tunggal terhadap Syariat menjadi solusi tepat untuk mengiring kearah sentral. Hingga akhirnya kemunculan agama syariat tidak bisa dihindarkan. Pemikiran serius diatas, akhirnya mendapatkan perlawanan yang serius. An-Naim dalam tulisannya menegaskan bahwa Syariat tidak dapat diundangkan sebagai hukum positif karena memang bertentangan dengan asas kesukarelaan umat Islam, dan akan tetap menjadi sumber dari sistem sanksi agama yang bersifat normatif. Maraknya klaim untuk mendirikan negara Islam dengan formalisasi Syariat sebagai hukum positif (sebagaimana terjadi di Iran, Sudan dan Aceh tentunya) adalah sebuah kontradiksi istilah dan sebuah kenaifan. Sebagaimana yang ia contohkan, bahwa kebanyakan pelanggaran HAM di Sudan sekarang secara langsung disebakan oleh aplikasi Syariah (Hukum Islam), walaupun sangat terkait dengan sifat dasar yang melekat pada rezim militer Sudan yang cenderung tidak toleran terhadap segala gerakan oposisi politik, dan cenderung mengambil kebijakan-kebijakan keras, tanpa memperdulikan akibatnya bagi masyarakat. Ia menegaskan bahwa hubungan antara aplikasi syariah dan pelanggaran standar-standar HAM yang diakui secara internasional, dipandang mempunyai kompleksitas permasalahan yang menjadi penyebabnya. Sebagaimana diketahui, saat ini Sudan sedang mengalami konflik perang saudara yang bermuara dari pertentangan antar mahzab agama . Ekses dari pada konfilk ini dapat menimbulkan pelanggaran HAM berat, terutama terhadap kaum rentan semacam perempuan dan anak-anak.

Demikian juga Muhammad Abid Al-Jabiri mengatakan bahwa sebagian Fenomena kebangkitan Islam menuntut penerapan sistem Islam dalam semua aspek kehidupan. Namun perlu disadari bahwa tidak ada sistem Islam yang siap pakai,terperinci dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Al-Quran sebagaimana yang ia pahami, sama sekali tidak memberikan ungkapan yang jelas bahwa dakwah Islam bertujuan untuk mendirikan suatu negara, kerajaan atau imperium. Islam hanya mengatur dalam prinsip umum yang membuat ketetapan dengan berbagai ilustrasi etika Islam sehingga sistem Islam dalam berbagai bidang terbuka untuk ijtihad.

Hukum Islam dalam pandangan Profesor Coulson, dipahami sebagai ulasan-ulasan spekulatif untuk memahami Istilah istilah yang tepat mengenai hukum-hukum Allah. Dan apa yang kemudian dikenal oleh masyarakat dengan Islam sebagai Syariat, pada kenyataannya merupakan produk dari proses gradual dan spontan dari penafsiran Al-Quran, pengumpulan verifikasi dan penafsiran sunnah selama tiga abad pertama Islam. Ini berarti hukum Islam yang kita pahami sekarang merupakan produk hukum yang mempunyai tingkat kebenaran relatif dan memungkinkan sekali dilakukan ijtihad sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman yang melingkupinya. Hal ini menurut An-Naim, menunjukan bahwa umat Islam betul-betul mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Termasuk hak untuk mengartikan dan mengungkapkan identitas keislaman mereka yang dianggap baik atau pantas. Tetapi hal tersebut tidak dapat didasarkan pada perundang-undangan dan formalisasi syariat semacam itu, karena apapun peraturan-peraturan yang diberlakukan sebagai hukum positif adalah keinginan politis negara yang bersangkutan dan tidak akan pernah menjadi syariat yang secara umum dapat dipahami oleh umat Islam untuk tujuan menjalankan firman Tuhan. Karena, penerapan Syariat melalui Undang-undang positif (sebagaimana yang diklaim oleh pemerintah Iran, Afganistan, Pakistan, Saudi Arabia dan Sudan atau didukung oleh aktifis politik Islam di beberapa negara lain) adalah kenaifan yang berbahaya.

Pengalaman formalisasi Syariat Islam di negara kontemporer

Jika menengok negara-negara yang sudah menerapkan syariah seperti Arab Saudi, Iran, Sudan, Afghanistan, Pakistan, Nigeria, dan lain-lain, maka penerapan syariah Islam –lebih tepatnya penerapan fikih– sebenarnya sama sekali tidak menjanjikan. Puluhan ribu orang mati di Sudan Selatan karena perang sipil ketika sistem syariah diperkenalkan pada tahun 1983. Di beberapa provinsi Nigeria, dimana hukum syariah dalam bentuk hudud diberlakukan, orang-orang dicambuk dan dipotong tangannya, untuk menunjukkan bahwa rezim penguasa adalah orang-orang yang konsisten melaksanakan hukum Allah. Di Pakistan dan Afghanistan hampir setiap saat bom meledak karena pemahaman yang kaku terhadap syariah. Bahkan di Mesir yang cenderung sekuler, seorang penulis wanita (Farah Fauda) mati dibunuh didepan apartemennya oleh seseorang yang tengah melaksanakan fatwa ulama yang menyebut bahwa sang penulis telah murtad. Seorang ulama Mesir yang membela si pembunuh menyatakan bahwa jika pemerintah gagal melaksanakan syariah (termasuk membunuh yang murtad tadi) maka setiap muslim berhak melaksanakan pembunuhan itu. Penerapan syariah dengan otoritas wilyatul faqih di Iran sejak 1979, telah menyebabkan banyak umat Islam Syiah menjadi risih dengan kemunafikan ulama dan kemudian menolak formalisasi Syariat tersebut. Iran juga tercatat sebagai salah satu negara dengan presentase tertinggi kecanduan narkoba didunia. Sementara penerapan fiqh Wahabi di Arab Saudi bisa terlihat dalam kasus seperti belasan gadis sekolah yang terbakar hidup-hidup setelah ditolak menyelamatkan diri dari gedung sekolahnya yang terbakar oleh polisi agama semata karena mereka tidak memakai cadar.

Perang sipil dan pertumpahan darah di Sudan Selatan terjadi karena penerapan syariah. Menurut analisis Esposito, kebijakan Islamisasi Sudan itu sangat menganggu banyaknya orang di Sudan dan juga kepentingan Internasional. Sehingga sejumlah pihak banyak yang menuduh bahwa program islamisasi yang dilakukan lebih memecah belah ketimbang menyatukan Sudan. Konflik berdarah di Nigeria utara juga terjadi karena kelompok-kelompok garis keras yang diinspirasi Wahabi ingin memberlakukan syariah, sementara Nigeria adalah negara plural dengan konstitusi non agama seperti Indonesia. Menurut laporan, ketika syariah Islam pertama kali diterapkan di Nigeria utara, lebih dari 6000 orang mati akibat konflik agama antara 1999-2002. Di wilayah Kaduna, sekitar 2000 orang meregang nyawa akibat kerusuhan agama yang dipicu oleh penerapan syariah pada tahun 2000. Kerusuhan agama yang dipicu oleh penerapan syariah juga terjadi di daerah-daerah Bauchi, Jos, dan Aba, yang menelan korban nyawa ratusan orang.

Pengundangan negara atas teori syariat sebagaimana yang dipaparkan diatas, menjadi bukti bahwa syariat hampir mustahil untuk dapat berjalan dengan baik dalam konteks nasional dan internasional saat ini. kesulitan yang dihadapi dalam model ini termasuk ambivelensi yang besar bagi pendiri hukum syariat terhadap otoritas politik. Mereka tampaknya tidak mengontrol atau mengetahui, bagaimana membuat orang-orang yang melaksanakannya bertanggung jawab terhadap syariat itu sendiri. Penerapan hukuman bersifat fisik bagi beberapa kejahatan khusus (hudud) misalnya, menghadapi masalah prosedural dan keberatan-keberatan yang tak terselesaikan. Apalagi jika dikaitkan dengan concern Hak-Hak asasi Manusia mengenai kekejaman, tindakan tidak manusiawi dan hukuman-hukuman yang merendahkan martabat. Demikian juga pengabaian hak kewarganeraan bagi perempuan dan komunitas non-muslim akan memperoleh tantangan yang serius baik oleh kelompok yang bersangkutan maupun komunitas internasional secara luas.

Aceh dan ‘Syariat Syahwat’

Aceh ialah daerah yang banyak diberikan keistimewaan oleh Republik Indonesia. Salah satunya ialah keistimewaan untuk menerapkan formalisasi Syariat Islam. Status ini juga telah dilegalisasi oleh Undang-undang tersendiri (baca: UUPA) . Artinya meskipun Indonesia bukanlah negara agama, akan tetapi khusus Aceh, diberikan pengecualian untuk itu. Meskipun formalisasi tersebut tentunya tidak terlepas dari konteks sosio-politis yang melatar belakanginya.

Formalisasi Syariat di Aceh berbeda dengan negara-negara lain yang menerapkan syariat sebagai konstitusi, dikarenakan Aceh merupakan satu-satunya negara di dunia yang bereksperimen menerapkan Syariat Islam dalam iklim negara demokrasi. Perpaduan unik antara syariat dengan demokrasi ini kemudian melahirkan sebuah syariat bercorak modern, yaitu dengan keterlibatan partisipasi masyarakat didalamnya dalam rangka merancang konsep Syariat yang cocok untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Diharapkan dengan adanya keterlibatan bersama antara rakyat dengan pemerintah ini dapat melahirkan berbagai produk kebijakan yang membawa kemaslahatan bagi rakyat, terutama umat muslim dalam hal ini. Ini berbeda dengan Iran misalnya, dimana otoritas syariat hanya dipegang oleh ulama-ulama yang tergabung dalam wilyatul faqih. Rakyat tidak punya hak sama sekali turut campur dalam persoalan agama.

Akan tetapi Formalisasi Syariat Islam yang sudah berlangsung di Aceh selama lebih kurang tujuh tahun ini, kenyataannya hingga detik ini masih belum menunjukan perubahan signifikan terhadap kemajuan dan kesejahteraan umat Islam khususnya dan masyarakat Aceh pada umumnya. Timbul beragam kendala ketika syariat mulai dijalankan oleh instrumen negara. Demokrasi atau dikenal dengan istilah syura (musyawarah) dalam Islam, yang merupakan elemen penting dari syariat itu sendiri ternyata belum berjalan sebagaimana mestinya. Demokrasi dalam hal ini masih dijalankan setengah hati. Tidak setiap pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan syariat Islam, rakyat turut terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Terutama kebijakan populis semacam qanun jinayat dan celana ketat yang menggema pada tahun lalu. Problem untuk mengakurkan antara demokrasi dan syariat ini sendiri terjadi karena persepsi keliru pengambil kebijakan, yang menempatkan masyarakat sebagai objek hukum bukan subjek hukum. Dengan kata lain, masyarakat dianggap objek dari sebuah penerapan hukum, yang tidak punya wewenang dan hak dalam merumuskan hukum. Sedang pemerintah disisi lain ialah subjek hukum pendukung hak dan kewajiban yang dapat merekayasa dan merekonstruksi hukum. Persepsi demikian sama dengan menganggap masyarakat Aceh jahiliah serta masih berada dalam alam kegelapan. Sedangkan pemerintah sendiri menganggap diri suci dan berada dalam alam terang benderang. Maka wajar disini apabila pemerintah yang menganggap diri bersih ini kemudian menerapkan sapu bersih bagi rakyatnya yang dianggap kotor.

Formalisasi Syariat Islam yang diterapkan di Aceh dalam prakteknya hampir tidak jauh berbeda dengan negara-negara lain yang telah gagal mengelola negara dengan menjadikan syariat sebagai andalan. Semata terlihat dari formalisasi syariat Islam di Aceh yang (persis dengan negara-negara gagal tersebut) terjebak dalam problem-problem parsial seputar syahwat, belum melangkah keluar menyelesaikan problem yang lebih kompleks dalam rangka menuju kemaslahatan umat secara holistik (kaffah). Formulasi Syariat di Aceh telah diramu sedemikian rupa menjadi seperangkat syariat syahwat yang sibuk mengurusi syahwat manusia belaka bukannya syariat hajat yang mampu mengurus persoalan hajat hidup masyarakat. Syariat model ini terbukti miskin solusi dalam menjawab beragam problem mendasar umat. Misi Islam yang amat mulia yaitu membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan penderitaan, justru diturunkan derajatnya dengan hanya mengurus masalah syahwat manusia semata. Seolah-olah kehadiran Islam di muka bumi memang bertujuan untuk menggunting celana-celana semi ketat atau memotong tangan dan kaki manusia belaka, tidak lebih daripada itu. Walhasil bila demikian dangkalnya pemahaman akan syariat Islam, umat lain akan sulit membedakan antara umat muslim yang dikenal beradab dengan suku-suku primitif di jaman baheula yang terkenal biadab.

Anehnya, disatu sisi pemerintah beserta segenap pendukung syariat syahwat tampak sangat bernafsu untuk menobatkan umat, misalnya dengan gerakan menggunting celana-celana ketat (Karena diyakini celanacelana itu merupakan permasalahan utama masyarakat). Akan tetapi disisi lain hak-hak dasar umat justru dikangkangi oleh pemerintah. Contohnya, persoalan rumah bagi korban Tsunami di Aceh Barat yang hingga saat ini belum juga terealisir. Disatu sisi Pemkab Aceh barat mampu untuk menyediakan ribuan celana-celana yang dianggap islami untuk dikenakan oleh umat. Namun disisi lain untuk kebutuhan primer semacam rumah misalnya, pemkab Aceh Barat tidak mampu untuk menyediakan satupun rumah sangat sederhana kepada umatnya yang berhak. Alhasil, masyarakat akhirnya harus mengumpulkan koin untuk disumbang pada pemkab Aceh Barat, dalam rangka penyediaan tempat berteduh bagi kaum dhuafa tersebut. Umat kecewa pemkab hanya mampu mengumbar celana-celana longgar, sedangkan rumah sebagai langgar bagi umat untuk beribadah di malam hari justru tidak mampu disediakan oleh pemerintah. Rakyat heran mengapa untuk kebutuhan sandang pemkab mampu menyediakannya tanpa menggunakan dana APBD, sedangkan kebutuhan papan yang merupakan kebutuhan primer tidak sanggup disediakan pemerintah daerah melalui dana APBD. Konon lagi tanpa anggaran negara tersebut. Masyarakat bingung kenapa ibadah sunnah (menyediakan celana bagi rakyat) yang bukan kewajiban negara justru dilakukan oleh pemerintah, sedangkan ibadah wajib (menyediakan rumah bagi yang berhak) malah tidak dikerjakan oleh pemerintah. Apakah pemkab Aceh Barat dalam hal ini bermaksud supaya masyarakat hidup secara islami, dengan cara mengenakan pakaian islami sembari tinggal di gua sebagaimana rasul ketika menerima wahyu dahulu? Kalau demikian halnya tak heran daerah ini dijuluki negeri Tauhid Tasawuf, sebab negeri ini memang banyak sufi yang bergelandang kesana kemari tidak memiliki rumah alias tunawisma.

Ada lagi polemik qanun jinayat, dimana hukum rajam dan potong tangan yang hingga kini masih dalam arena debatable di kalangan jumhur ulama, seperti dipaksakan kemunculannya oleh pihak-pihak yang tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat Aceh yang hingga kini masih hidup dalam keprihatinan. Tidak ada penelitian dari pemerintah maupun dari pihak pro qanun jinayat untuk mengukur sejauh mana kesiapan dan efektifitas pelaksanaan hukuman kontroversial ini ketika kelak diberlakukan dalam konteks masyarakat melarat seperti Aceh. Semuanya disandarkan pada taklid buta akan teks-teks religius. Benarkah rakyat dan pemerintah sudah siap dalam menjalankan hukuman yang banyak menimbulkan masalah di sejumlah negara ini? Syariat syahwat ini pun ternyata banyak ditemukan kejanggalan dalam prakteknya. Aplikasi syariat syahwat ini di lapangan ternyata hanya berani mengumbar syahwat kecil dari orang-orang kecil. Namun menghadapi syahwat besar dari pejabat macam syahwat mengkorup harta anak yatim dan fakir miskin atau syahwat menebang hutan sehingga umat sengsara misalnya, syariat syahwat terlihat pengecut dan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi syahwat elite-elite tersebut. syariat syahwat seolah diam seribu bahasa dalam menghadapi syahwat besar. Sedang kepada syahwat kecil, syariat syahwat berbunyi nyaring dengan seribu satu macam suara. Secara tidak sadar, Aceh saat ini sebenarnya sedang mengkampanyekan sebuah model Syariat yang senantiasa haus berperang dengan syahwat-syahwat kecil, namun senantiasa berdamai dengan syahwat-syahwat besar. Sebuah model syariat yang agaknya khusus didesain bagi wong cilik yang tidak punya apa-apa, sedangkan wong licik yang memiliki segalanya, syariat disulap tidak berkutik sama sekali.

Disisi lain, perilaku dari sejumlah aparatur negara yang diamanahkan untuk mengawasi moral umat muslim, dalam hal ini Wilayatul Hisbah (WH), justru dipertanyakan kembali moralnya oleh masyarakat. Saat ini Aceh digemparkan oleh ulah sejumlah oknum WH yang dengan tega telah memperkosa seorang gadis dalam tahanan. Sebagaimana di beritakan harian Serambi Indonesia (edisi 12 Januari 2010) seorang gadis berusia 20 tahun disebuah perguruan tinggi dilaporkan menjadi korban pemerkosaan yang diakui dilakukan oleh tiga oknum anggota WH kota langsa. Kasus itu terjadi Jumat (8/1) dini hari ketika korban sedang diamankan diruang tahanan WH setelah tertangkap bersama teman prianya di jalan Lingkar PTPN-I langsa, Kamis (7/1) siang. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana hancurnya perasaan si gadis dan orangtuanya, ketika mengalami musibah berat seperti ini. Masa depan gadis tersebut hancur akibat nafsu biadab dari polisi yang seharusnya menjaga moral masyarakat. Tak pelak aksi bejat oknum WH tersebut membuat masyarakat kian hari kian was-was. Masyarakat semakin cemas dengan polisi moral ini setiap kali mereka beraksi. Sebab bukan sekali ini saja WH melampiaskan syahwat terpendamnya kepada masyarakat kecil. Alih-alih menjaga moral ribuan umat muslim, diam-diam mereka sendiri justru berbuat amoral dibelakang jutaan umat Islam. Mungkinkah berharap kepada mereka untuk membina umat agar beradab, sedangkan mereka sendiri tak segan-segan melakukan perbuatan biadab kepada umat? dapatkah kita percayakan mereka menjaga kesusilaan, sedang mereka sendiri gemar berbuat asusila?

Patut dipertanyakan kembali sejauh mana proses rekruitmen dari polisi penegak syariat ini. Kuat dugaan ada masalah dalam penjaringan aparat penegak hukum Islam di Serambi Mekkah. Seandainya tidak ada problem tentu tidak mungkin kejadiannya seperti ini. Kita khawatir akibat proses seleksi yang tidak tepat tersebut, telah menyebabkan lolosnya segerombolan polisi syahwat di dalam institusi penegak syariat, yang sewaktu waktu dapat melampiaskan syahwatnya pada umat dengan dalih dalam rangka menegakkan syariat. Kedepan selain proses seleksi terhadap WH diperbaiki, dinas terkait juga harus merancang aturan untuk mempertegas sanksi hukum terhadap oknum aparatur penegak syariat yang melakukan tindakan kontraproduktif terhadap tujuan syariat itu sendiri. Hukuman tersebut harus berat, sebab selain mereka memang sudah sewajarnya memberikan suri tauladan baik dalam menjaga moral masyarakat, perbuatan asusila yang dilakukan oknum aparatur syariat ini sendiri telah mencoreng marwah institusi syariat sekaligus kesucian agama Islam. Diharapkan dengan adanya sanksi tegas bagi setiap aparat penegak syariat yang mencoreng wajah Islam, perbuatan-perbuatan terkutuk seperti saat ini tidak akan terulang lagi di kemudian hari. Jangan sampai institusi penegak syariat Islam kelak menjadi sarang penjahat syahwat berseragam syariat.

Kemudian pernyataan pemerintah bahwa formalisasi Syariat Islam di Aceh adalah syariat multidimensi alias kaffah, agaknya tidak jauh berbeda dengan janji politikus ketika berkampanye. Bila tak elok dikatakan cuma dongeng pengantar tidur bagi rakyat yang sedang susah tidur akibat dihimpit berbagai kesulitan hidup. Hingga detik ini belum tampak adanya langkah maju dari pemerintah Aceh dalam mewujudkan Syariat multidimensi tersebut, terutama dalam hal ini Dinas Syariat Islam provinsi untuk melakukan berbagai terobosan progresif di bidang penegakan Syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Rakyat Aceh belum melihat adanya upaya cerdas dari dinas Syariat Islam untuk mengatasi berbagai persoalan mendasar umat sebagaimana misi Islam sejatinya. Masyarakat belum melihat adanya kerjasama secara terstruktur dan sistematis antara Dinas Syariat Islam dengan SKPA di lingkungan pemerintah provinsi beserta SKPD di lingkup pemerintah kabupaten/kota di Aceh terkait penerapan Syariat Islam secara kaffah. Minimal seharusnya ada semacam rekomendasi dari Dinas Syariat Islam kepada pemerintah Aceh dan kabupaten/kota terkait penanganan masalah ekonomi kerakyatan berbasis Islam. Sehingga diharapkan Syariat Islam tidak hanya fokus dalam menangani persoalan organ kelamin semata, akan tetapi selayaknya Syariat Islam juga dapat memberi solusi konkrit terhadap berbagai permasalahan organ vital manusia lainnya, seperti organ perut misalnya . Karena apabila organ vital untuk hidup ini tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah, kita ragu umat memiliki cukup energi untuk bermunajat kepada yang maha Kuasa. Tentunya solusi konkrit tersebut harus diwujudkan dilapangan. Tidak hanya sekadar beretorika bahwa Syariat memberikan jawaban terhadap masalah ini itu, tapi realitanya nol besar. Umat lelah mendengar bualan pemerintah beserta segenap pendukung syariat syahwat.

Berkaitan dengan hal tersebut, entah apakah ada hubungannya atau tidak dengan formalisasi Syariat, yang jelas kondisi kesejahteraan rakyat Aceh hari ini tidak dapat dikatakan menggembirakan. Bila tak ingin disebut menyedihkan dibanding daerah-daerah lainnya di Indonesia yang tidak menerapkan formalisasi agama ke ruang publik. Mulai dari inflasi sampai sempitnya lapangan pekerjaan, semua itu bagaikan mimpi buruk bagi masyarakat Aceh yang hingga kini mayoritas masih hidup dibawah garis kemiskinan. Adalah sebuah kebohongan publik apabila mengatakan mayoritas rakyat Aceh saat ini sudah bebas dari kemiskinan dan hidup makmur sejahtera. Sebab kenyataan menunjukan sebaliknya. Bagaimana mungkin dapat dikatakan sejahtera sedangkan kaum dhuafa saja masih banyak menderita karena tidak punya rumah dan pekerjaan? Bagaimana bisa disebut makmur sedangkan harga kebutuhan pokok di Aceh semakin lama semakin melambung, menambah beban rakyat yang kian hari kian menggunung? Alhasil bila kondisi ini terus menerus dibiarkan bukan tidak mungkin daerah yang bangga dengan klaim sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang berstatus Syariat ini, kelak akan kolap perekonomiannya diiringi dengan ledakan pengangguran dan orang miskin. Bila demikian yang terjadi status Aceh sebagai daerah syariat Islam terasa hampa sebab tak ada artinya bagi kemajuan dan kesejahteraan umat muslim khususnya dan rakyat Aceh pada umumnya.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.