Sadar ataupun tidak, perjalanan Aceh menuju perdamaian yang hakiki masih panjang dan masih membutuhkan perjuangan oleh berbagai pihak, yang mana perjuangan tersebut tidak lagi dengan perlawanan senjata dan dentuman meriam, namun senjata saat ini adalah posisi tawar terhadap Pemerintah Pusat, memberikan argumentasi tentang pembangunan Aceh masa depan yang damai dan yang dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Semua rakyat Acehpun tahu bahwa masih ada berbagai persoalan yang perlu segera dituntaskan untuk mencapai aceh yang damai, tidak hanya persoalan dianulirnya RPerpres tentang Kawasan Bebas Sabang, dan beberapa RPP/RPerpres yang hingga hari ini belum selesai. Padahal jelas bahwa amanat dari UU No. 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) adalah kewajiban Pemerintah Pusat untuk segera melahirkan RPP/RPerpres tersebut. Namun sayangnya sudah lima tahun MoU –dan sudah hampir lima tahun juga UUPA dibuat– tetap saja ada ketidakrelaaan Pemerintah untuk segera membuat dan merealisasikannya.
Dalam kerangka damai, tentunya kita akan melihat adanya sebuah kondisi di mana kesejahteraan dan keadilan terbangun. Kondisi ideal dari sebuah perdamaian akan jelas tampak dari efektifnya pembangunan yang dilakukan sehingga memberikan dampak terhadap terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat. Namun fakta mengatakan bahwa kondisi ideal dari sebuah perdamaian masih jauh dari harapan. Tidak hanya perdebatan seputar masih adanya tafsiran di dalam MoU yang perlu segera di implementasikan oleh para pihak baik RI dan GAM, di sisi yang lain, implementasi dari UUPA yang belum sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah Pusat, dan berbagai bentuk Qanun yang mendukung pelaksanaan dari UUPA yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Aceh.
Persoalan tersebut dapat menjadi problem konflik yang belum selesai antara para pihak, persoalan ini akan dapat menjadi konflik baru jika tidak segera diselesaikan oleh Pemerintah Pusat bersama para pihak dan pemerintah Aceh. Hal lain, Aceh masih dihadapkan dengan persoalan social dan ekonomi, swperti meningkatnya angka pengangguran, rendahnya akses ekonomi, minimnya lapangan pekerjaan, mantan kombatan yang belum terintegrasi, kecemburuan antar mantan kombatan yang menggambarkan bahwa pembangunan belum merata. ALA dan ABAS yang pernah bergejolak dan menyuarakan ketimpangan pembangunan yang terjadi, dan suara sumbang dari kabupaten/kota mengenai dana Otsus bagi yang dikuasai oleh Provinsi. Juga menjadi pertanyaan bagi kita, apakah dalam lima tahun MoU reintegrasi sudah selesai dan mampu menjamin konflik tidak akan terulang kembali?
Persoalan-persoalan di atas masih mewarnai pasca lima tahun MoU damai. Kita tidak bisa menutup mata bahwa persoalan-persoalan tersebut ada dan mampu memicu konflik yang lebih besar atau bahkan menggiring Aceh ke dalam konflik horizontal yang lebih massif; ataupun jika pemerintah tidak serius di dalam memperhatikan implementasi MoU tersebut, dan segera mengeluarkan sejumlah RPP/RPerpres yang krusial menyangkut dengan Sabang, migas dan BPN sesuai dengan amanat dari UUPA, maka secara psikologis rasa kepercayaan terhadap Pemerintah Pusat akan luntur. Hal ini akan berdampak kepada rusaknya perdamaian yang sudah dibangun antara kedua belah pihak, bahkan akan berdampak kepada gejolak perlawanan yang lebih massif secara ideologis.
Hal inilah yang perlu mendapat perhatian serius dari para pihak, pemerintah Aceh dan Pusat, membangun Aceh yang damai sebenarnya mengikis semua persoalan di atas. Tentunya para pihak telah memiliki daftar tentang segudang persoalan di atas, dan memiliki konsep-konsep dan rencana tindak lanjut pembangunan yang lebih mengarah kepada terciptanya stabiltas pembangunan jangka panjang, yang pada akhirnya output berupa kesejahteraan bagi rakyat Aceh baik social dan ekonomi. Tanpa hal itu, perdamaian di Aceh hanya sebuah perdamaian yang semu, bahkan perdamaian yang negatif yaitu perdamaian yang terbangun di mana kerikil dan penyebab konflik masih ada dan siap menjadi pemicu konflik di kemudian hari. Namun ke depan tentunya perdamaian yang terbangun haruslah perdamaian yang mampu memberikan keadilan social dan kesejahteraan ekonomi bagi rakyat Aceh. Perdamaian tersebut adalah perdamaian yang berkelanjutan, di mana keadilan dan kesejahteran baik social dan ekonomi tercipta di bumi tanah rencong ini.