Gagasan mengenai hukum perubahan Al Shadr diatas memberikan fondasi dasar bagi ummat muslim saat ini khususnya di Aceh, tentang bagaimana seharusnya memulai sebuah gerakan pembangunan peradaban bangsa. Jika menyimak gagasan Al Shadr diatas, maka membangun peradaban haruslah dilandasi oleh suatu gambaran tentang masa depan (konsepsi) yang hendak kita bangun bersama, karena Konsepsi menurut Al-Shadr adalah sebagai langkah pertama terjadinya gerak sejarah atau terjadinya perubahan, dengan kata lain konsepsi ini berfungsi sebagai Stimulus bagi terjadinya gerak perubahan peradaban.
Pertanyaan kita saat ini adalah, sudahkah kita (Aceh) memberikan gambaran tentang konsep peradaban yang kita idamkan kelak?. Apabila kita mengamati realitas yang terjadi di Aceh saat ini, barangkali hampir tidak ada orang yang tidak menginginkan terjadinya perubahan peradaban di bumi serambi mekkah ini, termasuk para birokrat atau teknokratnya yang duduk dalam jajaran pemerintahan. Namun yang disesalkan, kita sepertinya masih gagal dalam tataran perumusan konsepsi. Syariat Islam yang dalam hal ini menjadi dasar konsep Perubahan peradaban di Aceh, diwujudkan dengan semangat mengeluarkan aturan-aturan hukum untuk menghukumi sebanyak-banyaknya para pelanggar moral (dalam arti sempit), yakni bagaimana mengorganisir masyarakat sedemikian rupa sehingga mereka tunduk dan patuh terhadap aturan tentang busana, etika pergaulan dengan lawan jenis dan lain sebagainya.
Dari hal tersebut, dipahami bahwa konsep awal perubahan peradaban yang diusung para pemimpin di Aceh saat ini adalah dengan menertibkan terlebih dahulu para pelanggar moral (dalam arti sempit). Karena aturan-aturan moral ini menjadi prioritas pertama, berarti secara tidak langsung kita beranggapan bahwa para pelanggar moral ini sebagai faktor terdepan yang menghambat kemajuan peradaban. Pemahaman yang demikian ini lahir dari kesimpulan yang parsial, terhadap konsepsi Syariat Islam sebagai stimulant perubahan peradaban yang hendak diterapkan di Aceh.
Dalam konteks hukum sendiri, pendapat ini seolah diterima sebagai suatu gagasan hukum yang begitu cemerlang, karena berasal dari sesuatu yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat, atau dalam hukum dikenal dengan istilah the living law. Gagasan the living law ini jelas di pengaruhi oleh aliran filsafat hukum Sociological Jurisprudence yang belakangan ini cukup populer dikalangan terotikus Hukum di Indonesia. Bahkan dalam lampiran UU No 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang undangan Republik Indonesia, secara gamblang mengamanatkan, agar dalam konsideran suatu undang-undang atau Peraturan Daerah mencantumkan latar belakang filosofis, yuridis dan sosiologis yang menjadi dasar dibentuknya peraturan tersebut.
Menyangkut strategi perubahan peradaban yang dijalankan pemerintah Aceh saat ini, maka muncul serangkain pertanyaan yang melekat dipikiran kita, yakni mengapa gagasan-gagasan ideal hukum diatas belum mampu mengangkat derajat peradaban Aceh ke taraf yang lebih baik? atau setidak tidaknya berjalan sedikit lebih cepat dibanding daerah lain di Indonesia. Dan mengapa pula dalam proses perancangan Qanun Syariat Islam selalu mengandung kontroversi yang tiada henti menyangkut substansi aturan yang akan diberlakukan? Sehingga aturan-aturan yang lahir justru kontraproduktif dari hasil yang diharapkan.
Ini semua menandakan ada hal yang keliru, menyangkut konsep dasar yang menjadi acuan lahirnya aturan-aturan tersebut. Keterputusan kesinambungan antara konsep dan realitas inilah yang menjadi dasar pikiran awal penulis, untuk mengasumsikan bahwa telah terjadinya distorsi konsep perubahan peradaban di Aceh saat ini. Distorsi-distorsi tersebut antara lain, Pertama, Distorsi terhadap ajaran hukum Sociological Jurisprudence. Ajaran hukum Sociological Jurisprudence ini sendiri adalah suatu aliran filsafat hukum yang berpandangan tentang pentingnya Living Law yang hidup dalam masyarakat, dan kelahirannya merupakan sinthese dari thesenya Positivisme hukum (yang mengutamakan akal dalam proses perumusan hukum), dan sekaligus sebagai antithesenya dari Mazhab sejarah yang mengutamakan pengalaman atau nilai yang semata-mata tumbuh dalam masyarakat. Sehingga dengan kata lain, Sociological Jurisprudence merupakan penggabungan antara rasio dan nilai yang tumbuh dalam masyarakat (pengalaman) dalam proses perumusan hukum (Prof.DR. H.Lili Rasjidi,S.H.,S.Sos.,LL.M. dan Ira Thania Rasjidi.,SH.,LL.M. Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,2004).
Ajaran hukum yang merupakan penggabungan antara rasio dan nilai nilai yang tumbuh dalam masyarakat, memang merupakan suatu gagasan yang dinilai cukup ideal, mengingat hukum juga harus memperhatikan realitas perkembangan yang ada dalam masyarakat.
Akan tetapi jika dilihat lebih jauh tentang konsep penegakan hukum kita saat ini sepertinya memang terlihat telah terjadi distorsi dalam penerapan konsep sociological Jurisprudence, sebab dalam pandangan saya memperhatikan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat bukan berarti pemerintah harus mengadopsi dengan segera seluruh kehendak masyarakat agar diterbitkannya suatu aturan hukum seperti yang diinginkan masyarakat dalam suatu wilayah hukum tertentu, sebab ajaran sociological jurisprudence tidaklah bertolak dari apa yang diinginkan oleh masyarakat semata, melainkan pemerintah harus terlebih dahulu melakukan penilaian rasional dan pertimbangan lebih lanjut tentang baik buruknya masa depan norma tersebut bagi perkembangan peradaban masyarakat.
Berkaitan dengan hal ini, ada satu contoh menarik yang diberikan oleh L.G. Saraswati Dkk, yang menyebutkan, jika dalam suatu wilayah tertentu dimana kondisi sosiologis masyarakatnya memiliki tingkat sensitivitas gender yang sangat rendah, seperti misalnya perempuan sangat dibatasi untuk dapat terlibat dalam berbagai urusan wilayah publik, maka apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai suatu tata nilai yang baik karena berasal dari tradisi sekelompok masyarakat? (L.G Saraswati dkk.Hak Azasi Manusia, Teori, Hukum dan Kasus, 2006). Karenanya menurut penulis, hukum sebagai instrument perubahan masyarakat, dalam kondisi tertentu juga harus menemukan nilainya sendiri yang dianggap baik bagi perkembangan peradaban masyarakat, sekalipun nilai tersebut tidak dikenal dalam komunitas masyarakat tersebut.
Terkait dengan kondisi sosial saat ini, maka mendahulukan konsep penegakan moral (dalam arti sempit) bukanlah pilihan yang tepat jika dilihat dari strategi perubahan peradaban. Sebab, penegakan moral dalam arti sempit ini tidak secara langsung berimplikasi pada meningkatnya kualitas peradaban suatu bangsa. Supremasi moral kita saat ini jikapun diandaikan berhasil, dalam arti apabila semua orang tunduk dan patuh untuk (misalnya) mengenakan model dan tata cara berpakaian tertentu, ini berarti konsep pembangunan peradaban kita baru pada taraf pendidikan etika dan sopan santun!.
Masalahnya, apakah konsep perubahan peradaban melalui pendidikan etika dan sopan santun dapat katakan sebagai suatu strategi yang tepat, jika dilihat dari konteks persaingan global saat ini yang mensyaratkan pada daya saing pendidikan, perekonomian daerah yang mapan, dan penguasaan teknologi yang mumpuni, sehingga tanpa itu mustahil suatu daerah akan maju. Gambaran ini secara terang menunjukkan bahwa membangun suatu peradaban bangsa, sama sekali tidak cukup jika hanya bermodalkan pendidikan etika dan sopan santun semata, melainkan banyak aspek aspek lain yang secara nyata dapat menjadi jawaban dari persaingan global kita saat ini.
Memang sangat dibutuhkan kehati hatian kita dalam memahami hal ini, sebab jangan sampai ide ini dianggap sebagai awal dari upaya penghancuran moral oleh konsep peradaban modern. Hal ini tentu saja tidak benar, karena pandangan diatas tidak berakhir pada kesimpulan negasi moral dalam kehidupan peradaban modern, namun justru berkonotasi bahwa dalam kondisi saat ini, kebijakan yang berorientasi pada kemajuan pendidikan, daya saing bidang perekonomian (bukan ekonomi liberal) dan teknologi modern harus mendapatkan perhatian yang lebih serius dibanding kebijakan lainnya.
Kedua, keyakinan masyarakat kita bahwa syariat Islam adalah sebagai instrument yang ampuh untuk mewujudkan konsep perubahan peradaban, juga telah terjadi distorsi. Semangat untuk mewujudkan kembali kejayaan islam dimasa lampau selalu dipandang dari sektor hukum dan bentuk Negara (sistem politik) yang berkembang ketika itu. Padahal, ada aspek lain yang lebih esensial dari itu semua, yakni kemajuan peradaban islam dibidang ilmu pengetahuan. Tanpa kemajuan ilmu pengetahuan, saya tidak yakin peradaban islam akan berkembang dan bahkan jauh lebih maju dibanding bangsa eropa yang justru pada masa itu sedang berada dalam masa kegelapan (dark age).
Namun apa yang terjadi di Aceh saat ini justru sangat berolak belakang dengan kenyataan sejarah yang menjadi sumber rujukannya, makna peradaban lagi-lagi dipahami dalam arti yang sempit, kata peradaban seringkali diartikan melalui analisis kata dasarnya adab yang identik dengan keadaan seseorang yang memiliki seni berprilaku menurut cara-cara tertentu, sehingga dengan berprilaku demikian seseorang disebut memiliki sifat adab tersebut (sopan santun dan berbudi luhur), jadi tidak mengherankan jika konsep peradaban kita selalu merujuk pada soal bagaimana cara berprilaku yang baik dan benar.
Sebaliknya, kebijakan-kebijakan yang mendorong tumbuhnya situasi yang kondusif bagi pendidikan justru terpinggirkan, jikapun ada hanya sebatas regulasi-regulasi teknis kependidikan, bukan terobosan-terobosan baru yang bersifat konseptual-strategik. Menurut saya, membangun peradaban Aceh dalam konteks keislaman tidak terlepas dari bagaimana agar Aceh dapat menjadi pusat pengembangan pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun bidang pendidikan umum lainnya.
Kemajuan bidang ilmu pengetahuan islam dimasa lalu sangat ditentukan oleh komitmen pemimpinnya untuk mendorong gairah pendidikan pada masa itu. Cendikiawan muslim Indonesia Harun Nasution misalnya mencontohkan, seperti pada masa khalifah Al-makmun yang berjasa mendirikan Bait Al-Hikmah sebagai pusat kajian filsafat yunani dan selanjutnya memberikan pengaruh cukup besar bagi perkembangan filsafat islam. (Prof. Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam,1986). Tentu sulit bagi kita untuk membayangkan seandainya ada ulama ketika itu yang menentang dan berhasil menghambat pembangunan Bait Al Hikmah, serta menuduh Khalifah Al-Makmun telah melakukan Taghrib karena khawatir akan tercemarnya para intelektual islam dengan pemikiran filsafat barat (yunani), barangkali dunia hari ini tidak pernah mengenal dengan sebutan Filsafat Islam, ilmu Mantiq (logika), dan berbagai disiplin ilmu lainnya yang lahir dari pemikir-pemikir besar Islam ketika itu.
Pada dasarnya kita Ummat muslim memilki cerita sejarah yang cukup menggembirakan tentang perkembangan peradaban, tinggal bagaimana Aceh saat ini menyusun kekuatan untuk mewujudkan kejayaan itu kembali, Aceh hari ini punya banyak tokoh intelektual yang berasal sarjana-sarjana pendidikan dalam dan luar negeri yang telah bersentuhan dengan pengatahuan modern. Keadaan semacam ini seharusnya dimanfaatkan sebagai bekal untuk mendirikan Baitul Hikmah II di Aceh. Tapi sepertinya gagasan ini terlihat tidak terlalu menarik bagi elemen pemerintah dan ulama kita hari ini.
Menyadari hal itu semua, pada akhirnya dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa sesuai dengan penjelasan kita tentang pentingnya konsepsi bagi kemajuan peradaban bangsa, maka hukum seharusnya mengadopsi konsep yang terbaik bagi kemajuan peradaban masyarakat, bukan justru harus selalu terpaku pada apa yang telah menjadi tradisi dalam masyarakat, dan berlindung dibalik sakralitas ajaran hukum sociological jurisprudence. Berdasarkan deskripsi kritis kita tentang konsep perubahan peradaban Aceh saat ini, maka dalam sistem perencanaan hukum kedepan, yang harus diutamakan adalah perlunya regulasi-regulasi hukum yang dapat menjadi stimulus peradaban dalam arti yang luas, yakni bagaimana aturan hukum dapat mewujudkan kemajuan Aceh dibidang ilmu pengetahuan, karena yang demikian merupakan syarat mutlak yang diperlukan oleh bangsa kita saat ini jika hendak mengukir kembali kejayaan islam di bumi tanah rencong ini.