Apa itu narsisisme? Dalam Kamus Bahasa Indonesia, narsisisme memiliki dua pengertian, yaitu hal atau keadaan mencintai diri sendiri dan hal atau keadaan mempunyai kecenderungan (keinginan) secara seksual dengan diri sendiri (Kamus Bahasa Indonesia, 2008). Sedangkan dalam Wikipedia berbahasa Indonesia disebutkan bahwa narsisisme (diadopsi dari bahasa Inggris) atau narsisme (diadopsi dari bahasa Belanda) adalah perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Orang yang mengalami gejala ini disebut narsisis (narcissist). Istilah ini pertama kali digunakan oleh Sigmund Freud. Asal kata narsis awalnya diambil dari nama tokoh dalam mitologi Yunani, yaitu Narkissos. Narkissos adalah seorang yang dikutuk sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Tanpa sengaja ia menjulurkan tangannya, sehingga ia tenggelam dan tumbuhlah bunga yang sampai sekarang disebut bunga narsis (sumber www.id.wikipedia.org).
Berdasarkan keterangan di atas, maka narsisisme bisa diartikan sebagai sebuah perasaan seseorang yang berlebihan dalam menilai dirinya sendiri. Perasaan tersebut seolah-olah menganggap dirinya lebih dalam segala hal dibandingkan dengan orang lain. Seringkali perilaku narsisisme mengarah kepada obsesi dan hasrat pada diri sendiri sehingga mengabaikan orang lain, egois, dan tidak memedulikan orang di sekitarnya. Perilaku narsisisme ini sudah merambah luas dan menjadi semacam model dalam pergaulan bangsa kita, terutama anak-anak muda. Jika narsisisme ini berada pada tingkatan yang tinggi, maka dikhawatirkan akan menghambat kemajuan peradaban bangsa dengan hilangnya rasa malu.
Rasa malu semestinya merupakan budaya yang lazim dianut oleh karakter bangsa-bangsa timur. Kenyataannya, budaya malu perlahan-lahan mulai menghilang dengan proses pembauran yang global. Tanpa malu-malu, karakter budaya ketimuran mulai mengadopsi karakter budaya kebaratan yang kadang-kadang tidak tahu malu, semisal pergaulan bebas dan cara berpakaian. Hal ini tentu tidak dibenarkan dalam ajaran Islam di mana umat Islam diharuskan untuk memiliki rasa malu.
Di dalam Islam, malu merupakan salah satu tema yang telah disepakati oleh para nabi dan tidak terhapus ajarannya. Malu yang dimaksudkan di sini adalah malu karena melakukan perbuatan tercela dan perbuatan yang melanggar ajaran syariat. Nabi Muhammad SAW menekankan bahwa malu adalah manifestasi dari iman sebagaimana sabda beliau: Rasa malu bagian dari iman. Di dalam hadits lain Rasulullah juga menegaskan bahwa: Iman terdiri daripada lebih dari tujuh puluh bahagian dan malu adalah salah satu bahagian-bahagian dari iman. Maka kehilangan rasa malu dalam diri kita dapat mengikiskan tingkat keimanan kita.
Malu ternyata juga diajarkan dalam syariat-syariat para nabi terdahulu, dipuji dan diperintahkan, dan tidak akan pernah dihapus dalam satu syariat pun. Sebagaimana hadits Rasulullah, dari Abu Musad, Uqbah bin Amr Al Anshari Albadri ra berkata: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya dari apa yang telah didapat oleh manusia dari kata-kata kenabian yang pertama adalah: Jika engkau tak punya malu, maka berbuatlah apa yang kau mau. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (Syaikh Ahmad bin Syaikh Alfasyani, terjemahan oleh Ahmad Lukman Hakim, 2009). Jadi sangat pantaslah kita semua menjaga sifat malu karena malu merupakan perilaku yang mulia dan hal yang paling sempurna. Tingkat keimanan juga dapat dibentuk dari rasa malu yang dimiliki oleh seseorang.
Lantas apa kaitan antara perilaku narsisisme dengan malu? Sangat banyak ditemukan perilaku-perilaku narsisisme. Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab tingginya perilaku narsisisme ini adalah kehadiran facebook. Dalam sebuah survey Soraya Mehdizadeh, psikolog muda dari Department of Psychology, York University Toronto Canada menunjukkan bahwa anak muda dengan kepribadian narsistik di facebook cenderung lebih mempromosikan kemenarikan fisik dirinya dibandingkan berbagi kenangan dengan teman. Padahal hal itu merupakan tujuan utama dari facebook (sumber www.okezone.com). Pernyataan tersebut ada benarnya jika kita melihat banyaknya tampilan foto-foto remaja Aceh dengan beraneka gaya dan pakaian yang tak sesuai dengan ajaran syariat ditampilkan. Apakah budaya malu sudah menghilang atau memang tidak lagi memiliki rasa malu?
Kondisi seperti ini haruslah kita perhatikan dengan serius. Kita tentu malu jika muncul komentar-komentar sinis terhadap perilaku narsisisme masyarakat Aceh yang menjalankan syariat Islam. Foto-foto yang terkesan vulgar akan dapat merendahkan harga diri daerah kita. Dan kita berharap penggunaan facebook dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan untuk menjalin pertemanan dengan siapapun. Berbagi pengalaman, pengetahuan, dan kenangan belum banyak dilakukan kecuali perilaku narsisisme yang rajin mengupdate status, mempromosikan diri, dan hal-hal lain yang tidak bermanfaat sebagaimana survey yang dilakukan oleh Soraya Mehdizadeh.
Dari pemaparan singkat di atas, narsisisme dapatlah dianggap sebagai penyakit psikologi yang membahayakan mental dan menghilangkan perasaan malu pada diri seseorang. Di dalam berpolitik, narsisisme juga kerap dipraktikkan. Kita tentu masih ingat pada saat pilkada tahun 2006 dan pemilihan calon legislatif 2009 silam. Ada beberapa calon kepala daerah dan calon legislatif yang menonjolkan diri mereka dengan mengumbar janji-janji politik. Rakyat digiring untuk memilih mereka karena mereka menganggap memiliki kemampuan yang lebih dari orang lain. Para calon berlomba-lomba memasang foto dirinya dengan bermacam-macam slogan untuk dikenal oleh rakyat. Tanpa merasa malu sedikitpun, para calon mengatakan bahwa diri merekalah yang paling baik, yang paling pantas dipilih dan paling pantas memimpin daerah. Setiap calon pun berjanji akan memajukan daerah masing-masing dengan program-program kompetitif. Setelah mereka terpilih, apa yang mereka tonjolkan pada diri mereka belum sepenuhnya dilaksanakan. Bahkan mereka lebih mementingkan diri mereka sendiri dan partai-partai mereka. Lebih menyedihkan beberapa daerah sampai saat ini mengalami kemunduran drastis. Hal ini disebabkan ketidakmampuan mereka dalam menjalankan tugas sebagai eksekutif dan legislatif. Dan yang merasakan akibat perilaku mereka adalah masyarakat. Inilah perilaku-perilaku narsisis yang berbahaya dan dapat merugikan orang lain.
Akhirnya, menjelang pilkada tahun 2011, kita sebagai masyarakat tentunya tak ingin terjebak lagi dengan janji-janji para calon pemimpin kita. Pilihlah pemimpin yang benar-benar mampu dan cakap, memiliki mental dan jiwa yang sehat, yang memiliki rasa malu dan sadar terhadap kemampuan mereka. Dan janganlah kita memilih pemimpin yang narsistik.