Data tersebut yang dikeluarkan Menteri Kesehatan berasal dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 yang khusus menggunakan indikator MDGs kesehatan, seperti status gizi balita (memberantas kelaparan), status kesehatan ibu dan anak (menurunkan kematian anak dan meningkatkan kesehatan Ibu), prevalensi malaria, tuberculosis dan HIV/AIDS (menurunkan angka kesakitan penyakit menular) serta akses sumber air minum yang aman dan fasilitas sanitasi dasar. Secara umum Riskesdas bertujuan untuk memperoleh gambaran pencapaian target MDGs kesehatan Indonesia pada tahun 2010 di tingkat nasional dan provinsi, serta secara khusus bertujuan untuk : (a) Menilai status pencapaian target MDGs kesehatan Indonesia pada tahun 2010 di tingkat nasional dan provinsi, (b) Memperoleh gambaran faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status pencapaian target MDGs kesehatan Indonesia di tingkat nasional dan provinsi.
Daerah-daerah berstatus kesehatan buruk nampaknya terkait dengan komitmen pemerintah daerah yang dinilai masih rendah mewujudkan target Millenium Development Goals (MDGs) di dalam sektor kesehatan. Sebagaimana diketahui, lima dari delapan tujuan MDGs berada dalam bidang kesehatan, sehingga bidang ini dapat disebut esensi dari pencapaian MDGs. Ketiadaaan komitmen dari pemerintah daerah bisa diukur dari alokasi anggaran daerah (APBD) untuk pembangunan kesehatan yang masih rendah. Anggaran justru lebih banyak tersedot ke birokrasi dan sebagian pada pembangunan infrastruktur.
Riset yang dilakukan sepanjang tahun 2008 oleh The Institute For Ecosoc Right, sebuah LSM di Jakarta, menemukan bahwa hanya 40 persen pemerintah daerah yang sudah membuktikan komitmennya untuk mewujudkan pencapaian MDGs. Pemerintah pusat, dinilainya belum mengatur secara tegas program-program yang harus dilaksanakan di daerah sesuai dengan basis permasalahan yang ada di daerah tersebut, misalnya dalam mengatasi persoalan gizi. Persoalan kesehatan, misalnya dalam pemenuhan gizi, belum menjadi prioritas di daerah dan akses pelayanan kesehatan dasar di daerah dianggap lemah. Penanganan persoalan kesehatan di daerah belum berbasis pada hak masyarakat, padahal yang sangat diperlukan masyarakat di daerah adalah akses terhadap pelayanan kesehatan dasar.
Ada tiga target MDGs yang diprediksi tidak tercapai oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2015 yakni penurunan angka kematian ibu, penghentian laju dan penurunan kasus HIV/AIDS, serta peningkatan penyediaan air minum perpipaan. Angka kematian ibu masih 228 per 100.000 kelahiran hidup berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007, sementara target yang ingin dicapai adalah 102 per 100.000 kelahiran hidup. Demikian halnya dengan penyakit menular seperti HIV/AIDS meningkat selama lima tahun terakhir, dari 2.684 kasus pada 2004 menjadi 17.699 kasus pada pertengahan 2009.
Situasi Aceh
Data-data mengkonfirmasi bahwa Aceh masih berstatus kesehatan buruk dari aspek pencapaian MDGs sektor kesehatan, seperti angka kematian ibu (AKI). Dinas Kesehatan Aceh menargetkan penurunan Angka Kematian Ibu menjadi 125/100 ribu ibu melahirkan dibawah target nasional 226/100 ribu ibu melahirkan pada tahun 2012. Masalah umum yang terjadi adalah distribusi tenaga medis belum merata, minimnya sarana kesehatan, ketiadaan pos-pos kesehatan di desa-desa, sosialisasi yang masih kurang kepada ibu-ibu hamil, serta aspek pelayanan petugas kesehatan yang masih perlu ditingkatkan. Diperkirakan 80 persen ibu hamil meninggal karena faktor pendarahan.
Sebagai contoh, angka kematian ibu di Kabupaten Pidie tahun 2009 masih terbilang tinggi yang mencapai 29 orang per 1.000 ibu melahirkan dengan berbagai faktor penyebab seperti faktor pendarahan, faktor usia (terlalu muda atau terlalu tua) saat kehamilan dan sebagainya. Demikian pula di Kabupaten Aceh Tengah, tingkat kematian ibu melahirkan dan bayi masih tinggi bila dibandingkan dengan jumlah penduduk di daerah tersebut. Angka kematian ibu sepanjang tahun 2008 tercatat sebanyak delapan orang, sementara tahun 2009 turun menjadi enam orang dan hingga bulan September 2010, jumlah ibu yang meninggal melahirkan sebanyak enam orang. Sementara tingkat kematian bayi dalam tiga tahun terakhir terus mengalami peningkatan yang cukup drastis. Pada tahun 2008, angka kematian bayi tercatat sebanyak 103 orang kemudian meningkat menjadi 133 orang pada tahun 2009, dan hingga pertengahan September 2010, jumlah bayi yang meninggal telah mencapai 62 orang (Serambinews.com).
Laju penyakit menular di Aceh juga tidak kunjung menurun. Misalnya kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno Dediciency Syndrome (AIDS), berdasarkan data Dinas Kesehatan Aceh, pada tahun 2004 baru satu kasus HIV/AIDS ditemukan di Aceh. Pada 2005 menjadi dua kasus, lalu meningkat tahun 2006 menjadi tujuh kasus dan bertambah lagi jadi sembilan kasus pada tahun 2007. Pada tahun 2008 berjumlah total sebelas kasus, kemudian meningkat drastis pada tahun 2009 menjadi 46 kasus. Sementara tahun 2010 sudah ditemukan 11 kasus sehingga bisa dikatakan terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS di Aceh. Bila menggunakan rumus estimasi 1:100, sementara penderita yang positif HIV/AIDS di Aceh 57 orang, maka estimasi suspect penyakit mematikan ini sekitar 5.700 orang.
Penyakit menular lainnya yang mewabah di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam adalah malaria, diare, kolera, campak, demam berdarah dengue (DBD), dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Khusus penyakit, malaria, data tahun 2009 dijumpai 29.655 kasus klinis malaria yang tersebar di 23 kabupaten/kota di Aceh. Kasus malaria terbanyak di Aceh Timur (4.642), Banda Aceh (3.105), dan Aceh Besar (2.542). Berdasarkan data tersebut menempatkan Aceh sebagai satu diantara 242 kabupaten/kota di Indonesia yang mengalami endemis penyakit malaria.
Namun harus dicatat bahwa Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam relatif berhasil menurunkan kasus gizi buruk hingga mendekati angka nol pada tahun 2008. Hal ini didukung oleh kehadiran posyandu di kota hingga ke pelosok desa dan keterlatihan para kader posyandu tersebut. Posyandu adalah sarana kesehatan berbasis sumber daya masyarakat lokal berdasarkan modal sosial yang didasarkan nilai tradisi gotong- royong. Di kota Banda Aceh sendiri, terdapat Posyandu sebanyak 113 dan jumlah kader mencapai 565 orang yang tersebar pada 90 gampong. Sementara tidak kurang terdapat 124 desa siaga di Aceh hingga akhir tahun 2007. Keberadaan desa siaga ini sebagai lembaga deteksi dini masalah kesehatan masyarakat. Selain itu, keberhasilan penurunan kasus gizi buruk di Aceh tak lepas dari peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) nasional dan internasional yang aktif pasca tsunami Desember 2004.
Daerah-daerah di Aceh yang masih memiliki angka kematian ibu yang tinggi diharapkan melakukan revitalisasi posyandu. Sebuah posyandu yang baik adalah minimal berstatus posyandu mandiri, memiliki ratusan kader terlatih, cakupan program utama KIA, diare, imunisasi DBD dan KB serta memiliki dana sehat bersumber dari swadaya masyarakat. Diantara syarat posyandu diatas, hal yang terpenting adalah peran kader yang dapat membangkitkan minat kelompok sasaran ibu, anak dan pasangan usia subur (PUS) agar rajin berkunjung ke Posyandu. Kader posyandu penting untuk mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam rangka akses pada kesehatan dasar ke arah lebih baik dan berkualitas melalui berbagai program intervensi dibidang kesehatan.
Penanggulangan penyakit menular (malaria, diare, kolera, campak, demam berdarah dengue, dan infeksi saluran pernapasan akut) dilakukan dengan pemakaian kelambu yang dicelup dengan insektisida, menghindarkan tempat perindukan nyamuk serta pembasmian nyamuk Aedes aegypti yang dengan tidak menyediakan tempat perkembangbiakannya berupa tempat lembab, dan air.
Sementara itu, penanggulangan dan pencegahan penyakit menular seksual HIV/AIDS adalah melakukan kegiatan promosi kesehatan yang lebih intens dan tepat sasaran, baik menggunakan media (poster, leflet, iklan TV/radio) maupun kegiatan tatap muka seperti kegiatan bakti sosial dan kegiatan peduli HIV/AIDS lainnya.