Pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahyo Kumolo, berencana mengevaluasi 85 Qanun Aceh, dianggap belum menyentuh sebagian masyarakat Aceh. Salah satunya, menjadi sorotan Qanun Jinayat, yang mengatur pelanggaran syari’at Islam di Aceh. Implikasinya muncul polemik dalam masyarakat. Sebagian menganggap substansinya melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), terutama terhadap hak politik perempuan. Sementara, menurut Kadis Syari’at Islam, Syahrizal Abbas, qanun tersebut malah melindungi HAM. (Serambi. 8/11/2014).
Dalam berdemokrasi perbedaan perspektif menjadi hal lumrah. Apalagi, Qanun Jinayat sebagai politik hukum (legal policy) pelaksanaan syariat Islam bagi masyarakat Aceh. Dalam konteks konfigurasi politik demokrasi setiap produk hukum dibentuk meminjam terminologi Mahfud, MD akan melahirkan karakter hukum rensponsif/populis, yang mencerminkan rasa keadilan, memenuhi harapan masyarakat serta partisipatif. Sebaliknya, konfigurasi politik otoriter karakter hukumnya konservatif/ortodoks, hanya mencerminkan visi sosial elit dan keinginan pemerintah. Oleh karena itu, melihat mayoritas rakyat Aceh beragama Islam dan sejak berlaku sistem hukum preseden (hukum adat) dan hukum positif (kodifikasi), telah menjalankan syariaat Islam, maka diharapkan qanun diterima dan pembentukannya melibatkan mayoritas rakyat. Meskipun, sebagian masyarakat menolak akibat pengaruh sistem hukum barat (civil law) begitu lama diadopsi oleh negara Indonesia.
Landasan qanun
Salah satu alat ukur bahwa karakter Qanun Jinayat responsif/populis atau konservatif/ortodoks, dapat dilihat dari landasan keberlakuan (geltung/gelding) qanun. Minimal ada tiga landasan, pertama, filosofis yaitu kaedah hukum harus sesuai cita-cita hukum (rechtsidee), dan pandangan hidup masyarakat Aceh. Kedua, sosiologis, yaitu berkaitan efektifitas kaedah qanun dalam kehidupan masyarakat Aceh. Menurut Gustav Radbruch (1932), ada dua cara, pertama, apakah digunakan melalui pemaksaan penguasa (machttheorie) kepada masyarakat; atau, kedua, penerimaan (pengakuan) masyarakat (the recognition theory). Selain itu, juga harus sesuai dengan living law masyarakat. Artinya, diterima seluruh atau mayoritas masyarakat, sehingga tidak sekedar merekam keadaan seketika (moment opname).
Ketiga, landasan yuridis (yuridische gelding), terbagi dua: 1) yuridis formal yaitu: a) adanya kewenangan pembentukan pada lembaga (eksekutif dan legislatif); dan b) ditetapkan melalui proses dan prosedur antara legislatif dan eksekutif, jika tidak diikuti maka kaedah hukum batal demi hukum (vanrechtwegenitig); dan, 2) yuridis materiil yaitu: a) substansinya sesuai jenis qanun; b) kaedah qanun tidak boleh kontradiksi dengan peraturan diatasnya. Sebagaimana, teori Stufentheory (Han Kelsen) diwujudkan dalam asas lex superior derogate legi inferior (peraturan yang tinggi mengalahkan peraturan yang rendah). Artinya, kaedah Qanun Jinayat, perintah Pasal 125 ayat (3) UUPA, tidak boleh kontradiksi dengan UUPA dan UUD 1945.
Untuk itu, keniscayaan ketiga landasan tersebut ada dalam Qanun Jinayat. Jika kaedah hukum qanun hanya landasan yuridis semata, maka akan menjadi qanun yang mati (dode regel). Sementara, jika hanya landasan sosiologis dalam arti power theory (teori kekuasaan), maka akan menjadi aturan pemaksa (dwangmaatregel). Sedangkan, jika hanya landasan filosofis, maka menjadi qanun sekedar dicita-citakan (ius constituendum), tanpa bisa dilaksanakan.
Namun demikian, karena pembentukan qanun merupakan bagian administrasi, maka pemerintah diberi kewenangan, sebagaimana Pasal 235 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUPA, disebutkan: 1) Pengawasan pemerintah terhadap qanun. 2) Pemerintah dapat membatalkan qanun yang bertentangan dengan: a. kepentingan umum; b. antarqanun; dan c. peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kecuali diatur lain dalam UUPA. (3) Qanun dapat diuji oleh Mahkamah Agung (MA). Karena mekanisme dan teknis pelaksanaan tidak diatur UUPA, maka yang berlaku PP No.79/2005 joncto Permendagri No.1/2014. Keberlakuan PP ini pun karena UU No.23/2014 joncto Perpu No.2/2014 tentang Pemda, belum ditetapkan PP-nya. Sehingga sesuai Pasal 408, memberlakukan semua peraturan perundang-undangan sebelumnya yang berkaitan dengan Pemda sebelum diganti dan tidak bertentangan.
Mekanisme pengawasan sebagaimana PP dan Permendagri tersebut bahwa Perda/Qanun diawasi oleh pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri, dimana dibagi dalam dua bentuk. Pertama, evaluasi yaitu pengkajian dan penilaian terhadap rancangan Perda dan rancangan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Kedua, klarifikasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap Perda, Perkada dan Peraturan DPRD untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Dimana jika bertentangan dengan peraturan lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Mendagri atau Presiden.
Qanun syariat konstitusional
Meskipun secara umum mekanisme evaluasi dan klarifikasi pemerintah dapat membatalkan Perda/Qanun. Namun, khusus Qanun syariat Islam secara eksplisit dikecualikan dalam proses klarifikasi, pemerintah tidak dapat membatalkan Qanun Syariat Islam, sebagaimana Pasal 235 ayat (4) UUPA, hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh MA. Secara konstitusional pelaksanaan syariat Islam di Aceh bagian keistimewaan Aceh, yang diakui Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, perubahan kedua, tahun 2000. Selanjutnya, Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU No.44/1999 tentang Keistimewaan Aceh, yang berwenang menyelenggarakan kehidupan beragama, dalam pelaksanaan syariat Islam; kehidupan adat; pendidikan; dan peran ulama.
Dalam kaedah hukum, pengecualian tersebut sebagai penyimpangan didasari pada pembenaran (rechtvaardigingsgrond) (Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, 1993:61). Disamping itu, secara asas peraturan perundang-undangan, pengaturan syariat Islam adalah lex specialist derogate legi generalis (peraturan yang khusus mengenyampingkan peraturan yang umum). Namun, walaupun MA berwenang menguji materil (judicial review) Qanun syariat Islam, bukan berarti serta merta dapat dibatalkan tanpa adanya permohonon dari masyarakat (legal standing). Sebagaimana, Pasal 31A ayat (2) UU No.14/1985 joncto UU No.5/2004 joncto UU No.3/2009 tentang MA, bahwa permohonan pengujian hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan (legal standing).
Secara peraturan perundang-undangan dan asas hukum, keberadaan UU Keistimewaan Aceh dan UUPA sebagai lex specialist, objeknya pemerintahan Aceh meliputi pelaksanaan syariat Islam. Namun, UU HAM pun juga lex specialist berkaitan objek hak asasi manusia. Lalu undang-undang manakah yang mesti diberlakukan? Bukankah ada juga asas lex posteriore derogate legi priori? (peraturan sesudahnya mengenyampingkan peraturan sebelumnya).
Namun, konteks keberadaan asas tidak mengenal hierarki dan tidak ada kedudukan lebih tinggi dengan yang lain, sehingga tidak ada konflik. Walaupun bertentangan keduanya dapat eksis secara berdampingan tanpa mengalahkan yang lain. Keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi saling membutuhkan yang merupakan suatu antinomi (kenyataan yang kontroversi). (Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, 2012:48). Artinya, karena UU No.44/1999 dan UUPA objeknya Keistimewaan Aceh dibidang syariat Islam yang diatur dengan qanun, diakui Pasal 18B UUD 1945 dan UU HAM juga diakui Pasal 28-28J UUD 1945, maka secara asas keduanya harus eksis dan saling membutuhkan satu sama lain bukan saling mengalahkan. Sehingga, tidak ada alasan bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945)