Kini Aceh kembali menjadi sorotan berbagai pihak dalam negeri dan luar negeri, terkait rencana implementasi Qanun Jinayat yang sudah di sepakati oleh DPRA (Dewan Perwakilan Daerah Aceh). Berawal dari Rapat Paripurna DPR Aceh pada Senin (14/9) dikota Banda Aceh, secara bulat mengesahkan lima Rancangan Qanun (Raqan) menjadi Qanun, termasuk pengesahan rancangan Qanun Hukum Jinayat. Semua fraksi mendukung pengesahan peraturan ini, walaupun Fraksi Partai Demokrat sempat melobi fraksi-fraksi lain agar mereka memperbaiki pasal tentang hukuman cambuk.Dengan alasan, karena bagaimanapun Perda itu harus menyesuaikan dengan hukum nasional.Upaya lobi itu kandas, karena mayoritas fraksi tetap bersikukuh sesuai rancangan akhir yang telah disepakati.
Demikian halnya, Partai Aceh, yang berhasil meraih 50,21 persen suara DPRA pemegang kursi mayoritas DPR Aceh periode 2009-2014, berencana untuk mempelajari kembali qanun pidana Islam tersebut. Seperti ungkap Juru bicara Partai Aceh, Adnan Beuransah yang menganggap perda ini masih mengandung sejumlah kelemahan.
Di lapangan sendiri respon masyarakat tidak seseram persepsi beberapa person yang sejak awal memposisikan pemihakan kontra terhadap Qonun ini. Apa yang disahkan oleh DPRA sesungguhnya tidak melahirkan kontraksi dasyat ditengah masyarakat seperti yang digembor-gemborkan beberapa LSM dan individu.Ini bisa di pahami, mengingat kalangan pegiat HAM dan LSM perempuan sejak awal menolak Qanun ini, karena dianggap tidak sepenuhnya melibatkan aspirasi masyarakat Aceh. Isi aturan itu juga dianggap bertentangan dengan semangat penghormatan terhadap hak asasi manusia. Seolah gayung bersambut, sikap Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mewakili pemerintah menolak menandatangani Qanun ini, sebagian pihak menilai ini sikap arogan. Akhirnya disambut lebih pedas lagi, Irwandi menegaskan bahwa dirinya sebagai gubernur berhak dalam tiga hal; berhak menolak, berhak diam dan berhak menandatangani.
Adapun pasal yang menjadi pro-kontra tersebut, yakni pasal 24 ayat (1) menetapkan hukuman 100 kali cambuk bagi pelaku zina yang belum menikah dan hukuman rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah. Di ayat (2) disebutkan, bagi pelaku jarimah seperti yang disebutkan di ayat (1) bisa juga dikenakan hukuman penjara 40 bulan.
Alasan kelompok yang kontra terhadap Qanun baru di Serambi Mekah ini, seperti Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdhal Kasim mengatakan pemberlakuan hukum rajam, selain melanggar Konvensi Internasional Anti Penyiksaan yang diratifikasi pada 1998 juga melanggar hukum positif yang berlaku di Indonesia. Apapun produk hukum yang menyiksa, itu melanggar HAM, ujarnya di Banda Aceh, Selasa (15/9).
Senada dengan Kasim, Ketua Badan Pengurus SETARA Institut Jakarta, Hendardi, Senin (14/9/2010), menganggap pengesahan qanun tentang Jinayat (hukum pidana materil) dan hukum acara jinayat di Aceh yang dilakukan DPR Aceh merupakan klimaks irrasionalitas politik perundang-undangan nasional Indonesia, yang menggenapi praktik positivisasi agama dalam tubuh negara. Bahkan meminta pemerintahan SBY harus bertanggung jawab atas pelanggaran konstitusional yang diciptakan oleh qanun jinayat tersebut, yang secara tegas jelas bertentangan dengan Konstitusi RI. Hukum cambuk, rajam bahkan hingga meninggal yang sudah diputuskan anggota DPRA, kata mantan Ketua PBHI ini, merupakan bentuk penghukuman kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat yang bertentangan dengan Konvensi Anti Penyiksaan, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.Lebih jauh dia berharap kepada Partai Aceh yang mayoritas untuk melakukan legislative review, dia yakin PA secara geneologi berasal dari GAM, dan GAM memilih praktik penegakan hukum yang humanis berlandaskan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, ungkapnya.
Disisi lain dari pemerintah pusat melalui Mendagri (saat itu adalah Mardiyanto), Rabu (16/9/2010), terkesan memberikan dukungan pada sikap Gubernur dengan sebuah alasan. Jangan sampai pemberlakuan qanun itu merugikan Aceh sendiri. “Kalau pemberlakuan yang berlebihan, itu bisa merugikan, investasi tidak mau masuk, orang mau ke Aceh jadi ngeri, itu kan merupakan hal yang harus diperhitungkan,” katanya. Bahkan MA (Mahkamah Agung) mengirim utusan khusus Hakim ke Aceh yakni Abdurrahman dan Abdul Manan.Yang memungkinkan nantinya akan ada upaya hukum kasasi atau PK, MA akan melihat terlebih dahulu UU-nya. Aturannya memungkinkan warga Aceh untuk mengajukan uji materiil sesuai dengan Pasal 235 UUPA.
Di kesempatan lain, ketua MK (Mahkamah Konstitusi) Mahfud MD, Qanun Jinayat dan Hukum Acara Jinayat yang disahkan DPRA, Senin (14/9/2010), dinilai tetap harus disinkronkan dengan sistem perundangan di Indonesia. Hal ini penting dilakukan untuk pelaksanaan dan penegakan hukum tersebut secara efektif dalam kehidupan masyarakat Aceh nantinya, ujar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD di sela-sela buka puasa bersama ulama di rumah dinas Wakil Gubernur Aceh, Senin (14/9/2010). Sekalipun demikian, dia masih memahami aspek sosial dan legal formalnya, yang melaksanakan ini semua adalah masyarakat Aceh itu sendiri. Pembentukan qanun ini sendiri merupakan turunan dari perundangan yang mengatur keistimewaan Aceh sehingga kita tidak masalah, tandasnya
Dilapangan dukungan mengalir deras, dari berbagai komponen unjuk rasa menuntut agar Gubernur segera menandatangani Qanun ini. Seperti yang terjadi di Lhoksumawe salah satu kota yang menjadi barometer politik di Aceh, aliansi peduli syariat yang terdiri dari para mahasiswa yang tergabung dalam KAMMI Lhokseumawe dan Aceh Utara, HMI, UKM Al-Kautsar, Al-Furqan, Fordima dan RMB ini melakukan aksi berlangsung dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 11.30 WIB dimulai dari Lapangan Hiraq Lhokseumawe, dan orasi di Simpang Jam.(7/11/2010). Begitu juga beberapa aksi di gelar di Banda Aceh.
Sebuah Intropeksi Untuk Masyarakat Aceh
Cukup aneh rasanya jika pemberlakuan salah satu diktum (perihal hukum Jinayat) Syariat Islam di Aceh dipersoalkan.Mari kita dengan jujur dan obyektif sebagai bagian dari komunitas (masyarakat Aceh) untuk mencoba mencari dan memberi jawaban atas persoalan-persoalan pokok yang menjadi modal (basis) bangunan sebuah proyek pranata ideal masyarakat Aceh pada kontek kekinian.
Pertama, apakah memang Islam dengan segala piranti hukum (pranata sosialnya) tidak kompatible untuk masyarakat Aceh?.Kedua, apakah syariat Islam tidak bisa menjadi jawaban dan solusi atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat Aceh pada kontek kekinian baik menyangkut prinsip kesejahteraan dan keadilan?.Ketiga, apakah masyarakat Aceh tidak punya kesiapan melangsungkan kehidupan mereka dalam ruang politik dengan aturan syariat Islam?, dimana Islam telah menjadi identitas dan realitas historis sejak lahirnya peradaban Aceh meninggalkan teologi dan budaya dinamisme dan animisme. Keempat, adakah kerugian bagi komponen masyarakat Aceh sekiranya syariat Islam tegak di bumi Aceh?.Kelima, dengan ukuran/standart (maqoyis) apa untuk melihat Islam sebagai ideologi lokal Aceh layak atau tidak, benar atau salah, dan tentu relevansinya dengan hukum-hukum positif atau perundang-udangan positif yang menjadi payung dari status otonomi khusus ini?. Keenam, dengan jujur kita harus menjawab kenapa proges implementasi syariat Islam di Aceh terkesan stagnan?, Ketujuh, bagaimana dan seperti apa seharusnya syariat Islam yang menjadi harapan masyarakat Aceh dan kaum muslimin di Indonesia secara umum.Tidak ada yang memungkiri, Aceh menjadi icon miniatur proyek prestisius membangun sebuah alternatif peradaban ideal yang berbeda dengan bangunan masyarakat kapitalis yang menjadi warna kuat dari masyarakat Indonesia secara umum saat ini.
Ini adalah pertanyaan yang mendasar, dan memaksa kita untuk kontemplasi memberi jawaban holistik dalam prespektif Islam, dimana Islam sebagai identitas wilayah esotoris dan eksotoris dari mayoritas warga Aceh. Sangat tidak dimengerti, jika perihal penerapan Syariat Islam di timbang dengan bandul (prespektif) HAM, Demokrasi, atau UU positif dan semisalnya (produk akal). Atau berusaha dibenturkan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dari ranah atau basis ideologi yang kontradiksi-diametrikal dengan Islam. Sekalipun nilai yang berbeda ini menjadi mindstream di kalangan generasi kaum muslimin, bahkan negara telah mengadopsinya dan menterjemahkan dalam berbagai bentuk UU dan perundang-undangan sebagai dasar pengelolaan seluruh aspek kehidupan sosial politik masyarakat dalam sebuah negara.
Sudut pandang yang tepat terhadap Islam menjadi kebutuhan pokok untuk mendapatkan realitas proporsional Islam sebagai sebuah sistem hidup. Rasanya aneh dan janggal, Islam diteropong dari sudut pandang (mindset) yang dikonstruk dari epistimologi liberalisme. Filosofi dasar yang dimiliki Islamlah, penulis tetap konsisten dengan diktum di atas. Islam berbeda dari akar hingga daun, dengan ideologi,agama dan pranata sosial manapun. Analogi general (qiyas syumuli) Islam dengan ideologi diluarnya karena sebab kesamaan pada simpangan dan titik tertentu menjadi cara berpikir yang mengampas dan mengalami quasi, dan ini tidak tepat.
Open mind : sekilas jawaban
Pada kesempatan tulisan pertama ini, penulis tidak hendak memberikan jawaban tuntas dan detail atas poin-poin diatas.Namun minimal memberikan premis-premis untuk menstimulasi para intelektual muslim di Aceh khususnya agar mendialogkan secara konstruktif dengan spektrum positif dan komprehensif.
Sejauh penulis mengkaji pro-kontra Qanun Jinayat ini, terdorong untuk memberikan prespektif ringan sebagai berikut; Secara umum, kita akan menemukan jawaban keabsahan aplikasi syariat Islam di bumi Serambi Mekkah (Aceh). Karena Legal Frame sudah cukup kokoh tertuang dalam berbagai klausul kesepakatan.Baik alasan sosial historis, normatif dan legal formal, Serta filosofi empiriknya seharusnya telah cukup mendorong pemerintah Aceh untuk progresif mengimplementasikan Qanun-qanun yang telah disahkan.Dan tidak dengan alasan atau pertimbangan yang terkesan klise dan akhirnya justru mereduksi harapan masyarakat Aceh terhadap amanah yang tertuang dalam MOU Helsinski.
Perlu di ingat bahwa; pelaksanaan Syariat Islam (SI) di Aceh, bukanlah suka-suka siapa saja. Tetapi amanah Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dimana jinayah adalah bagian dari substansi dari pelaksanaan SI itu, sebagaimana dengan jelas ditulis dalam Pasal 125 ayat 2. Dan juga bagian dari diktum yang diamanahkan dalam UU PA hasil dari perdamaian Helsinski, pada pasal 234 UUPA, qanun itu harus ditandatangani bersama antara eksekutif dan DPR Aceh dan baru qanun itu berlaku.
Telah kritis Qanun jinayat dengan prespektif yang utuh menjadi krusial, (1) Tinjauan Sosiologis Historisnya, (2) Tinjauan Normatif dan Yuridis (legal formal) dan (3) Tinjauan Filosofis Empiriknya, karena tiga prespektif ini sudah memenuhi syarat, karena: pertama lahirnya Qanun jinayat merupakan keinginan masyarakat Aceh yang mayoritas islam dan secara sosiologis merupakan daerah syariat islam yang memeiliki keistimewaan di bidang agama dan budaya dari sejak zaman sebelum kemerdakaan, sultan Iskandar Muda sampai dengan sekarang; kedua lahirnya Qanun jinayat juga berdasarkan perintah Allah swt seperti yang termaktub dalam Al Quran dan As Sunnah, Ijma dan Qiyas, secara yuridis merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 11 Tentang Pemerintahan Aceh Pasal 125 ayat (1), (2) dan (3) yang berbunyi Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariyah dan akhlak. Syariat Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Ketiga, filosofi hukum peradilan dalam Islam memuat nilai zawajir (efek pencegah) dan jawabir (sebagai penebus).
Jadi terlalu dipaksakan dengan logika politik yang berlebihan jika masyarakat Aceh adalah silent mayority dalam tekanan dan tidak bisa untuk mengatakan tidak.Ini pandangan yang tidak berakar dari tradisi dan budaya Aceh, seperti yang sudah menjadi semboyan bagi masyarakat disana: adat bersandikan syara dan syara bersandikan kitaballah.
Sebuah kerancuan?
Lantas yang menolak mewakili kepentingan siapa? Rakyat Aceh yang mana? Dan jika pemerintah Aceh yang menolak maka melahirkan pertanyaan; pemerintah yang ada itu mewakili siapa?rakyatnya atau mewakili tuan diatasnya? Secara obyektif penerapan syariat Islam di Aceh memang masih dihadapkan pada persoalan-persoalan krusial, pertama: Kesiapan konsepsi yang belum matang, kedua; dukungan SDM paham syariat yang duduk di semua instansi pemda Aceh masih minim, ketiga; adanya double sistem/split sistem yakni syariat ada dalam bingkai demokrasi dengan Undang-undang positifnya, keempat: pembiayaan yang tidak proporsional akibat tidak ada goodwill political dari para pejabat eksekutif dan legislatif, kelima; minimnya media yang efektif untuk sosialisasi dan kondisioning masyarakat Aceh.Justru sebaliknya, media sekuler menggempur habis-habisan dan membangun citra negatif pada syariat Islam.Pandangan penulis; Orang-orang yang menolak itu ibarat batu sandungan yang salah tempat.Jujur kita harus akui, inilah salah satu fenomena yang dilematis ketika syariat Islam menjadi nilai substitusi atau hendak dihidupkan dalam koridor (bingkai) Demokrasi yang hakikatnya berbeda basis falsafah ideologinya.Dan ini tantangan intelektual muslim untuk mencerna dan menemukan jawaban tuntas dalam ruang dialog yang lebih hidup insya Allah