Mengapa harus demikian? Kenapa aturan hukum yang bersifat istimewa dan khusus tersebut tetap tunduk pada hukum nasional? Dalam aturan perundang-undangan, disebutkan bahwa untuk menghasilkan suatu undang-undang yang mampu mengakomodasi-kan kebutuhan masyarakat yang teraplikasi dalam proses kegiatan, pemanfaatan, pengendalian, pembinaan dan pengawasan yang saling terkait dan berkesinambungan, maka dilakukan tinjauan sosiologis terhadap masalah yang dihadapi dan kebutuhan akan pengaturan tersebut. Selain itu harus dipastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan tidak bertentangan dan tetap sejalan (harmonis) dengan peraturan perundangan lainnya (tinjauan yuridis).
Dalam kamus hukum, definisi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa pada dasarnya proses pembuatan peraturan perundang-undangan dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Kemudian, juga menyebutkan tentang keberadaan Naskah Akademik yang merupakan prasyarat untuk menyusun rancangan peraturan perundang-undangan. Arti dari naskah akademik menyebutkan bahwa naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan peraturan perundang-undangan. Naskah akademik merupakan konsepsi pengaturan suatu masalah (jenis peraturan perundang-undangan), baik dikaji secara teoritis dan sosiologis. Naskah akademik yang dikaji secara teoritik menyangkut dengan dasar filosofis, dasar yuridis dan dasar politis suatu masalah yang akan diatur sehingga mempunyai landasan pengaturan yang kuat. Dasar filosofis merupakan landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan perundang-undangan. Dasar filosofis sangat penting untuk menghindari pertentangan peraturan perundang-undangan yang disusun dengan nilai-nilai yang hakiki dan luhur ditengah-tengah masyarakat, misalnya nilai etika, adat, agama dan lainnya.
Kemudian menyangkut dengan dasar yuridis ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum (rechtsgrond) bagi pembuatan peraturan perundang-undangan. Dasar yuridis ini terdiri dari dasar yuridis dari segi formil dan dasar yuris dari segi materiil. Dasar yuridis dari segi formil adalah landasan yang berasal dari peraturan perundang-undangan lain untuk memberi kewenangan (bevoegdheid) bagi suatu instansi membuat aturan tertentu. Sedangkan dasar yuridis dari segi materiil yaitu dasar hukum untuk mengatur permasalahan (objek) yang akan diatur. Dengan demikian dasar yuridis ini sangat penting untuk memberikan pijakan pengaturan suatu peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi konflik hukum atau pertentangan hukum dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Hal lainnya dalam pembuatan peraturan perundang-undangan menyangkut dengan dasar politis yang merupakan kebijaksanaan politik menyangkut dengan kebijakan-kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan suatu pemerintahan . harapannya adalah, produk hukum yang diterbitkan dapat berjalan sesuai dengan tujuan tanpa menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Hal ini yang sampai sekarang di Aceh, masih terjadi controversial dalam penerapan Syariat Islam itu sendiri.
Harus diketahui bahwa secara sosiologis, naskah akademik disusun dengan mengkaji realitas masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat, aspek sosial ekonomidan nilai-nilai yang hidup dan berkembang (rasa keadilan masyarakat). Tujuan kajian sosiologis ini adalah untuk menghindari terserabutnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dari akar-akar sosialnya di masyarakat.
Seperti, aturan menyangkut syariat islam yang di undangkan dalam aturan qanun Peraturan Daerah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam No. 5/2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, Qanun Propinsi NAD No. 13/2003 tentang Maisir (Perjudian), Qanun Propinsi NAD No. 14/2003 tentang Khalwat (Mesum).
Aturan-aturan qanun tersebut kemudian menimbulkan sikap pro dan kontra. Pertanyaan selanjutnya yang saya tuliskan adalah hubungan Qanun dan Hukum Nasional dalam sinkronisasi perundang-undangan? Proses penyusunan peraturan perundang-undangan tidak dilakukan secara pragmatis dengan langsung menuju pada penyusunan pasal per pasal tanpa kajian atau penelitian yang mendalam terlebih dahulu. Peraturan perundangan-undangan yang dibentuk tanpa pengkajian teoritis dan sosiologis yang mendalam akan cenderung mewakili kepentingan-kepentingan pihak berwenang pembentuk peraturan. Inilah yang sangat dikwatirkan bila sebuah aturan hukum telah diterapkan dalam kehidupan masyarakat kita kemudian tidak berfungsi dengan baik. kemungkinannya, masyarakat merasa tidak memiliki (tidak ada sense of belonging) atas suatu peraturan perundang-undangan akibat proses pembentukannya tidak partisipatif dengan mengikutkan dan meminta pendapat mereka.
Sinkronisasi sangat penting. Artinya, sinkronisasi dimaksud, adanya penyelarasan dan penyelerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun. Kemudian, apakah tujuan dari sinkronisasi itu? Tujuannya adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif. Diketahui bahwa sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama menyangkut dengan Sinkronisasi Vertical. Secara vertical dilihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain.
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7 ayat (1) menetapkan bahwa jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b). Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c). Peraturan Pemerintah; d). Peraturan Presiden; e). Peraturan Daerah.
Yang kedua, menyangkut dengan Sinkronisasi Horisontal. Dengan melihat berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horisontal juga harus dilakukan secara kronologis, yaitu sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan.
Terkait dengan Qanun Syariat Islam di Aceh, apakah ini berlaku, walaupun Aceh mempunyai keisitimewaan dan kekhususan dalam menyelenggarakan pemerintahannya! Tentu, hal tersebut sangat penting. Menurut hemat penulis, dari uraian tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang di urai pada paragraf jelas berlaku, singkatnya saya katakan bahwa Provinsi Aceh masih dalam kerangka Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tentu tunduk pada aturan hukum nasional.
Aceh, Damai, Syariat, dan HAM
Lantas apa hubungannya dengan aturan khusus dan istimewa di Aceh? Tentu hal ini sangat erat hubungan atau kaitannya. Diketahui bahwa Aceh sekarang menjalani implementasi dari sebuah UUPA yang dikeluarkan dari akibat perang atau konflik yang memakan waktu hampir 30 Tahun lebih lamanya. Baru setelah gempa dan tsunami konflik tersebut reda dan kemudian muncul kesepakatan antara pihak Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menandatangani Memorandum Of Understanding (MoU) di Helsinki, pada 15 Agustus 2005.
Kesepakatan damai tersebut pun menjadi suatu hal yang sangat berharga bagi berbagai kalangan masyarakat. Kini, berbagai kalangan masyarakat pun menikmati perdamaian tersebut yang memang sudah haus akan kedamaian dan jauh dari suara desingan peluru.
Namun, sepertinya satu masalah baru kembali muncul dan memunculkan sikap yang pro dan kontra. Tentunya ini menjadi pekerjaan yang harus diselesaikan kembali. Hal yang saya ingin katakan disini adalah menyangkut dengan implementasi Syariat Islam yang diberlakukan di Aceh. Penerapan Syariat Islam ini pun memicu berbagai pandangan dan penafisran yang saling pro dan kontra, baik ulama, akademisi kampus, ahli hukum, para masyarakat sipil yang tergabung dalam berbagai elemennya dan secara khususnya sendiri bagi penegak atau lembaga hukum. Sehingga menyebabkan penerapan Syariat Islam ini menuai berbagai kritikan dalam implementasinya.
Dalam UUPA, ada beberapa poin penting yang hendak dan harus dilaksanakan segera, dan ini menjadi tuntutan sendiri bagi mereka yang pro dan kontra menyangkut dengan isu-isu yang berkembang. Selain problem masalah konflik yang yang belum tuntas penyelesaiannya, rekontruksi dan rehabilitasi pasca tsunami aceh, salah satu hal yang paling juga menyangkut dengan dalam bidang penegakan penyelenggaraan syariat islam. Apakah hanya sampai disitu? Tentunya, tidak. Dalam UUPA Pasal 228 ayat (1) mengamanahkan dibentuknya Pengadilan HAM. Dan pada Pasal 229 ayat (1) dituliskan, bahwa untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi dibentuknya KKR.
Penutup
Lantas kemudian, kenapa suara-suara tentang pembentukan Pengadilan HAM dan KKR itu tidak lagi mencuat ke permukaan ranah public. Padahal diketahui bahwa urusan penyelesaian terhadap penghormatan dan nilai-nilai kemanusian itu menjadi harga yang tidak bisa ditawarkan, hal ini menyangkut dengan banyak korban jiwa dan orang yang hingga kini belum diketahui keberadaannya, sangat ironis. Kenapa demikian? Apakah ini disebabkan ketidaksabaran, ketikmauan, atau ketidakmampuan dari pemeritntah! Ini kembali menjadi tantangan tersendiri bagi pembesut negeri.
Bagi saya pribadi, bila ini menimpa keluarga saya, maka sungguh saya tidak bisa menggambarkan betapa pedih, perih, dan terlukanya jiwa ini. Pernah suatu ketika, sebutlah namanya aisyah seorang keluarga korban konflik bertanya pada saya. Apakah mereka tidak merasakan, bila keluarga mereka juga menjadi korban dari keganasan perang dan apakah mereka tidak pernah terpikir oleh kejadian tersebut?
Menyangkut dengan konflik, akumulasi tersebut memiliki akar yang sangat dalam serta merentang sepanjang sejarah Aceh yang memang terus berkecamuk dengan konflik. berbagai kebijakan yang dianggap mampu menyelesaikan pertikaian tersebut, seperti dikeluarkannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan kemudian juga UU ini melengkapi UU No. 44 Tahun 1999 Keistimewaan Aceh ternyata tidak mampu menyelesaikan pertikaian konflik yang telah memakan waktu hampir 30 tahun lamanya. Semoga, Aceh yang damai tetap dinikmati oleh semua masyarakat dan bukan hanya segilintir orang-orang yang hanya punya kepentingan sesaat, Wallahu ‘alam bis-sawab.