Benang Kusut Pendidikan Kita: Sebuah Refleksi

0
131

Di konferen tersebut saya berpendapat bahwa kebanyakan guru di Indonesia belum mampu mendidik siswa dengan baik; guru juga mempersempit ruang gerak siswa, sehingga mereka tidak mampu mengoptimalkan kemampuannya. Namun, dalam sesi tanya jawab, tesis saya diperdebatkan keabsahannya. Sebagian audiens protes terhadap generalisasi yang saya angkat mengenai guru di Indonesia. Menurut mereka tidak semua guru di Indonesia memiliki karakter yang negatif seperti tesis yang saya ketengahkan sebelumnya. Kritikan tersebut menggelitik nurani dan intelektualitas saya sebagai praktisi pendidikan Lalu saya menganalisa kembali tesis tersebut, dan akhirnya saya menemukan cara pandang lain di dalam melihat fenomena pendidikan kita selama ini.

Saya lalu mempertanyakan apakah benar kemerosotan pendidikan kita itu hanya disebabkan oleh guru yang tidak berkompeten atau ada faktor lainnya? Saya kemudian menyimpulkan bahwa kemorosotan mutu pendidikan ini disebabkan oleh multi faktor yang saling berkaitan erat. Di dunia Barat, ada dua metode yang sering digunakan di kelas: Learner-Centred (LC) atau Democratic Teaching (DT). LC bermuara kepada pemberian otonomi di dalam kelas kepada siswa, yang berfungsi mengoptimalkan kemampuan mereka, dan guru hanya berperan sebagai fasilitator. Kemudian, DT menitik beratkan kepada keadilan dan ketrampilan guru serta memberikan ruang kepada siswa untuk berpendapat. Kedua metode ini tentu sangat istimewa dan efektif di banyak Negara maju. Lalu pertanyaannya adalah apakah metode pengajaran seperti ini sudah pantas dan efektif diterapkan di Aceh? Pertanyaan yang menggelitik untuk dijawab.

Dalam beberapa tahun terakhir banyak praktisi pendidikan Aceh melanjutkan studi ke Barat: Mereka belajar berbagai macam ilmu, dan tidak terkecuali bidang pendidikan seperti metode pengajaran, manajemen pendidikan, evaluasi pendidikan dan bidang lainnya, dengan harapan ilmu-ilmu baru tersebut mampu diterapkan di Aceh. Namun, seberapa efektifkah metode pengajaran tersebut mampu diterapkan di Aceh? Mungkin masih jauh dari harapan.

Ada 3 faktor penyebab tidak efektif-nya metode pendidikan Barat ini di Aceh bahkan di Indonesia. Pertama, guru di Indonesia terkungkung oleh peraturan pemerintah tentang pendidikan, dimana target pencapaian kurikulum menjadi tujuan pendidikan. Dikarenakan target ini, guru tidak memiliki kesempatan untuk mengoptimalkan kemampuan siswa karena disibukkan mengejar target kurikulum. Jadi keterkungkungan dengan peraturan baku ini membuat guru, baik tamatan Barat maupun Lokal gagal menerapkan sistem pengajaran yang efektif. Di sisi lain, pemerintah juga masih memberlakukan sistem rekrutmen guru sentralistik. Dalam perekrutan guru, pemerintah hanya melakukan tes dengan materi umum-standar tanpa menilai kemampuan si guru di dalam bidangnya dan kemampuan mengajar si calon guru. Sistem rekrutmen seperti ini tentu tidak komprehensif.

Kedua, sekolah-sekolah di Aceh cendrung besar, artinya satu ruangan kelas dipenuhi oleh lebih kurang 35 sampai dengan 40 murid. Kenyataan ini menyebabkan metode-metode yang sudah terbukti efektif menjadi bumerang, dan tentu sulit untuk diimplimentasikan. Guru pun kehilangan akal untuk mengontrol kegiatan belajar-mengajar. Murid dengan jumlah yang banyak dengan sendirinya membuat kelas terasa padat dan metode dialog seperti yang dimandatkan oleh DT tidak dapat berjalan.

Ketiga, siswa di Aceh belum mampu mengikuti pelajaran yang menggunakan LC dan DT ini. Bahkan, penerapan LC dan DT belum mampu menyentuh akar permasalahan pendidikan kita. Sebagai alumni pendidikan Barat, saya mencoba menerapkan LC dan DT ini. Namun, hasilnya tentu tidak memuaskan saya sendiri. Di dalam LC, guru diharapkan mampu menggerakkan anak didik untuk berekspresi. Untuk itu, saya mencoba memotivasi siswa untuk berekspresi, namun hasilnya adalah kebuntuan. Siswa justru mengkritisi metode tersebut karena tidak mampu mereka imbangi. Murid masih menginginkan guru mendiktekan pelajaran kepada mereka, meminta mereka menyalin dan mengharapkan guru menjelaskan semua mata pelajaran, sedangkan mereka hanya mendengar dan mencatat. Lalu apa kendala dalam penerapan LC dan DT ini? Tidak lain adalah siswa tidak mampu berpendapat karena sudah terbiasa mendengar dan mencatat apa yang dikatakan guru. Ini boleh jadi dikarenakan lingkungan baik lingkungan keluarga, sekolah dan juga masyarakat yang selama ini belum memberi ruang kepada siswa untuk terbiasa mengekspresikan diri mereka.

Anthony Giddens mengatakan ada dua bentuk komunikasi yang mempengaruhi gaya belajar siswa. Pertama, Restricted Code (RC); RC ini dimiliki oleh keluarga sederhana, dimana orang tua mengajarkan cara berbicara praktis, berbentuk perintah tanpa adanya ruang untuk berpikir dan berpendapat. RC inilah dibawa oleh para siswa dari keluarga sederhana ke sekolah. Kedua, Elaborated Codes (EC). EC ini dimiliki oleh kelurga kelas menengah keatas, dimana si anak diikut sertakan untuk berkomunikasi di dalam keluarga. Misalnya, ketika seorang ibu melarang anaknya melakukan sesuatu, sang ibu kemudian mengikut sertakan alasan pelarangan tersebut. Dengan cara komunikasi ini si anak tumbuh dewasa sebagai manusia yang mampu mengeluarkan pendapatnya di dalam berinteraksi. Nah, di Aceh kebanyakan anak usia balajar berasal dari keluarga sederhana, yang sudah terbiasa dengan RC. Mereka tumbuh sebagai manusia yang tidak terbiasa berpendapat-mereka menjadi individu-individu pasif. Nah, ketika anak didik yang memadati kelas-kelas disekolah yang tersebar di seantero Aceh ini berasal dari keluarga sederhana tersebut, guru tidak memiliki kemampuan meng-implementasikan LC dan DT ini, walaupun guru tersebut memiliki kemampuan dan dedikasi yang tinggi dalam pengajaran dan pendidikan.

Oleh karena itu, menyalahkan guru sepenuhnya karena kemorosatn mutu pendidikan di Aceh tentu kurang bijaksana, dikarenakan masih banyak faktor lainnya yang mengakibatkan rendahnya kualitas pendidikan kita, dimana salah satunya adalah kultur belajar siswa. Peran orang tua yang minim terhadap pendidikan anaknya juga berdampak negatif terhadap keberhasilan siswa, namun mengikut sertakan orang tua murid di Aceh dalam kegiatan per-sekolahan masihlah sulit dikarenakan keterbatasan waktu dan pemahaman mereka akan metode yang berbeda. Lalu siapa yang patut disalahkan dengan rendahnya mutu pendidikan kita? Apakah serta merta guru disudutkan sebagai sumber benang kusut pendidikan kita? Apakah anak didik yang menjadi sasaran amarah kita? Apakah orang tua murid yang harus bertanggung jawab? Atau juga pemerintah yang pantas disalahkan? Tentunya, semua pihak ikut bertanggung jawab terhadap kekusutan ini. Oleh karena itu, mencari solusi terhadap permasalahan yang kita hadapi adalah hal yang tepat untuk dilakukan, karena kemorosotan ini disebabkan kesalahan kita sebagai stakeholder pendidikan.

Solusinya?

Untuk mengurai benang kusut ini perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, pembaharuan rekrutmen guru. Pembaharuan ini bisa dilakukan dengan memperbaiki materi uji. Calon guru mestinya dites pengetahuan bidang studi atau content knowledge. Misalnya untuk calon guru Matematika, maka kemampuan Matematika si calon tersebut haruslah sudah terbukti bagus, begitu juga untuk calon guru mata pelajaran yang lain. Selain menguji kemampuan tersebut, calon guru juga harus melewati tes praktek mengajar, pedagogical knowledge untuk mengetahui keahlian mengajarnya.

Kedua, ruangan kelas perlu diperbanyak untuk mencukupi rasio guru-murid. Jumlah 20-25 murid dalam satu kelas adalah jumlah ideal untuk melahirkan metode pengajaran yang dialogis. Dana pendidikan yang ada hendaknya dialokasikan untuk memperbanyak ruangan kelas. Memperkecil jumlah siswa adalah salah satu solusi untuk keefektifan penerapan LC dan DT ini. Siswa akan saling mengenal satu sama lain dengan lebih akrab. Keakraban dengan guru juga bisa terjalin, sehingga lambat laun mereka mampu ber-ekspresi dan mengeluarkan pendapatnya di dalam kelas, dan akhirnya pendidikan dialogis bisa tercipta.

Ketiga, perubahan sistem ujian, terutama untuk jenjang Sekolah Dasar, mestinya summative assessment, ujian di akhir semester, itu ditiadakan di Sekolah Dasar. cukuplah penilaian kemampuan anak didik dilakukan dengan sederetan formative assessment, ujian selama berlangsungnya proses belajar mengajar, yang dilakukan oleh guru kelas. Ujian ini tidak hanya mampu menilai kemampuan siswa ketika ujian, tapi juga mampu melihat perkembangan siswa. Misalnya, siswa yang sebelumnya tidak berani berpendapat, lalu kemudian memperlihatkan keberaniannya berpendapat, maka perkembangan itu perlu dijadikan rujukan penilaian keberhasilan siswa. Dengan meniadakan ujian summative, guru bisa fokus terhadap eksplorasi kemampuan sisiwa tanpa perlu dikhawatirkan dengan segala macam tuntutan yang berhubungan dengan target pencapaian kurikulum.

Keempat, pelatihan guru secara reguler perlu diadakan. Guru juga perlu belajar untuk mengajar atau learn how to teach. Salah satu metode pembelajaran guru adalah reflective teaching, yaitu refleksi terhadap pengajaran. Reflective teaching ini bisa dilakuan dengan cara mentoring, yaitu guru berpengalaman meng-observasi guru junior mengajar, yang kemudian hasil observasi itu bisa dikomunikasikan dan didiskusikan bersama. Reflective teaching ini bisa juga dilakukan dengan cara merekam proses belajar mengajar kita sendiri yang nanti ditonton oleh si guru untuk dilihat kelemahannya sehingga bisa diperbaiki. Metode kedua ini mungkin tidak bisa berlangsung karena tersandung dengan masalah fasilitas, tapi tidak salah jika metode reflective teaching ini diajarkan juga keapada para guru kita.

Kelima, sekolah perlu menjelaskan tanggung jawab wali murid. Walaupun mereka belum bisa diharapkan 100% untuk ikut serta dalam pendidikan, sekolah perlu memberikan informasi yang berkesinambungan kepada wali murid tentang perkembangan anak mereka di sekolah. Untuk mengikut sertakan para orang tua dengan kegiatan sekolah, bisa dilakukan dengan meminta kesedian wali murid membersihkan sekolah; dan bagi yang menyediakan waktu untuk keperluan itu bisa dilakukan diskon SPP. Wali murid juga bisa diundang ke sekolah ketika pembagian rapor.

Keenam, fasilitas pendidikan tentu harus diperioritaskan. Dana pendidikan perlu dialokasikan untuk menyediakan perpustakaan sekolah, penyediaan alat belajar mengajar, fasilitas olah raga dan yang tidak kalah penting adalah mendekorasi kelas. Hal ini bisa dilakukan dengan cara penempelan karya-karya siswa seperti kemampuan mereka melukis, membuat puisi dan karya siswa dalam bentuk lainnya di dalam kelas. Kelas perlu dibuat senyaman dan seindah mungkin supaya kelas tidak dianggap sebagai penjara.

Keenam solusi tersebut bukanlah resep super mujarab. Tentu terdapat kekurangan dan berbagai tantangan dalam merealisasikannya. Namun kita semua harus berusaha terus mencobanya. Akhirul kalam, mestinya kita tidak lagi menghabiskan tinta untuk saling menyalahkan, saling mengkritisi dan saling memojokkan. Marilah kita bersinerji, antara murid, wali murid, guru, pihak sekolah dan juga pemerintah sehingga kita mampu mengurai benang kusut pendidikan kita. Wallahualam.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.