Oleh : Aldis Pertiwi Dari
Virus Corona (Covid-19) menjadi pandemic yang luar biasa, dan bangsa ini terdiam seribu bahasa. Dalam sebuah kegaduhan pemerintah terkadang salah memahami apa yang dibutuhkan oleh rakyat, misalnya memberlakukan darurat sipil. Meskipun masih menjadi wacana, seperti halnya lockdown, karantina kesehatan ataupun karantina wilayah.
Ketidakpastian melahirkan kekhawatiran yang terus berlarut. Ada hal serius yang harus kita sikapi disini. Saya ingin mengajak kita semua merefleksikan bila pemerintah harus memilih kebjakan lockdown dari aspek ekonomi, social dan kesejahteraan?
Sejak Jumat (27/3/2020), Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan karantina wilayah atau dalam bahasa Inggrisnya disebut lockdown. Keputusan pemerintahan ini mengaju kepada aturan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dimana dalam UU itu disebutkan bahwa karantina kewilayahan adalah membatasi perpindahan orang, membatasi kerumunan orang, membatasi gerakan orang demi keselamatan bersama. Kebijakan ini dilakukan guna untuk mencegah penyebaran virus corona yang kian hari semakin memangsa korban.
Namun, apakah lockdown adalah jalan terbaik? Berkaca dari hasil Riset Center of Reform on Economics (CORE) kita memiliki banyak tenaga kerja informal hal mana jika lockdown diberlakukan akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia itu sendiri. Sebutlah penjual sayur dan pedagang kaki lima misalnya, jika kebijakan lockdown ini dijalankan maka mereka tidak akan bisa berjualan dan menghasilkan uang, bahkan bisa membuat mereka harus menggulung lapak karena tidak adanya income.
Itu sebabnya jika lockdown terjadi, pemerintah harus menyiapkan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat menengah ke bawah yang bekerja di sektor informal. berbeda dengan masyarakat yang bekerja disektor formal, meskipun kebijakan lockdown diberlakukan, mereka masih tetap menerima gaji bulanan dan dapat memenuhi kebutuhan pribadi mereka. Tentu saja kebijakan ini hanya menguntungkan beberapa pihak saja.
Berkaca pada Tiongkok pemberlakukan kebijakan lockdown memang terbukti ampuh. Menurut catatan Bloomberg (19/3/2020) Provinsi Hubei melaporkan tidak ada kasus infeksi COVID-19 baru di wilayahnya. Provinsi Hubei merupakan area pusat penyebaran virus corona, dengan Wuhan sebagai ibukotanya. Sebaliknya, secara nasional, angka infeksi virus corona di Tiongkok masih bertambah sebanyak 34 kasus. Namun, sebagian besarnya merupakan imported case atau berasal dari orang yang baru pulang dari luar negeri.
Lantas, apakah lockdown menjadi satu-satunya jalan? Jawabannya belum tentu. Negara seperti Singapura dan Korea Selatan sejauh ini tidak memberlakukan lockdown dan mereka tetap mampu menahan laju persebaran dengan tingkat kematian akibat COVID-19 yang rendah. Namun kedua negara tadi juga melakukan pencegahan dengan pola tersendiri dan super disiplin. Korea Selatan misalnya, menjadi negara dengan jumlah pemeriksaan COVID-19 paling banyak per kapita di dunia.
Bayangkan jika lockdown diterapkan bagaimana nasip para penjual kaki lima yang mengantungkan asa hidup keluarga mereka dari hasil berjualan seperti nasi goreng, mie aceh, atau martabak. Bagaimana nasib keluarga mereka jika tak ada pemasukan? Tak menutup kemungkinan keluarganya akan mati kelaparan. Jika memang pemerintah menginginkan seluruh masyarakat di Indonesia khususnya di Aceh untuk berdiam diri di rumah, maka pemerintah harus siap memberikan Sembilan bahan pokok (Sembako) untuk masyarakat Aceh tanpa pandang bulu. Jangan hanya mengeluarkan himbauan dan kebijakan yang cenderung tidak relevan dengan keadaan di Aceh saat ini.
Penyebaran virus ini memang bukan ulah pemerintah, tetapi itulah tanggung jawab yang mengharuskan pemerintah bertanggungjawab meskipun bukan kesalahannya. Namun hal itu bisa menjadi kesalahan pemerintah apabila pemerintah sendiri memilih langkah-langkah yang salah, semuanya tergantung pada kebijakan pemerintah saat ini.
Maka sangat besar harapannya jika pemerintah, khususnya pemerintah di Aceh di bawah pimpinan Plt. Nova Iriansyah mampu mengambil kebijakan secara bijakasana yang sesuai dengan keadaan serta kondisi masyarakat itu sendiri. Semoga kebijakan atas pemberlakuan lockdown ini bisa dipertimbangkan kembali karena sama sekali kurang etis dan tidak dapat menyelesaikan permasalahan beberapa pihak masyarakat.
Jika pintu masuk ke Aceh seperti bandara, pelabuhan, dan perbatasan serta jalur-jalur interaksi lainnya tidak dibatasi serta tetap menerima sembarang turis atau orang asing untuk untuk masuk ke Aceh, untuk apa juga dilakukan kebijakan lockdown. Penyebaran Covid-19 tetap akan terjadi.
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh*