Terkesan dalam raqan tersebut mereka memandang syariat Islam dari sisi lahiriahnya saja, tidak sampai pada tujuan-tujuan penerapannya (maqashid syar’iyyah). Secara umumnya hanya mengaitkan syariat Islam dengan hukuman rajam, cambuk, dan hukuman-hukuman anti-HAM lainnya. Misalnya di satu sisi memuat hukuman rajam (dilempari batu hingga tewas) bagi pezina yang muhson namun tidak memuat hukuman potong tangan bagi koruptor (public enemy) yang mencuri uang rakyat dalam jumlah besar.
Padahal penerapan syariat Islam tak hanya berkaitan dengan masalah-masalah tersebut. Ada banyak sekali masalah yang berkaitan dengan kemanusiaan dan keummatan yang yang sangat signifikan dalam penerapan syariat Islam misalnya berbagai rangkaian peribadatan lainnya, termasuk masalah kemasyarakatan, masalah hukum keluarga, politik, budaya dan yang sangat penting dan urgensi sifatnya adalah masalah ekonomi kerakyatan (ekonomi Islam atau ekonomi syariah). Dan, sudah pasti masih banyak terdapat kebajikan Ilahi untuk memelihara kemaslahatan manusia, yang berwajah ramah, agung dan mulia (rahmatan lil alamin) yang kurang terekspos dengan baik dan akurat.
Syariat Islam merupakan aturan-aturan Ilahi untuk manusia. Ia membimbing manusia menuju keselamatan dan kebahagiaan. Fakta sejarah menunjukkan bahwa penerapan syariat pada masa awal Islam berhasil mengubah tatanan masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat muslim yang beradab: sebuah masyarakat yang setiap individunya mendapatkan hak-hak yang adil dan merata. Syariat Islam berhasil membawa umat kepada kemajuan dan kesejahteraan karena memiliki karakteristik yang teistis (rabbaniyyah), realistis (waqi’iyyah), humanistis (insaniyyah), etis (akhlaqiyyah), komprehensif (syumuliyyah)dan sistematis (tanasuqiyyah),. Dengan karakteristik demikian, syariat ini tetap relevan bagi setiap situasi dan kondisi zaman.
Kita sangat maklum, ada upaya-upaya untuk membangun sebuah sistem yang baik dan jelas, agar pelaksanaan syariat Islam itu berjalan dengan benar dan adil. Yang jelas syariat Islam itu memiliki tujuan yang jelas dan mulia pastinya, serta untuk pengamanan umatnya juga dari berbagai kejahatan (hudud), yang dapat diklasifikasikan dalam hukum pidana Islam.
Jadi, kita berfikir tidak semata-mata menghukumi orang dengan keyakinan-keyakinan masyarakat yang setenggah-setenggah atau parsial. Apalagi yang sangat ditakutkan adanya wacana-wacana yang tidak jelas pijakan dan pegangannya, seperti keluarnya fatwa-fatwa yang secara sewenang-wenang menyebut seseorang atau individu tidak Islami, menyebut seseorang itu bidah, khurafat, “sesat”, “murtad”, atau bahkan “kafir” merupakan tindakan pembunuhan karakter (character assassination) dalam ranah teologis, yang seringkali diikuti dengan pembunuhan fisik.
Muhammad Ibnu Ibrahim ibnu Jurair, menyebut yang tergolong kejahatan hudud ada tujuh kejahatan yaitu riddah (murtad), al baghi (pemberontakkan), zina, qadzab (tuduhan palsu zina), sariqah (pencurian), hirobah (perampokkan) dan shurb alkhamr (meminum khamr). Semua efek tersebut tersebut merupakan masalah sosial (patologi sosial) dan keadilan hidup yang tidak merata dan Islami.
Prof. Muhammad Abu Zahrah (2009), seorang fuqaha asal Mesir, juga memaparkan ada tiga sasaran penting dalam hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu: (1). Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya; (2). Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah (ekonomi-sosial); (3). Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya).
Para ulama juga telah menyepakati bahwa maslahah yang menjadi sasaran puncak perhatian di atas mencakup lima jaminan dasar, yaitu: keselamatan keyakinan agama (al din), kesalamatan jiwa (al nafs), keselamatan akal (al aql), keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl) dan keselamatan harta benda (al mal). Diantara term-term penting yang berkaitan dengan moral yang diungkapkan oleh al-Quran adalah keadilan. Ini terlihat dari banyaknya kata adl (justice, keadilan) dan kata-kata yang semakna seperti al-qist, al-wazn, al-wast yang terdapat dalam berbagai tempat dalam al-Quran. Tidaklah berlebihan apabila Fazlur Rahman seorang pemikir Islam kontemporer menyatakan bahwa, pesan dasar al-Quran adalah penekanan pada keadilan yang salah satu bentuknya terlihat pada keadilan sosial ekonomi (Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of Intellectual Tradition, 1982).
Keadilan dalam al-Quran juga memberikan tuntunan moral agar manusia dapat hidup secara damai, tentram dan bersahabat serta memiliki semangat universal sebagai rahmat bagi semua orang (rahmatan lilalamin). Dan, keadilan ekonomi (economic justice) mengandung pengertian persamaan dan persaudaraan sesama manusia (egalitarianism), dan berlawanan dengan segala bentuk kepincangan sosial yang berpangkal dari kepincangan ekonomi, seperti keserakahan, eksploitasi, konsentrasi harta pada segelintir orang (kaum borjuis), monopoli perdagangan dan lain sebagainya.
Jadi, alangkah indahnya beribadah (ubudiyah) dan menjalankan syariat Islam itu apabila umatnya tidak lagi dilimuti oleh berbagai permasalah sosial keumatan, kemiskinan, kebodohan, parokial dan lain sebagainya, serta terpenuhi kehidupan perekonomian yang layak dan memadai, sehingga umat juga terjaga dan memiliki kharakteristik dan akhlaq yang baik, mulia dan terhormat. Apalagi, melihat situasi dan kondisi Aceh sekarang, paska konflik dan tsunami, yang harus banyak mengejar ketertinggalan dan mengejar investor-investor asing dalam rangka pembangunan yang berkesinambungan dan berkelanjutan (sustainable development).
Apakah permasalah tersebut dapat segera dan secepat mungkin diwujudkan di Aceh ini? Sementara permasalahan pembangunan yang sangat mendasar di bumi Serambi Mekkah ini sangat substansial dan perlu penanganan dan pembenahan secara menyeruh (komprehensif). Sehingga tidak menimbulkan tanda tanya besar nantinya dikemudian hari, apakah memang hukum syariat Islam diterapkan di Aceh karena hanya menyandang status Serambi Mekkah?