Program ini cukup populer sehingga sangat beralasan ketika Gubernur Aceh pernah menyatakan Dalam hal skala serta dana yang dipersiapkan, JKA merupakan satu-satunya program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat semesta (universal coverage) yang pertama di Indonesia,” (Kompas, 14/5/2010)
JKA : Harapan yang Masih Tanda Tanya
JKA menawarkan fasilitas pengobatan gratis yang dikelola PT Askes selaku pihak ketiga sebagaiman MoU antara Pemerintah Aceh dengan PT Askes pada tanggal 1 Juni 2010. Diharapkan JKA menjadi salah satu solusi dalam pemenuhan kebijakan di bidang kesehatan di Aceh. Dari segi proses pelayanan JKA sendiri sampai saat ini, hanya dengan prosedur memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga pada saat berobat di Puskesmas maupun Rumah Sakit di Aceh maupun luar Aceh. Sekilas sangat sederhana tanpa ada prosedur berbelit. Selain itu, keunggulan JKA termasuk juga tidak membatasi jenis penyakit apa yang diderita oleh Penduduk Aceh. Pada tahun 2010, JKA memperoleh dana dari APBA sekitar Rp 241 miliar untuk jangka waktu selama enam bulan. Dana tersebut akan digunakan untuk membiayai jaminan kesehatan bagi sekitar 3,8 juta warga Aceh, yang terdiri dari 2,6 juta peserta Jamkesmas dan 1,2 juta warga yang belum mendapat pelayanan kesehatan setara Jamkesmas.
Namun, sampai kini masyarakat Aceh selaku penerima manfaat masih belum memperoleh informasi mengenai prosedur pelaksanaan ini sehingga sebagian besar masyarakat kebingungan dengan petunjuk pelaksanaan JKA. Bukan hanya masyarakat, tetapi juga implementor di lapangan yang semakin terlihat kelabakan melayani ledakan pasien yang ingin menggunakan layanan JKA itu. Fakta menunjukkan bahwa sosialisasi tentang JKA ini sangat jauh dari harapan masyarakat. Hal demikian berbeda dengan negara-negara maju, sosialisasi dulu dalam waktu yang cukup, baru program besar dijalankan.
Tapi tidak dengan JKA kita. Akibatnya, masyarakat kebingungan dan institusi pelaksana pun belum cukup siap menjalankan JKA. Mulai dari krisis obat hingga ketidakmampuan teknis unit pemberi layanan untuk menampung ledakan pasien di luar kondisi normal. Publik kemudian bertanya-tanya, apakah sebenarnya implementasi JKA ini sudah memenuhi persiapan yang cukup matang? Atau hanya kejar tayang saja? Saya melihat jika implementasi JKA terkesan sangat dipaksakan untuk segera direalisasikan pada tahun ini. Padahal, tingkat sosialisasi dari program ini masih jauh dari harapan.
Seharusnya, implementasinya baru dapat dilakukan ketika Manajemen Pelaksanaan Program JKA sudah disosialisasikan namun sampai dengan opini ini dituliskan, kabar yang kami terima jika dokumen tersebut masih dalam proses pencetakan. Kesan dipaksakan juga terlihat ketika sebelumnya masalah yang mengatur tentang program ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Rancangan Qanun Aceh tentang Kesehatan. Tetapi kemudian, masalah JKA akan diatur dalam Rancangan Qanun tersendiri. Hal ini disinyalir akibat berlarut-larutnya pembahasan Rancangan Qanun Aceh tentang Kesehatan itu, sehingga JKA kemudian diatur dalam Peraturan Gubernur, agar dapat segera dijalankan.
JKA : Cek Kosong Untuk Rakyat?
Bisa dibayangkan, ketika Irwandi Yusuf, seorang Gubernur Aceh marah waktu menjenguk Muhammad Amru (12 tahun) di Kamar Isolasi I RSU Zainoel Abidin, Banda Aceh (11 Juli 2010). Pemicu marahnya Irwandi itu karena keluarga Amru mengaku diharuskan dokter membeli obat hingga 1.600.000. Padahal Amru terdaftar sebagai pasien kurang mampu yang mestinya ditanggung Pemerintah Aceh lewat Program JKA. (Serambi Indonesia, 12/7/2010)
Kisah lain menimpa Rohana (55 tahun), warga Keude Mane, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, pasien miskin pemegang kartu JKA dikutip biaya Rp 45.000 oleh Puskesmas Gandapura, usai Rohana menjalani rawat inap selama dua malam di Puskesmas tersebut. (Serambi Indonesia, 17/7/2010). Hal serupa juag menimpa seorang pasien yang berasal dari keluarga kurang mampu dan berobat menggunakan fasilitas JKA di RSUD Cut Nyak Dien Meulaboh, Aceh Barat. Pasien ini justru harus mengeluarkan uang pribadi untuk membeli obat dan mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut. Selain diharuskan menembus obat di apotek seharga jutaan rupiah, pasien miskin yang berobat dengan jalur JKA itu juga diminta membeli obat pada dokter yang akan mengoperasinya, seharga Rp 300.000/paket. (Serambi Indonesia, 26/7 2010)
Tiga kisah di atas adalah cerminan kecil dari begitu banyak masalah lainnya yang kini bergemuruh dalam masyarakat, terutama lorong-lorong Rumah Sakit dan Puskesmas di seluruh Aceh. Program JKA yang diharapkan menjadi solusi bagi mereka, ternyata masih begitu membingungkan, bahkan amat mengecewakan. Sakit belum terobati, tapi sebaliknya, hati rakyat semakin terisis perih dengan janji-janji manis elite politik Aceh.
Memulai dari Mana?
Saya berpendapat bahwa saat ini bukan lagi pada tingkatan menolak atau menerima Program JKA. Hal tersebut sudah selesai karena program ini pun sudah dijalankan oleh Pemerintah Aceh. Ketika ini sudah berlangsung dengan keadaan yang karut-marut maka semua pihak harus pro-aktif untuk memastikan uang rakyat ratusan milyar itu bermanfaat untuk rakyat Aceh. Agar rakyat tidak diberikan cek kosong untuk berobat gratis. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang idealnya dilakukan untuk mencapai cita-cita dari program ini.
Pertama, Pemerintah Aceh harus segera melakukan sosialisasi hingga ke pelosok daerah terpencil sehingga Program JKA ini dapat diketahui dengan baik, tidak hanya kepada masyarakat luas melainkan juga kepada institusi pengambil kebijakan teknis hingga penyedian layanan. Kondisi saat ini menunjukan bila tingkat pemahaman rakyat atas JKA ini masih sangat terbatas seperti pengakuan Kadis Kesehatan Aceh bahwa masih banyak masyarakat belum mengetahui Program JKA yang diluncurkan sejak 1 Juni 2010 lalu. Hal ini dikarenakan program dengan dukungan APBA tahun 2010 dengan nilai Rp 241 miliar itu lemah sosialisai (Harian Aceh, 26/72010)
Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), khususnya Komisi F untuk secara intens melakukan monitoring atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan terkait dengan pelaksanaan JKA. Hal ini sangat penting mengingat besarnya dana yang dialokasikan untuk program ini sehingga tidak menjadi sia-sia, tapi sebaliknya bermanfaat bagi rakyat Aceh. Bila DPRA diam saja, acuh tak acuh dengan JKA, maka pelaksanaan JKA tidak menjadi solusi bagi masyarakat, melainkan menumbuhkan konflik baru dalam penyedian layanan kesehatan, antara penyedia layanan dengan masyarakat sebagai penggunan layanan dari program ini.
Ketiga, Dinas Kesehatan Aceh juga harus memperkuat koordinasi dan membangun pemahaman yang sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Rumah Sakit hingga Puskesmas, sebagai unit penyedia layanan kesehatan yang tersebar di seluruh kabupaetn/kota di Aceh, sehingga pemberian layanan JKA tidak lagi menemui kendala. Hal ini sangat perlu dilakukan sehingga semua leading sector kesehatan mempunyai pemahaman dan kesadaran yang sama untuk mencapai target-target dari program ini. Tanpa cara pandang dan komitmen yang sama terhadap JKA ini, maka sulit kiranya rakyat akan mendapatkan pelayanan maksimal dari program ini. Karena itu, perlu segera diatur mekanisme kordinasi dan komunikasi antara lembaga tersebut.
Keempat, PT. ASKES harus bekerja maksimal untuk memberikan pelayanan prima bagi seluruh pengguna layanan Program JKA. PT Askes harus membuktikan bila perusahaan ini cukup siap sebagai penyelenggara program JKA di Aceh. “Kami akan membantu Pemerintah Aceh untuk dapat mewujudkan pelayanan berkualitas dengan harga terkendali. Bukan fasilitas kesehatan pemerintah saja tapi juga fasilitas swasta,” janji Farid Husein selaku Komisari PT. Askes. (Kompas, 14 Mei 2010). Rakyat Aceh meminta keseriusan PT. Askes agar benar-benar profesional dalam menjalankan JKA ini.
Kelima, Pemerintah Aceh harus memastikan adanya mekanisme pengawasan dan mekanisme komplain sampai di level kabupaten/kota sehingga JKA tidak berpeluang untuk disalahgunakan. Pemerintah Aceh harus segera membangun mekanisme ini dengan baik, secara partisipatif sehingga rakyat bisa terlibat mengontrol implementasi program ini. Dan saya melihat, hal tersebut belum kelihatan sampai saat ini.
Jangan Jadikan JKA Cek Kosong
Cek kosong adalah istilah yang sering digunakan dalam dunia perbankan. Cek kosong dapat diartikan sebagai cek yang ditarik dari sebuah rekening, yang dananya tidak cukup untuk membayar cek tersebut. Hal ini sering dijumpai dalam transaksi bisnis sehari-hari dan amat merugikan bagi penerima cek kosong, karena ternyata ketika dicairkan uangnya tidak ada atau tidak mencukupi. Ilustrasi cek kosong ini mirip dengan JKA. Pemerintah Aceh seperti menjual kecap kepada rakyat, bila Aceh adalah provinsi yang cukup serius memberikan pengobatan gratis kepada rakyatnya.
Tetapi ketika rakyat berobat : JKA tak dapat berfungsi, tidak dapat menolong mereka untuk berobat. Karena itu, langkah awal adalah melakukan sosialisasi untuk memberikan informasi yang sebenarnya tentang program ini, bukan hanya untuk masyarakat tetapi juga kepada unit-unit pelaksana teknis kesehatan (Rumah sakit hingga Puskesmas), termasuk para dokter yang berhubungan langsung pasien.
Jika JKA hanya menjual cek kosong saja?
Apabila sosialisasi tidak segera dijadikan agenda besar bagi Pemerintah Aceh, untuk memberikan informasi yang sebenarnya tentang program ini, bukan hanya untuk masyarakat tetapi juga kepada unit-unit pelaksana teknis kesehatan (Rumah sakit hingga Puskesmas), termasuk para dokter yang berhubungan langsung pasien, hingga akhir Desember 2010 dengan baik maka secara elegan Pemerintah Aceh harus segera meninjau ulang keberlanjutan Program JKA ini. Program ini layak untuk dihentikan saja jika hanya memicu masalah baru dalam pelayanan kesehatan di Aceh.
Jika hanya cek kosong untuk rakyat, maka sebenarnya pola demikian telah memicu konflik baru dalam pelayanan kesehatan di Aceh. Pasien hanya mendengar dan membaca janji-janji manis dari program ini yang disampaikan oleh para pejabat tinggi di Aceh. Tetapi sampai mereka di Rumah Sakit atau Puskesmas : mereka tidak mendapatkan apa yang dicita-citakan oleh Pemerintah Aceh itu. Ini menyedihkan bagi rakyat. Program besar dengan alokasi dana ratusan milyar tersebut baiknya dialihkan dengan program yang berorienasi pada aspek promosi dan aspek preventif saja. Dengan cara demikian, maka pembangunan sektor kesehatan Aceh akan mencapai derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan pembiayaan yang menonjolkan aspek kuratif bernama Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) itu.
Penutup
Saya dan Anda tentu percaya bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat diperlukan suatu sistem yang terintegrasi antara aspek medis, aspek sosial, aspek ekonomi, manajemen pelayanan, politik anggaran, pendidikan, dan aspek keadilan dan kesetaraan (equity). Semua aspek tersebut idealnya menjadi pijakan komprehensif dalam implementasi Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Karena itu pula, dengan hati tulus saya menyatakan bahwa opini ini saya tuliskan untuk menjawab permintaan Gubernur Aceh sendiri. Masyarakat harus mengawasi kinerja dan pejalanan Pemerintahan, khususnya penggunaan anggaran. Jadi masyarakat tidak perlu ragu memonitor karena sebuah perjuangan melakukan perubahan di Aceh. (Irwandi Yusuf, Harian Aceh, 14/3/2007). Semoga, JKA bukan cek kosong, tetapi jaminan baru yang benar-benar menjamin rakyat Aceh berobat gratis secara baik. Tanpa merasa menerima cek kosong lagi