Artikulasi Norma Kesusilaan Dalam Norma Hukum

0
701

Dalam pembahasan persoalan Hukum sebetulnya kita tidak pernah terlepas dari bahasan kandungan esensial dari Hukum itu sendiri, yakni norma Hukum. Setiap orang akan menyadari bahwa dalam hubungan interaksi sosialnya dalam masyarakat, manusia selalu diliputi oleh rangkaian norma-norma yang turut mempengaruhi tatanan kehidupan sosialnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi kehadiran norma Hukum dalam kehidupan masyarakat tentu saja memiliki nilai pembeda (differential) dari norma-norma lainnya. Norma Hukum memiliki karakter spesifik yang menjadi ciri identik Hukum itu sendiri, karakter spesifik dari norma Hukum itu antara lain dapat di sebutkan, Pertama: Norma Hukum bersifat Heteronom, dalam arti bahwa norma Hukum itu datangnya dari luar diri manusia. Dalam hal ini, negaralah yang mewajibkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu tindakan hukum.

Berbeda dari norma kesusilaan, ketika kita hendak melakukan perbuatan baik kepada sesorang, maka kita bertindak atas dasar kehendak dan keyakinan yang datang dari diri kita sendiri. Kedua, norma Hukum dapat dilekatkan sanksi pidana ataupun sanksi paksaan secara fisik yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang diberi wewenang oleh Hukum (Maria Farida, 1998:11). Terkait hal ini sebetulnya norma Agama hampir mendekati norma Hukum, sebab pada dasarnya norma Agama juga mengenal adanya sanksi bagi yang tidak taat menjalankan perintah agama, namun yang membedakannya dari norma Hukum adalah sanksi pada norma Agama bersifat Transendental yang bersumber dari otoritas diatas manusia. Karenanya norma Agama sangat identik dengan keyakinan dan motivasi pribadi seseorang untuk menjalankan ataupun tidak menjalankan perintah Agama, sebab ini sudah batas privat.

Disisi yang lain, norma Hukum merupakan sanksi empirik yang dapat diorganisasikan secara sosial dan langsung dapat berlaku sebagai reaksi dari tindakan yang melanggar suatu aturan Hukum. Meski demikian, khusus untuk Aceh yang memilki keistimewaan dalam hal penyelengaraan kehidupan keagamaan berupa penerapan Hukum Syariat Islam, sebagian norma kesusilaan dan keagamaan diartikulasikan dalam norma Hukum. Yang menarik untuk dicermati dalam hal ini adalah mengenai sistem penerapan sanksi yang terdapat dalam Qanun Jinayat Aceh, dimana pelaku Pelanggaran terhadap Tindak pidana susila tertentu diancam dengan hukuman yang tidak sebanding dengan efek kejahatan yang di timbulkan dari tindak kejahatan tersebut. Sebut saja misalnya Tindak kejahatan perzinahan yang di lakukan oleh seseorang yang telah menikah (muhsan), diancam dengan hukuman mati dengan cara rajam yaitu hukuman pelemparan batu sampai mati (stoning to death) padahal kalau dilihat dari efek kejahatan yang di timbulkan dari kejahatan perzinahaan ini,ia hanya menyangkut beberapa pribadi pelaku kejahatan itu saja. Sedangkan banyak kejahatan lain yang dikenal memiliki efek kejahatan yang besar justru mendapatkan ancaman sanksi yang lebih rendah dan bahkan luput dari pengaturan Hukum (Qanun).

Kejahatan seperti Pengedaran Narkoba yang memiliki dampak kejahatan yang sangat besar bahkan dapat berujung pada kematian serta rusaknya mentalitas seseorang, justru mendapat ancaman hukuman yang lebih rendah dari kejahatan susila perzinahan. Belum lagi menyangkut persoalan korupsi, perambahan hutan serta bentuk-bentuk kriminal berat lainnya seolah tidak dipandang sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan perintah Agama sehingga tidak berada dalam ruang lingkup pengaturan hukum syariah.

Hal semacam inilah yang sangat kita sesalkan dari riwayat penegakan syariat islam di bumi serambi mekkah ini. Hal lain yang juga patut di persoalkan adalah berkenaan dengan pergeseran paradigma sebagian masyarakat kita tentang tujuan dijatuhkannya sanksi pemidanaan terhadap seseorang yang melakukan tindak kejahatan. Saat ini, khususnya dalam konteks penegakan Syariat Islam di Aceh ketika kita mendiskusikan mengenai jenis sanksi yang akan di jatuhkan terhadap seorang pelanggar syariat, maka hal yang selalu mewarnai pikirannya adalah bagaimana agar hukuman itu dijatuhkan seberat-beratnya sehingga menimbulkan efek jera (deterrence effect) bagi pelaku kejahatan dan juga sebagai contoh bagi masyarakat yang dinilai akan berpotensi menjadi calon pelaku lainnya yang menyaksikan hukuman tersebut di laksanakan. Sebagian lagi justru bersikap skeptis tentang di berlakukannya Hukum rajam dalam Qanun Jinayat. Dalam hal ini mereka berpandangan bahwa pada prinsipnya mereka tidak menyetujui adanya Hukum rajam, namun disisi lain mereka justru mendukung jika ancamanhukum rajam di berlakukan.


Dari pandangan semacam ini dapat di ketahui bahwa mereka menginginkan Hukum yang berlaku hanya sebatas pada ancaman sanksi yang berat sehingga di harapakan dapat menimbulkan rasa takut berupa ancaman Psikis (Phsychic compulsion) bagi calon pelaku kejahatan. Pandangan seperti ini memiliki segi positif, yaitu Hukum yang lebih menekankan pada aspek Preventif (pencegahan) agar masyarakat tidak melakukan suatu tindak kejahatan yang diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Namun apabila dicermati lebih jauh, Hukum semacam ini pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan Norma Agama biasa, yakni memiliki ancaman Psikis (psychic compulsion) yang berat,akan tetapi sanksi tersebut memiliki karakter transcendental yang tidak berlaku secara empirik dan dilaksanakan oleh kumpulan individu tertentu yang diberikan wewenang atasnya (Prof.DR Jimly Ashiddiqie dan M.Ali Sjafaat, 2004:32). Demikian juga dalam hal suatu norma hukum terdapat sanksi yang pada dasarnya hanya sebatas pada ancaman psikis dan tidak dapat berlaku secara sosial empiris maka jelaslah dalam kasus ini norma hukum tidak berbeda dengan norma Agama biasa.

Lebih lanjut jika aturan aturan yang ada dalam norma Agama ditentukan secara spesifik kedalam norma Hukum karena dewan legislatif menentukan demikian, maka kepercayaan kepada Tuhan dan perintahnya sebagai motif manusia dalam berprilaku, sesungguhnya tidak mencukupi untuk membuat orang agar tidak melakukan kejahatan yang di larang oleh Agama. Keadaan seperti ini justru secara perlahan telah mereduksi kualitas keimanan seseorang.

Kembali lagi tentang persoalan sanksi, bahwa Sedikit sekali dari jenis sanksi yang terdapat dalam Qanun Syariat yang memberikan penekaanan pada aspek perbaikan (remedial) pelaku kejahatan itu sendiri. Padahal kalau kita mengacu pada teori-teori pemidanaan pada umumnya kita akan mendapati bahwa sebetulnya efek jera (deterrence effect) bukanlah tujuan pemidanaan yang berdiri sendiri dan terlepas dari elemen-elemen lain, melainkan terdapat beberapa aspek lain yang harus di perhatikan ketika hendak menjatuhkan pidana. Adapun elemen tersebut menurut Menurut Andi Hamzah,salah seorang pakar hukum pidana Indonesia, antara lain sebagai berikut (Andi Hamzah S.H,2004:28)

Pertama: Reformation (perbaikan), artinya memperbaiki dan merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan tidak ada seorangpun yang merugi jika penjahat menjadi baik. Dalam hal ini cukup disesalkan juga bagi yang merasa frustasi untuk mendidik dan mengayomi pelaku kejahatan dengan alasan bahwa sistem pemenjaraan bersifat boros dan tidak efektif,sehingga atas dasar itu mereka cenderung beralih pada hukuman yang bersifat singkat,cepat dan murah bahkan cenderung instant. Inilah menurut pandangan penulis sebagai salah satu bencana kemanusiaan, ketika manusia di tugaskan menjadi khalifah fil ardh/pemimpin dunia, manusia seharusnya memiliki tugas dan fungsi sebagai pendidik, pengayom dan menjadi makhluk teladan bagi makhluk-makhluk lainnya. Ironisnya manusia disaat yang sama gagal menjalankan tujuan mulia tersebut, bahkan manusia tak dapat menjadi teladan, pendidik dan pengayom bagi golongannya sendiri. Kemampuan manusia untuk mendidik dan mengayomi sesamanya diganti dengan kemampuan manusia untuk saling memusnahkan dan menghabisi sesamanya. Inilah yang mesti mendapat perhatian oleh kita semua terutama oleh para penegak hukum kedepan agar hal tersebut diatas tidak terjadi di negeri ini.

Kedua, Restraint (pengasingan) : yakni mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Ini merupakan hal yang penting,sebab masyarakat tidak merasa aman jika pelaku kejahatan masih berkeliaran dalam masyarakat. Dengan demikian Hukum ini juga akan memberikan rasa aman bagi masyarakat, selain itu juga mengasingkan pelakunya untuk tujuan pembinaan dan pengayoman. Oleh sebab itu tindakan hukum berupa penderitaan fisik yang bersifat sementara dan selanjutnya kembali di lepaskan dengan begitu cepat dinilai belum dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat selain juga tidak memenuhi aspek remedial (perbaikan) yang layak terhadap pelaku kejahatan.

Ketiga, Retribution (pembalasan) dan Deterrence (efek jera). Ialah merupakan unsur selanjutnya dalam pemidanaan berupa pembalasan dan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan. Dalam perspektif modern, hukuman pembalasan dan efek jera terhadap pelaku telah terwakili dalam bentuk pengasingan berupa hukuman pemenjaraan. Dalam hal ini efek penderitaan yang di timbulkan adalah pengekangan terhadap kebebasan dan interaksi dengan masyarakat.

Akhir kata, bagaimanapun saat ini orientasi pemidanaan dalam sistem hukum Indonesia telah mengalami kemajuan kearah pengayoman dan pendidikan bagi pelaku kejahatan agar dapat di terima dengan baik dan menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat. Tinggal sekarang bagaimana kita yang kini menerapkan hukum syariat Islam harus memikirkan metode pendidikan, pembimbingan dan pengayoman para pelaku kejahatan di sesuaikan dengan syiar keislaman yang menjadi karakter khas dari masyarakat dan budaya Aceh. Jangan sampai penerapan syariat Islam di Aceh terjebak pada aspek unsur pemidanaan berupa pencegahan dan efek jera semata, akan tetapi juga jangan dilupakan aspek perbaikan (remedial), pendidikan dan pengayoman bagi pelaku pelanggar Syariat Islam. Sehingga mudah-mudaha Islam Rahmatan Allamin dapat terwujud di Nanggroe Aceh tercinta ini. Amien!

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.