Namun, pendidikan yang dapat mewujudkan sebuah perubahan – meminjam konsep Andrias Harefa (Menjadi Manusia Pembelajar: 2000) – bukan hanya sekadar pengajaran (belajar mengetahui) dengan bermacam teori dan hafalan, tetapi juga proses pembelajaran (belajar menjadi) yang meniscayakan spirit membebaskan. Belajar menjadi ini, tentunya sejalan dengan eksistensi manusia sebagai makluk Tuhan yang berakal, yang senantiasa selalu berproses menuju titik kesempurnaan (insan kamil).
Dengan pembelajaranlah akan timbul kesadaran kemanusiaan, sehingga akan berkorelasi pada tumbuhnya proses humanisasi (memanusiawikan manusia). Belajar menjadi (learning to be) akan memosisikan anak didik sebagai subyek yang bebas dan merdeka dalam berekspresi dan berkreasi. Anak didik tidak lagi diperlakukan sebagai celengan kosong yang akan di isi sebagai sarana tabungan atau penanaman modal ilmu pengetahuan yang dipetik hasilnya kelak (Paulo Freire, 1999). Proses pembelajaran inilah yang mengalami defisit dalam proses pendidikan saat ini.
Dalam konteks Aceh, hal ini setidaknya diindikasikan dengan mulai terjadinya mogok mengajar para guru. Bahkan ada semacam inklinasi, bahwa mogok mengajar sudah mulai dipraksiskan sebagai strategi untuk meloloskan sebuah kepentingan. Ini tidak akan menjadi sesuatu yang problematik adanya, ketika aksi mogok tersebut tidak mengganggu waktu belajar anak didik.
Namun seperti itulah realitas yang terjadi, hak belajar anak didik diabaikan sekadar untuk mendahulukan kepentingan parsial para guru tersebut. Bisa jadi, sikap paradoks ini disebabkan oleh paradigma yang melekat dalam benak dan kepala para guru, bahwa anak didik tidak lebih sebagai robot yang tidak memiliki kemerdekaan.
Kalau sikap paradoks dibiarkan berlangsung seperti ini, maka sangat mungkin anak didik yang akan jadi korban. Karena itu harus ada refleksi, otokritik dan kesadaran kritis dari para guru, bahwa anak didik bukan robot yang bisa diatur sekehendak hati, tetapi bahwasanya mereka adalah makluk berakal yang memiliki potensi, apakah itu potensi ruhaniyah (spiritual), aqliyah (pikiran), nafsiyah (jiwa), dan jasmaniyah (tubuh).
Perubahan Paradigma
Sehingga disini guru tidak sekadar melakukan peralihan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) tapi juga yang sangat fundamen dan substansial adalah, guru harus menempatkan diri sebagai mediator dan transformator yang baik. Sehingga dapat mengeluarkan semua potensi terbaik para anak didiknya. Dan ini akan berjalan efektif dan mencerahkan, ketika guru tidak lagi terpaku dengan paradigma konvensional sebagaimana yang dikemukakan Freire diatas, yakni hanya mengisi otak anak didik dengan pengajaran an-sich, layaknya celengan kosong.
Oleh karena itu, harus ada perubahan paradigma, yakni proses pembelajaran dialogis dan partisipatoris. Ruang dialog yang kondusif dan keterlibatan secara partisipatif, akan membuat anak didik merasa nyaman. Disini guru tak hanya sekadar mentransfer pengetahuan, namun menyentuh hati mereka dengan kesejukan dialog yang setara dan partisipatif.
Sehingga akan memancing anak didik untuk proaktif dalam berkomunikasi, mengekspresikan potensinya serta berkreasi sesuai dengan kemampuan alam pikir-nya. Dengan sendirinya mereka akan terlatih untuk belajar bertanggung jawab terhadap segala bentuk ekspresi dan kreatifitas yang mereka lakukan. Sekali lagi, ini akan berjalan efektif, ketika guru memosisikan anak didik sebagai subyek pembelajaran yang bebas dan merdeka.
Pendidikan (baca:guru) yang mengapresiasi kemerdekaan anak didik secara proporsional, akan menghasilkan orisinalitas dan kesadaran kritis bagi siswa; orisinil dalam berkarya, memiliki kesadaran untuk membangun relasi yang setara (egaliter), dan mengedepankan prinsip-prinsip moralitas serta selalu gelisah dan berontak terhadap segala bentuk penindasan.
Adapun kosekwensi dari pembelajaran dialogis dan partisipatoris ini yakni guru harus siap dikritik oleh anak didik apabila melakukan kekeliruan. Tidak ada alasan untuk alergi, apalagi anti kritik. Sehingga menurut Soe Hok Gie, Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran: 2005).
Sebaliknya, pendidikan yang terfokus pada aspek pengajaran semata (belajar mengetahui), akan menumpulkan anak didik pada kesadaran naf. Kesadaran yang hanya menakar sesuatu dengan ukurankebendaan, dan ujungnya terjerembab dalam kubangan pragmatis dan hedonis. Sehingga tidak heran kalau korupsi, justru banyak dilakukan oleh oknum yang berpendidikan.
Bahkan, kesadaran naf telah menghinggapi para guru itu sendiri. Seperti yang diungkap oleh Ahmad Baedhowi dalam artikelnya di Media Indonesia (8/2/2010)), dimana sekitar 1.700 guru di Riau melakukan tindak pemalsuan pembuatan karya ilmiah sebagai syarat sertifikasi guru. Untuk membuat karya ilmiah, para guru tersebut menggunakan jasa calo, dan kebanyakan bahan diambil dari Google. Boleh jadi, perilaku plagiat (penjiplakan) yang memalukan sekaligus memiriskan ini terjadi juga di daerah lain, tak terkecuali di Aceh.
Oleh karena itu, pendidikan harus di artikulasikan dalam wujudnya yang seimbang, antara pengajaran (doktrin) dan pembelajaran (dialogis-partisipatoris). Sehingga kompleksitas kognitif akan berjalan dalam kontrol dan kaidah moralitas. Dan yang tidak kalah penting, proses pendidikan yang menghargai kemerdekaan anak didik akan melahirkan generasi yang bertanggung jawab. Bukan generasi yang pandai ber-retorika dan ber-argumentasi, namun tumpul dalam hal tanggung jawab. Bahkan hobi mencari kambing hitam.
Untuk itu, pendidikan harus berwatakkan pembebasan; bebas dari penindasan, bebas dari plagiasi dan bebas dari arogansi doktrinal. Semoga!