Semua pasal itu enak buat dibaca, meskipun anggota-anggota PBB itu sendiri masih banyak yang belum menjalankannya. Tetapi ayat 1 dari pasal 16 dan pasal 18 tidak bisa saya terima, Kenapa saya tidak dapat menerimanya? karena saya orang Islam. Yang menyebabkan saya tidak dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang Islam, bukanlah Islam statistic. Saya seorang Islam yang sadar, dan Islam saya pelajari dari sumbernya; al-Quran dan al-Hadis. Dan saya berpendapat bahwa saya baru dapat menerimanya kalau Islam ini saya tinggalkan, atau saya akui saja sebagai orang Islam, tetapi syariatnya tidak saya jalankan atau saya bekukan.
Di bawah ini saya pastikan kepada pembaca pasal 16 dan 18 DUHAM yang membuat Buya Hamka tidak bisa menerimanya. Pasal 16 ayat 1 berbunyi: pria dan wanita yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kewarganegaraan dan agama, berhak untuk nikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama, dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraiaan. Sementara pada pasal 18 ayat 1 berbunyi, setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk mengatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksanakan ibadahnya, dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Saya kira semua orang dengan mudah memahami apa yang tertulis dalam dua pasal di atas. Pasal 16 misalnya, menyatakan bahwa setiap orang laki-laki dan perempuan tanpa dibatasi agama dan kepercayaan mereka boleh menikah dan membentuk keluarga. Pertanyaannya adalah, di mana letak kesamaan antara HAM dan Islam? Adakah Islam mengajarkan kita seperti yang termaktub dalam pasal tersebut? Apakah Islam menyetujui perkawinan beda agama dalam bentuk yang sangat serampangan ini? Saya kira hanya orang-orang yang tidak mengerti Islam dengan benar saja akan mengatakan iya, dan dengan mudah ia berkata, itu kan hak kita.
Lebih parahnya lagi adalah pasal 18 ayat 1, disebutkan bahwa seseorang bebas bertukar agama. Melalui tulisan kecil ini saya ingin menantang siapapun yang di luar sana, termasuk prof Alyasa Abu Bakar yang pernah mengatakan bahwa syariat Islam di Aceh tidak boleh bertentangan dengan HAM. Akankah syariat Allah bisa hidup berdampingan dan tidak bertentangan dengan HAM? Apakah Islam mengajarkan kita bebas memeluk agama apapun? Lalu di mana posisi hukum riddah dalam Islam? Untuk apa hukum itu disebutkan dalam al-Quran? Bahkan pasal 18 dengan terang menyebutkan, seseorang bebas berganti agama. Islamikah HAM?
Saya rasa Buya Hamka itu jauh lebih pintar dalam menilai HAM dan dikenal pintar oleh siapapun di Nusantara ini daripada anda-anda yang dengan sangat percaya diri mengklaim diri sebagai pemikir muda. Tapi mohon maaf, saya lebih senang menyebut anda serta orang-orang yang seide dengan anda sebagai imitator dan bukannya thinker, Im so sorry about it.
Kontekstualisasi Teks
Saya paham betul apa maksudnya ketika isu tentang HAM dikoar-koarkan di Aceh, dan ujung-ujungnya syariat Islam tidak boleh bertentangan dengan HAM. Ini adalah bagian dari upaya kontekstualisasi teks, di mana konteks dijadikan sebagai pijakan dasar. Pemahaman berpusat pada konteks. Mereka bergerak dari konteks menuju teks. Maka jangan heran jika hari ini kita sering mendengar dan membaca, syariat Islam dalam perspektif HAM, al-Quran menurut perempuan, atau Hudud dalam pandangan HAM, dan lain-lainnya. Di mana seharusnya HAM menurut Islam, atau perempuan menurut al-Quran. Di sini penilainya sudah dibalik, yang seharusnya agama dirubah menjadi manusia.
Pola pikir seperti ini begitu dibangga-banggakan oleh kaum rasionalis. Dalam tulisannya Islam Instan di Era Syariat, TMJS menyebutkan, Sejarah rasionalisme adalah sejarah humanisme. Sebelumnya manusia sering dijadikan persembahan-persembahan untuk para dewa, sering dijadikan budak-budak yang bisa ditukar dan diperjual belikan layaknya barang material. Sehingga paska era buram ini, penghargaan terhadap manusia begitu tinggi dengan imbas rasionalitas manusia dijadikan sebagai ukuran kebenaran.
Pertanyaan saya kepada siapapun yang membaca tulisan ini, kalau manusia menjadi ukuran kebenaran, lalu di mana posisi Tuhan dan Nabi? Di mana wahyu Tuhan dan hadis Nabi yang berbicara tentang kebenaran. Kalau begitulah adanya maka wajar jika kemudian TMJS dan yang seide dengannya lebih mengikut apa kata HAM daripada al-Quran. Sebab HAM dirumuskan berdasarkan pola pikir dan olah otak manusia, bukannya berdasarkan wahyu Tuhan dan hadis Nabi. Sejatinya rasionalitas kini telah menjadi Tuhan bagi mereka. Maka bukan suatu yang aneh jika beberapa penulis menilai rasionalisme sebagai upaya menuju atheisme.
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi akal dan rasionalitas. Ayat-ayat dalam al-Quran sebagian besarnya ditujukan kepda mereka yang berakal. Tetapi dengan rasio dan akalnya manusia dituntut untuk mengkaji ayat-ayat Tuhan baik itu qauliyah maupun kauniyah dengan harapan manusia menjadi dekat dengan Tuhannya, bukan sebaliknya justru menjadi atheis dan melupakan Tuhan.
Kepada TMJS, apakah anda sudah baca dengan benar sejarah Barat moderen dan pasca moderen? Sebuah pertanyaan ontologis, mengapa rasionalisme muncul di Barat bukannya di Aceh, lalu muncul empirisme, berturut-turut sekularisme, sampai pada fase pragmatisme. Lalu ketika beralih ke era posmo, Barat kembali memunculkan sejumlah konsep busuknya, seperti nihilisme, relativisme, pluralisme, multikulturalisme, sampai dengan liberalisme. Adakah sejarah umat Islam sama dengan mereka sehingga harus mengikuti semua isme tersebut?
Humanisme atau Islami
Saya kutip kembali tulisan TMJS yang menyebutkan, Islam itu juga punya nilai-nilai universal seperti keadilan, kesetaraan, kemakmuran, ini yang universal dan ada dimana-mana. Membaca pernyataan tersebut saya jadi ingat dengan filsafat parenial yang belakangan ini marak disuarakan oleh sejumlah kalangan. Mereka mengatakan bahwa semua agama menyimpan nilai-nilai universal yang tidak berbeda antara satu agama dengan yang lain. Saya sadar betul bahwa filsafat parenial dimunculkan tidak lain adalah untuk membeck up dan menguatkan posisi pluralisme.
Kita mengakui bahwa dalam semua agama memiliki ajaran dan nilai-nilai yang secara zahir sama antara satu dengan lainnya. Tetapi apakah dengan mengiyakan, lalu kitapun mengatakan bahwa semua agama sama? Atau dalam DUHAM misalnya, ada sejumlah nilai kemanusiaan yang diperjuangkan dan dibela, lalu kitapun mengiyakan HAM? Tunggu dulu. Saya ingin pertegas bahwa ketika orang Yahudi atau Kristen bicara keadilan, itu belum tentu sama dengan keadilan yang dipahami dalam Islam, begitu juga dengan agama-agama lain. Kita hanya sama pada tataran nama tetapi subtansi dan esensinya berbeda dan takkan pernah sama.
Bicara soal nilai, sesungguhnya agama ini telah sesak dengan nilai, tak perlulah kita mengambil nilai dari Barat atau HAM. Kita tak pernah kekurangan sedikitpun dari itu. Kenapa kita tidak pernah bangga dengan nilai kita sendiri? Mengapa nilai kita umat Islam yang digagas oleh Tuhan harus sama dengan nilai yang digagas oleh manusia yang tak mengenal Tuhan (Barat)? Bacalah sejarah umat Islam ketika menguasai negeri Spanyol selama hampir delapan ratus tahun lamanya. Mereka bukan tidak pernah bersentuhan dengan orang-orang di luar mereka.
Ingatkah kita akan sejarah pergumulan Nabi dengan orang-orang Yahudi di Madinah? Tetapi adakah Nabi kita mengikuti cara mereka? Jangankan dalam soal pikiran dan keyakinan, dalam soal penampilan sekalipun Nabi tampil beda dengan Yahudi, padahal itu tidaklah prinsip. Namun aneh dengan kita, baru dua tiga tahun bergaul dengan orang Barat sudah lupa diri, mulai dari penampilan fisik ikut Barat sampai cara berpikir, Subhanallah!
Ikan di laut meskipun bertahun berada di laut ia tak pernah menjadi asin karena asinnya air laut. Tetapi begitu ia berada di darat mudah sekali diasinkan. Ia cukup direndam sehari saja dalam seember air asin, maka keesokannya asinlah ia, mengapa? Zainuddin MZ dalam sebuah pengantar ceramahnya mengatakan, karena yang di laut masih hidup, tetapi yang di darat sudah mati. Tahulah diri kita kini, hidup atau mati? Wallahualam.