Permulaan perebutan kursi kekuasaan dalam parlemen Aceh terjadi ketika hasil sidang Paripurna DPRA pada tahun 2009 lalu mengusulkan 4 (empat nama) pimpinan DPRA, yang terdiri dari Ketua DPRA, diajukan nama Drs Hasbi Abdullah dari Partai Aceh, Wakil Ketua I, nama Amir Helmi SH dari Partai Demokrat, untuk Wakil Ketua II, Drs Sulaiman Abda dari Partai Golkar, sedangkan untuk Ketua III, Ridwan dari PA. Proses pengusulan ini didasarkan pada tatib Pimpinan dan anggota DPRA, yaitu Pasal 30 ayat (1) dan (2) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Hasil paripurna ini membuat Partai Amanat Nasional (PAN) yang meraih urutan ke empat dari mayoritas jumlah kursi setelah PA, Demokrat dan Golkar, melakukan pemberontakan. PAN berpendapat bahwa kursi wakil ketua III adalah milik partai ini. Hal ini didasarkan kepada Pasal 303 ayat (2) UU No.27/2009 dimana dinyatakan bahwa Pimpinan DPRD Provinsi berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD Provinsi.
Hal ini telah mendorong Mendagri Republik Indonesia hanya menyetujui tiga nama yang ditetapkan sebagai pimpinan DPRA. Yakni nama Hasbi Abdullah sebagai Ketua DPRA, kemudian dua nama lagi sebagai wakil ketua, masing-masing Amir Helmi sebagai Wakil Ketua I dan Sulaiman Abda sebagai Wakil Ketua II. Sedangkan nama Ridwan yang diproyeksikan menduduki kursi Wakil Ketua III DPRA, ternyata tidak diterbitkan Mendagri SK pengangkatannya.
Inilah awal mula konflik perebutan kursi dimulai di parlemen Aceh antara partai lokal (Parlok) yang mempunyai suara mayoritas dengan partai nasional (Parnas) yang merupakan partai koalisi pemerintah.
Ketentuan hukum di Aceh seringkali menimbulkan penafsiran ganda, terutama berkenaan dengan hukum yang bersifat lex specialis dengan hukum yang bersifat lex generalis. Meskipun demikian, perdebatan mengenai hukum tersebut, tidak selalu dilandasi oleh pemahaman yang mereka tidak pahami, tapi lebih lebih cenderung pada kepentingan politik dan materialisme (fasilitas) yang menjanjikan untuk seorang wakil ketua tersebut.
Fenomena seperti ini, telah menyebabkan tugas dan kewajiban utama sering terabaikan. Eksistensi partai tersebut dalam memperjuangkan aspirasi rakyatpun jarangsekali kita dengar. Apakah karena nafsu terhadap kursi panas telah membuat para wakil rakyat ini melupakan janjinya pada saat kampanye dulu? Sehingga kita harus bertanya, begitu pentingkah kursi tersebut untuk rakyat atau hanya untuk memenuhi nafsu para pemilik partai?
Jika menilik pada realitas, pemenuhan pada kepentingan nafsu partai lebih dominan, dibandingkan pada pemenuhan hak dan aspirasi rakyat. Kursi wakil ketua tidak menjadi media dalam perubahan kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat, tapi lebih kepada mencari popularitas dan kepentingan nafsu pribadi.
Hal ini pernah dikatakan oleh Hobbes (1588-1679) bahwa manusia cenderung mencari kekuasaan dan secara kondrat mempunyai hasrat (nafsu) dan keengganan (aversions). Baik nafsu akan kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Sementara keengganan, mereka enggan untuk mengalah dalam perebutan terhadap hal yang diinginkan tersebut.
Sebagai para penguasa (legislative), sebenarnya Parlemen mempunyai kekuasan dan kedaulatan dalam mewujudkan perubahan daerah (negeri) ini kearah yang lebih baik, jika saja para wakil rakyat tidak saling merebut kekuasan (kursi) dalam internal mereka. Lebih jauh Hobbes menyatkan Beberapa orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat (the safety of the people) [Hobbes: hal. 376].
Rakyat sebagai pihak yang telah menyerahkan hak-hak mereka, dan menjadi kewajiban bagi para wakil rakyat untuk memperjuangkan hak rakyat, tidak seharusnya hanya bernafsu pada perebutan kekuasaan dalam parlemen, tapi seharusnya berjuang bersama dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Karena jika hanya bernafsu terhadap kekuasaan dan harta, maka bencana kemanusian akan terus terjadi. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin: Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, dan Allah-lah tempat meminta segala hal.
Sebagai rakyat, kita memang tak punya kuasa untuk menarik kembali kedudukan para wakil rakyat yang tidak lagi memperjuangkan hak-hak rakyat. karena pemegang kedaulatan (wakil rakyat) itu tidak terikat kontrak dengan rakyat secara legal formal yang mengikat. Para penguasa partai dan wakil rakyat hanya mengikat kontrak secara sosial dan komitmen. Meskipun komitmen itu sering tidak dilaksanakan (tidak menjaga amanah). Kecuali pada pemilihan umum berikutnya rakyat tidak perlu lagi memilih partai yang hanya cenderung pada kekuasaan dan harta serta tidak memperjuangkan hak dan aspirasi masyarakat.
Akhirnya, sebagai seorang yang beriman kepada Allah SWT, kita harus kembali kepada pesan al-Quran, bahwa kedzaliman pemimpin akibat nafsu kekuasaan tersebut akan merusak seluruh system kehidupan dalam masyarakat. Itulah makna daripada firman Allah: Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al Qashah : 83).