Oleh : Riazul Jannah
“Hari ini, aku tidak tahu siapa yang menangis, bumi atau orang-orang yang kehilangan keluarganya gara-gara pandemi ini, atau orang-orang yang tidak punya rezeki untuk sesuap nasi. Bumi memang sedang beristirahat, tapi penduduknya sesak entah karena gejala vrusnya begitu atau karena melihat jenazah keluarga sendiri yang tak bisa disentuh sama sekali. Aku tidak tahu siapa yang menangis, Apakah rakyat kecil yang untuk membeli susu anakpun sudah tak mampu. Baginya, entah mana yang lebih menyakitkan? Jika bisa memilih manusia tidak akan memilih jalan ini. Tapi, Tuhan punya maksud dari kejadian ini”.
Virus itu mematikan, tidak hanya dengan penyebarannya yang cepat, tapi sebab biasnya yang powerful membunuh rakyat-rakyat secara perlahan. Semua meringkuk ketakutan dibalik rumah, sebagian bertaruh nyawa diluaran sana. Jangankan untuk menyediakan stok makanan, untuk sehari saja bingung harus makan apa. Bukan karena kebanyakan stok makanan, melainkan tidak ada satupun lagi pangan yang murah.
Belum lagi, yang sedang menyambung hidup dan melanjutkan hidup sebagai mahasiswa. Sudah mencari uang sendiri. Dipaksa pula hadir dalam kelas E-learning padahal untuk kuota harian pun harus menabung sebulan. Terkesan berlebihan tapi memang begitu faktanya. Rakyat miskin semakin miskin, dipaksa bertahan dalam aturan yang memihak sebelah. Iya, yang mampu bertahan adalah orang-orang yang memang mampu memenuhi syarat itu. Mampu bertahan dirumah dan menyimpan makanan, mampu membeli obat-obatan, mampu membeli kuota atau memasang jaringan wifi pribadi.
Yang dipelosok negeri apakabar? Yang memilih pulang padahal itu bukan pilihan yang terbaik sekalipun. Karena kedua pilihan itu sama-sama memberatkan. Bertahan diperantauan terancam sendirian dan kelaparan. Akhirnya memilih pulang dan bertaruh dengan pembelajaran daring yang bagi mereka cukup menguras pikiran “Bagaimana cara aku mendapatkan 1 GB paket Telkomsel yang hanya bertahan satu mata kuliah saja?” kemudian dia menghitung-hitung, menakar-takar berapa kali harus ia menabung hanya untuk satu mata kuliah saja? Ah, lebih baik tidak kuliah saja. Tidak, itu bukan pilihan yang tepat. Akhirnya apa? Entahlah. Jangan kan mahasiswa. Negarapun sudah bingung tidak tahu harus apa.
Pandemi dan Rakyat kecil. Yang bahkan rumah saja tidak punya. Siapa yang disalahkan ketika mereka tidak bisa stay at home, dimana mereka mau berteduh jika rumah saja tidak punya? Seperti seleksi alam bukan? Maka kemana lagi mereka berharap kecuali hanya beraharap kepada pemilik semesta.
Indonesia, tanpa pandemi pun sudah kacau balau sistem pendidikan dan kesehatannya. Ditambah dengan kesombongannya “Ah mana mungkin tertular” berakhir dengan dua ribu nyawa sudah menuju alam baqa. Sekarang Indonesia dan rakyatnya babak beluk dihajar pandemi dan situasi. Tidak perlu disebutkan apasaja yang sudah terlampau berantakan. Bagaimana sistem pendidikan yang tak merata, begitu pula dengan pelayanan sistem kesehatan. Maka sudah tahu begini, penulis mengajak dari kita semua sebagai rakyat Indonesia yang lahir dan meminum air dari hasil negara ini, untuk saling membantu sesama. Tolong simpan sedikit egoisme kalian untuk orang yang lebih membutuhkan. Sebab, yang makan dan minum dari tanah ini bukan rakyat yang perekonomiannya diatas saja. Rakyat kecil juga butuh diperlakukan seperti manusia dan sesuai kemampuan mereka.
Cemas, khawatir, menjadi hal yang sangat familiar saat kondisi seperti ini, maka tak perlu berkonsultasi disaat yang genting. Tapi manusia perlu sadar saat ia tahu bahwa ia tidak sendiri. Manusia akanbaik-baik saja dan mampu menghadapi masa-masa genting seperti ini. Maka itu, mari kita saling bahu membahu.
Jangan biarkan sedikit saja rasa egois memeluk diri sebab tidak hanya membahayakan orang lain tapi juga membahayakan diri kita sendiri. Jangan biarkan kita dibabat oleh rasa rakus kita. Bukankah kita ini makhluk sosial? Kita tetap membutuhkan manusia lainnya untuk meredakan rasa sakit yang didera.
Maka, semoga selalu ada tempat untuk rakyat kecil merasakan dirinya aman, bukankah semua manusia berhak merasakan hal itu? Jika iya, mari buka mata hati lebar-lebar, lakukanlah sesuatu untuk sedikit meringankan beban mereka walau hanya degan sebungkus makan siang, atau seteguk air putih saja. Bukankah bagi sebagian orang itu sangat berharga?
Terakhir, tidak perlulah merasa cemas sendirian, sebab kita berada di atas tanah air yang sama, dalam perasaan yang kacau balau beraduk menjadi satu. Saya ingin katakakan, kita sedang tidak sendirian, mari melewati masa sulit ini bersama-sama. Kita ini saudara setanah air kan? Marilah bersatu. Melawan rasa takut itu.
Tidak ada teori ditulisan ini, apalagi tips dan trik yang hampir semuanya lalu-lalang diberanda whatsApp saya. Ini hanyalah keresahan masyarakat kecil yang bingung harus mati dengan cara apa. Mati kelaparan atau mati dibunuh pandemi ini. Mari kita bangun negeri dengan nurani. Jangan sampai rakyat kecil akhirnya berkata begini “Daripada mati karena pandemi, lebih baik saya mati kelaparan dirumah sendiri, saya mati tanpa menularkan virus yang sedang booming ini”.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry, Semester VI *
masyaAllah, keren bangen suara hati, ini tulisan yang ditulis dng tinta nurani