Pandangan kaum hedonis ini dirasakan kian merambah ke dunia Islam dan masyarakatnya. Hal ini adalah sebagai efek ketika peradaban Barat telah ditelan mentah-mentah oleh masyarakat Islam tanpa melalui kajian yang kritis. Ini berakibat fatal karena berakibat resintensinya hukum Allah sebagai pedoman hidup umat Islam. Mereka lupa bahwa Allah jelas telah menegaskan bahwa zina/pelacuran itu adalah kejahatan tingkat tinggi yang sangat berat ancaman hukumanya. Melabeli atau mensahkan sebuah kemungkaran adalah satu tindakan penentangan kepada Allah. Gubernur, politisi, para pengamat atau ahli hukum dan siapapun manusia lainnya tidak punya hak untuk membenarkan/membela para pelanggar hukum Allah meskipun dengan dalih membela HAM.
Para ulama telah sepakat menyatakan bahwa pelaku zina muhshin (yang telah menikah) dihukum dengan hukuman rajam. Dalilnya adalah hadits Rasulullah Saw; dari Masruq dari Abdillah ra; Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: orang yang berzina, orang yang membunuh dan orang yang murtad (keluar) dari jamaah. Tentunya hukum ini berlaku bagi semua umat. Bukan hanya menjadikan rakyat kecil sebagai objek belaka, tidak ada yang kebal dengan hukum Allah.
Sebenarnya, para penolak hukum rajam jelas bahwa mereka begitu mereremehkan dan menilai praktek perzinaan sebagai hal yang lazim. Kejahatan kelas kakap dihadapan Allah dinilai sebagai persoalan sepele. Penolakan ini bahkan sudah termasuk bagian dari upaya melegalisasi perzinaan, nauzubillahi min zalik. Penting untuk direnungkan, bahwa jika penolakan itu memang disengaja, bahwa seseorang paham bahwa syariat Islam menetapkan hukum rajam buat pezina, tapi nyata-nyata ingin mengingkari salah satu dari ijma ulama tentang kewajiban merajam pezina, maka levelnya sudah sampai kufur. Karena hadits nabawi yang menegaskan hukuman rajam hakikatnya adalah berasal dari Allah Swt.
Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu. Hukum ini hanya dilakukan pada kasus yang sangat tercela dengan syarat benar-benar terdapat bukti meyakinkan bahwa seseorang telah berzina. Meski demikian, tidaklah sembarang tuduhan bisa membawa kepada ketetapan zina. Sebaliknya, tuduhan zina bila tidak lengkap akan menggiring penuduhnya ke hukuman yang berat. Syarat yang harus ada dalam persaksian tuduhan zina adalah; (1) Jumlah saksi minimal empat orang yang sudah baligh semua, (2) Saksi adalah orang-orang yang waras, (3) Islam, (4) Mereka melihat langsung peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang berzina, (5) Para saksi ini bersaksi dengan bahasa yang jelas (bukan kiasan), (6) Mereka melihat peristiwa zina itu bersama-sama dalam satu majelis dan dalam satu waktu, (7) Semua saksi harus laki-laki.Dan syarat yang paling penting adalah bahwa perbuatan zina itu dilakukan di dalam wilayah hukum yang secara formal menerapkan hukum Islam dan sudah ada ketetapan hukum yang sah dan pasti dari sebuah mahkamah syariah atau pengadilan syariat. Bukan dilakuakan oleh orang per orang atau lembaga swasta, ormas, yayasan, pesantren, pengajian, jamaah majelis taklim, perkumpulan atau majelis ulama, kecuali ada mandat resmi dari pemerintahan yang berkuasa. Syarat menghukumi si penzina itu adalah terpenuhinya kriteria berikut ini padanya; dia Islam, baligh, berakal, merdeka, iffah, tazwij(sudah berkeluarga).
Jika kita dikaji lebih mendalam dan cermat lagi, sebenarnya pelaksanaan hukum rajam tidak dengan begitu mudahnya dilaksanakan. Sebab untuk kategori persaksian terhadap perbuatan zina itu sendiri, Islam menggariskan persyaratan yang lumayan susah terpenuhi. Bagaimana tidak? Kesaksian perbuatan zina memerlukan empat orang saksi yang di saat bersamaan harus melihat dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana proses zina itu berlangsung. Andaikata jumlah empat tersebut tidak terpenuhi atau kalaupun terpenuhi tapi tidak bisa dipastikan apakah ia melihat dengan sejelas-jelasnya bahwa si tertuduh melakukan perzinaan, maka kesaksiannya dianggap batal demi hukum.
Maka, berkaitan dengan sikap keras Gubernur Irwandi Yusuf yang menolak menandatangani draft Qanun Jinayat yang disodorkan oleh DPRA periode lalu disebabkan adanya poin hukuman rajam dalam qanun tersebut yang tidak beliau setujui. Dalam pandangan Irwandi Yusuf, hukuman rajam adalah melanggar HAM dan tidak sesuai dengan hukum dalam konteks Nasional dan Internasional (Serambi, sabtu,24/10/09). Berkaitan dengan estimasi dan persepsi salah kaprah beliau dan pihak-pihak lain yang kontra terhadap hukuman rajam tersebut, perlu adanya pencerahan spiritualitas intelektual untuk memahami kembali komitmen keberagamaan kita serta pertanggung jawabab kalimah syahadah yang sering kita ucapkan. Patut untuk direnungkan kembali konsekuensi dan pembuktian keislamann kita.
Di zaman Rasulullah Saw, hampir semua kasus perzinahan diputuskan berdasarkan pengakuan para pelaku langsung. Seperti yang dilakukan kepada seorang wanita Maiz dan Ghamidiyah. Bila orang yang telah berikrar bahwa dirinya itu berzina lalu mencabut kembali pengakuannya, maka hukuman hudud bisa dibatalkan. Pendapat ini didukung oleh Imam Hanafi, Syafi`i dan Ahmad bin Hanbal.
Secara logika akidah, dengan diberlakukannya hukuman rajam oleh Allah pada syariat umat Muhammad Saw, kita bisa meyakini bahwa bentuk hukuman seperti ini memang masih diperlukan dalam kasus-kasus tertentu di setiap zaman. Dan meskipun orang-orang barat berteriak dihapuskannya hukuman mati, namun faktanya hukuman mati itu masih diperlukan dan masih mereka jalankan. Bahkan beberapa negara maju masih memberlakukan hukuman ini sampai sekarang. Singapura yang sering dijadikan kiblat kemoderenan di Asia Tenggara, hari ini juga masih menghukum mati orang-orang yang dianggap melakukan pelanggaran berat, tapi kita tidak pernah mendengar menurunnya angka investasi di negara itu, bahkan investor semakin berduyun-duyun kesana. Demikian juga Amerika yang sekarang mengangkat dirinya sebagai polisi dunia dan simbol HAM, masih tetap memberlakukan hukuman mati.
Maka kalau Allah Swt memberlakukan hukuman rajam kepada umat Islam, tentu sangat bisa diterima logika. Dan tentu sangat logis bila umat Islam dengan latar belakang kepatuhan dan ketundukan kepada originalitas agamanya, pada hari ini menerapkan hukuman rajam untuk pemeluk agamanya. Tidak ada cela dan cacat atau melanggar HAM dalam pelaksanaan hukuman seperti itu, apalagi kalau dibandingkan dengan tragedi pembantaian massal yang dilakukan oleh negara maju terhadap dunia ketiga, maka pelaksanaan hukuman rajam buat pelanggar kesalahan berat menjadi tidak ada artinya. Bandingkan dengan angka-angka pembantaian Amerika dan sekutunya di Afghanistan, Irak, Palestina, Somalia dan belahan muka bumi lainnya. Sungguh apa yang dilakukan oleh super power dunia itu jauh lebih kejam dan sadis ketimbang hukuman rajam, yang hanya menyangkut satu orang saja. Itupun pelanggar sulisa berat, yaitu orang yang berzina dimana dia pernah menikah sebelumnya.
Dalam Islam, pelaksanaan hukuman rajam dimaksdukan sebagai tindakan preventif, memberi efek jera dan sekaligus penyucian. Harapan utama adalah keridhaan Allah dan surgaNya. Sejarah Islam pernah mencatat pengakuan seorang wanita Ghamidiyah yang terlanjur berzina. Wanita tersebut ingin bertaubat dan minta dirajam. Saat itu Rasulullah menyuruhnya melahirkan dan menyusui dulu anak dari hasil perzinaan tersebut. Setelah si anak sudah disapih barulah dilaksanakan hukum rajam. Dalam peristiwa itu terucap dari lisan Rasul bahwa wanita tersebut dijamin masuk surga. Maka seyogyanya kita memandang hukuman ini sebagai sarana bersuci. Jangan dilihat dari sisi negatifnya saja, karena sisi positfnya jelas lebih besar. Dengan pemberlakuan qanun hukuman rajam itu orang Islam akan takut melakukan perbuatan asusila/zina yang dilarang keras dalam agamanya. Anak-anak akan terhindar dari resiko lahir tanpa seorang ayah yang akan berakibat tekanan psikis kepada sang anak sampai akhir hayatnnya, begitu juga seorang ibu akan terhindar dari beban malu melahirkan seorang anak tanpa ayah. Allahu yusahhil umural muslimiin.