Qanun Jinayat Versus Hukum Nasional:Problematika Formalisasi Hukum Islam Di Aceh

0
238

Dalam pandangan saya, juklak bukan faktor utama penghambat implementasi qanun jinayah. Memang juklak itu diperlukan ,dan untuk menggolkan juklak harus diakui juga tidak mudah, tapi sebelum juklak dibuat , ada faktor lain yang masih perlu dipertimbangkan. Dalam keyakinan saya, pemerintah sekarang yang didominasi oleh Partai Aceh atau mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak akan mudah membuat juklak karena sejak awal tuntutan GAM lebih kepada keadilan politik dan ekonomi, dengan kata lain formalisasi syariat Islam bukan prioritas. Kemudian, kalaupun qanun ini, karena adanya desakan dari berbagai pihak, misalnya, dilengkapi dengan juklak, masih ada dua masalah lagi yang membutuhkan penyelesaian. Masalah pertama adalah bagaimana menyelaraskan qanun jinayah ini dengan tuntutan hak asasi manusia (HAM). Masalah kedua bagaimana menyelaraskan qanun ini dengan hukum nasional.

Boleh jadi orang Aceh akan mengabaikan tuntutan HAM internasional dengan segala konsekwensinya. Orang Aceh boleh saja merujuk ke HAM versi Islam sebagaimana dirumuskan dalam Cairo Declaration of Human Rights in Islam (CDHRI), yang memberikan supremasi syariah dalam menafsirkan HAM. CDHRI yang dirumuskan dalam konferensi menteri-menteri luar negeri Negara-negara Islam yang diselenggarakan di Kairo dari tanggal 31 Juli sampai 5 Agustus 1990 atau 9-14 Muharram 1411, pada pasal 24 menyatakan : all the rights and freedoms stipulated in this Declaration are subject to the Islamic Shari’ah. Dalam 25 dikatakan : the Islamic Shari’ah is the only source of reference for the explanation or clarification of any of the articles of this Declaration.

Akan tetapi qanun jinayah yang dibuat di Aceh tidak bisa keluar dari koridor Undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sebagai kelanjutan dari ditandatanganinya perjanjian Helsinki, serta tidak bisa keluar dari konstitusi dan system hukum nasional Indonesia.

Memang benar bahwa berdasarkan pasal 235 ayat 3 Undang-undang nomor 11 tahun 2006,pemerintah (pusat) tidak bisa lagi membatalkan qanun dengan alasan perundangan yang lebih tinggi. Akan tetapi pemerintah masih bisa membatalkan qanun dengan alasan

kepentingan umum (pasal 235 ayat 2 a) yang pengertiannya bisa amat luas. Sesuai dengan perundang-undangan, Mahkamah Agung juga bisa menguji qanun (pasal 235 ayat 3 UU No 11 tahun 2006 dan pasal 31A UU No.3 tahun 2009).

Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa perlindungan HAM disebut secara tegas baik dalam UU nomor 11 tahun 2006 maupun dalam perjanjian Helsinki tahun 2005. Jangan lupa bahwa acuan perlindungan HAM di sini tentu bukan CDHRI tapi undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan undang undang nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Acuan ini (ICCPR) juga yang digunakan dalam perjanjian Helsinki. Point 1.4.2 perjanjian Helsinki menyatakan : The legislature of Aceh will redraft the legal code for Aceh on the basis of the universal principles of human rights as provided for in the United Nations International Covenants on Civil and Political Rights and on Economic, Social and Cultural Rights. Kalau hal ini tidak diperhatikan maka qanun jinayah bisa mengalami blunder sebagaimana pernah digambarkan oleh Kirsten E. Schulze.

Kirsten E.Schulze dalam tulisannya yang berjudul A jumble of purposes of syariah law in Aceh mengajukan pertanyaan apakah pada level nasional syariat Islam sejalan dengan konstitusi Indonesia? Dalam prakteknya boleh jadi muncul kasus yang diadili oleh Mahkamah Syariah di Aceh, kemudian setelah banding ke tingkat kasasi akan ketemu dengan Mahkamah Agung yang menggunakan hukum nasional. Jika Mahkamah Agung bersikukuh menggunakan validitas syariah ia akan mengabaikan hukum nasional dan jika yang terjadi sebaliknya maka penerapan syariat Islam di Aceh tidak lebih hanya sekedar tulisan diatas kertas. The key question at the national level is, of course, whether the syariah is compatible with Indonesia’s constitution. In a practical sense this may result in cases tried under the syariah in Aceh being appealed to the Supreme Court under national law. If the Supreme Court upholds the validity of the syariah it has effectively undermined national law, and if it doesn’t the syariah in Aceh isn’t worth the paper it was written on. ( The Jakarta Post , April 19,2002).

Dalam kaitan dengan qanun jinayah , saya berpandangan bahwa qanun ini sebenarnya masih bisa dipertanyakan keabsahannya. Para pendukung qanun ini tidak bisa semata-mata menggunakan pasal 234 undang-undang nomor 11 tahun 2006 yang menyatakan bahwa dalam hal rancangan qanun yang telah disetuji tidak disahkan oleh gubernur maka akan menjadi sah dengan sendirinya setelah jangka waktu 30 (tiga puluh ) hari. Sebab, sepengetahuan saya, gubernur Aceh memang belum menyetujuinya. Oleh karena itu cara yang terbaik adalah mengembalikan qanun itu kepada DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) untuk direvisi dan disempurnakan.

Menurut hemat saya, bagian penting yang perlu direvisi adalah ketentuan tentang hukuman rajam ( hukuman mati bagi pezina muhson dengan cara dilempari batu). Saya percaya bahwa tidak ada orang Islam yang membolehkan perzinahan. Zina bukan saja haram tapi termasuk dosa besar yang sanksinya di akhirat amat berat. Oleh karena itu , orang Islam yang benar-benar menghayati ajaran agamanya mestinya tidak akan melakukan perbuatan yang terkutuk ini terlepas ada atau tidak adanya ancaman hukuman dalam undang-undang duniawi. Akan tetapi andaikata perbuatan yang melanggar susila ini akan dijadikan sebagai tindakan criminal, maka penanganannya harus hati-hati karena beberapa alasan.

Pertama , sanksi rajam atau hukuman mati tidak disebut dalam al-Quran. Kedua, selama perzinaan itu tidak dilakukan secara terang-terangan, zina cenderung menjadi persoalan privat. Ketiga, Ketentuan tentang sanksi bagi perbuatan zina masuk kategori muamalah dalam arti luas yang bisa berubah sejalan dengan perubahan waktu dan tempat sesuai dengan kaidah fiqih taghayyurul ahkam bi taghayyuril azminah wal amkinah.

Keempat, bagi mereka yang berpandangan bahwa hukuman rajam merupakan ketentuan yang qathi yang tidak bisa berubah mereka mesti ingat bahwa hukum Islam secara umum bisa dibagi dua yakni hukum taklifi dan hukum wadi. Kalau hukum taklifi terkait dengan tingkatan beban yang dijatuhkan kepapa mukallaf, seperti wajib , mubah , haram, hukum wadI terkait dengan kondisi tertentu yang menyertai hukum taklifi, seperti syarat, sebab atau penghalang. Dalam situasi dimana suatu ketentuan hukum taklifi tidak bisa dijalankan karena belum terpenuhinya unsure-unsur dalam hokum wad,I, maka umat Islam tidak wajib menjalankannya. Banyak contoh yang bisa dikemukakan dalam kaitan ini. Haji, adalah kewajiban bagi semua orang Islam, tapi kalau syaratnya belum terpenuhi atau ada penghalang maka kewajibannya bisa gugur atau tertunda. Dalam kaitan ini segala ketentuan perundangan yang menghalangi hukuman rajam di Aceh bisa dilihat sebagai mawani syarI (penghalang syara). Oleh karena itu umat Islam di Aceh tidak perlu memaksakan diri menjalankan hukuman rajam ini. Hukuman rajam bisa diganti dengan sanksi lain yang sejalan dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Umat Islam di Aceh kiranya perlu mewaspadai terhadap politisiasi dan formalisasi syariat yakni upaya menggunakan syariat Islam hanya untuk kepentingan politik dengan lebih menitikberatkan aspek formal ketimbang isi sehingga substansi atau maqashid syariatnya sendiri seringkali malah diabaikan. Penerapan syariat Islam bisa melalui jalur formal struktural dan bisa melalui jalur non formal atau cultural, keduanya bisa saling mengisi.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.