Aceh Dan Politik Pengakuan

0
116

Persoalan agama merupakan sesuatu yang paling menarik dan terus menjadi objek penelitian. Hal ini disamping Islam dianggap sebagai satu identitas yang tidak dapat dipisahkan dari Aceh. Islam juga telah menjadi sebuah kekuatan moral dalam menyatukan etnis Aceh yang berbeda, dan kemudian menjadi kekuatan dalam melawan penjajah kafir Belanda.

Perlawanan rakyat Aceh yang dilandasi oleh semangat jihad Islam, kemudian disadari benar oleh penjajah Belanda. Mereka membangun kembali mesjid Baiturrahman yang dibakarnya saat terjadi pertempuran dengan pejuang Aceh. Pembangunan kembali mesjid tersebut, tidak mungkin dilakukan tanpa ada satu maksud dan tujuan tertentu. Paling tidak, itu adalah sebuah politik pengakuan Belanda terhadap kenyakinan rakyat Aceh, sehingga diharapkan lahir sebuah simpati rakyat terhadap apa yang telah mereka lakukan. Namun politik tersebut disadari benar oleh rakyat saat itu, bahwa itu hanyalah sebuah strategi. Sehingga meskipun raja Aceh telah ditahan dan mesjid Baiturrahman dibangun kembali. Namun, perjuangan atas kenyakinan mempertahankan Islam dan melawan kafir Belanda diteruskan oleh kaum ulama dan pemimpin perjuangan lainnya.

Politik Pengakuan Jakarta

Pada periode 50an, Aceh kembali bergolak dan berperang melawan tentara Jakarta. Terlepas dari latar belakang yang membelakangi terjadinya perang pada era itu. Namun strategi the political of recognition telah meredakan ketengangan antara pejuang DI/TII Aceh dengan Jakarta. RI menyatakan dan mengakui bahwa rakyat Aceh telah berjasa dan menjadi daerah modal dalam perjuangan republik ini. Politik pengakuan itu kemudian diimplementasikan dalam pemberian keistimewaan bagi Aceh, khususnya keistimewaan dalam syariat Islam. Meskipun kemudian dalam realitanya keistimewaan itu hanyalah pepesan kosong belaka.

Charles Taylor (1992), salah satu pelopor gagasan the politics of recognition, menyatakan bahwa peran negara harus bisa memberi jaminan sebuah konsensus minimum dalam masyarakat tertentu untuk menghormati norma-norma bersama yang bersifat khusus (specific common norms) dan mengakui hak-hak kelompok tersebut.

Dalam konteks Aceh, Jakarta melihat bahwa syariat Islam sebagai specific common norms bagi Aceh, sehingga hak-hak keislaman itu harus diakui dan diformalisasikan dalam sistem hukum. Upaya formalisasi ini dapat dilihat dengan adanya UU No.44 tahun 1999 tentang penyelegaraan keistimewaan Aceh dan juga UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pengesahan undang-undang tersebut, tidak terlepas dari proyek politik yang dimaksudkan sebagai upaya untuk meredam konflik panjang antara Jakarta dengan pejuang Aceh Merdeka. Meskipun GAM menyatakan dengan tegas bahwa bukan syariat Islam yang mereka perjuangkan. Namun politik pengakuan tersebut telah meredakan konflik 30 tahun lamanya dengan memberikan hak-hak istimewa (special rights) kepada provinsi Aceh untuk menyelenggarakan pemerintahan yang sesuai dengan karakterisitik dan kebutuhan masyarakatnya. Salah satunya adalah penerapan syariat Islam.

Hal ini seperti tercantum dalam undang-undang Republik Indonesia No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, yaitu Bab XVII tentang syariat Islam dan pelaksanaanya. Pasal 125 yaitu ayat (1) Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi Aqidah, Syariah dan Akhlak (2) Syariat Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Ibadah, Akhwal asy-Syaksiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam, (3) ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syariat Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

Dalam pelaksanaannya kemudian, sistem hukum syariat Islam di Aceh dinyatakan bahwa tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum nasional. Qanun mengenai pelaksanaan syariat juga harus relevan dengan UU nasional lainnya. Artinya konsep special right tidak dapat diwujudkan secara nyata, karena hak khusus biasanya meniscayakan yang umum. Hal ini telah menjadi satu penipuan kembali bagi Aceh dalam menata sistem hukum dan pemerintah yang independen, karena sistem hukum nasional masih menerapkan sistem warisan Belanda, khususnya dalam hal hukum pidana (jinayat) yang justru berbeda dengan sistem hukum syariat.

Persoalan lainnya adalah mengenai status khusus syariat Islam Aceh itu dalam kerangka multi-kulturalisme, seperti diungkapkan oleh Kymlickian (1998) bahwa politik pengakuan lebih identik dengan identity politics, yaitu sebuah pengakuan terhadap sesuatu hal didasarkan kepada identitas, baik itu identitas gender, etnis, kelas masyarakat, warna kulit atau agama. Biasanya identity politic ini, diterapkan oleh sebuah negara terhadap kelompok minoritas dari sebuah kekuasan dan masyarakat mayoritas. Sehingga mereka perlu diperlakukan secara khusus.

Selain itu, jika kita meletakkan Aceh ke dalam kutub kategorisasi antara mayoritas dan minoritas. Dalam hal agama masyarakat Aceh jelas merupakan bagian dari mayoritas umat Islam Indonesia. Problemnya kembali pada kesulitan kita menempatkan Aceh sebagai sebuah kelompok atau entitas tunggal yang bisa diasumsikan sebagai kelompok minoritas vis vis kelompok mayoritas tadi. Kalau formalisasi syariat Islam dianggap sebagai bentuk restriksi internal, hal itu mengandaikan bahwa Aceh merupakan sebuah teritori tempat minoritas beragama Islam tinggal di Indonesia, sedangkan wilayah lain dihuni oleh warga beragama lain. Padahal, sekali lagi, dari sisi agama penduduknya, konfigurasi sosial Aceh tidaklah berbeda dengan sebagian besar wilayah lain di Indonesia.

Jadi kenyataannya, baik secara konsep maupun secara substansi, the special right Aceh dalam Negara NKRI, khususnya dalam membangun sistem hukum syariat dalam territorial Aceh sulit diterapkan, terutama karena Negara ini menganut satu sistem hukum. Hukum syariat kelihatannya hanya mengisi ruang kosong dan lebih tepat jika kita katakan sebagai pelengkap penderita dari sistem hukum nasional, khususnya dalam hal pidana (jinayat), dan begitu juga dalam kerangka multi-kulturalisme Islam, Aceh terjebak dalam the politics of recognition yang dalam realita dan nyata hanya tipu daya. Wallahualam

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.