Disisi lain istilah teungku juga sering digunakan dalam konteks entitas sebuah bangsa. Hal ini sudah menjadi term umum dalam masyarakat Aceh, seperti ungkapan, Aceh teungku, Malayu abang, Cina toke Kaphe tuan. Namun, penulis melihat bahwa panggilan teungku dari phrase tersebut hanyalah sebagai entitas sosial dan bukan sebagai panggilan sebagai seorang alim ulama. Karena logikanya tidak mungkin semua orang yang dikatakan Aceh teungku adalah teungku sebagai alim ulama.
Dalam tulisannya, JU juga menyatakan bahwa teungku yang dimaksud itu bukanlah teungku dalam konteks sebagai seorang alim ulama, seperti ia menulis bahwa sebenarnya, di gampong itu, ia tak dipanggil teungku, karena mungkin warga mengira ia tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam bidang agama. Tapi di sini kita sebut saja teungku.
Namun, kelihatannya JU mengalami keragu-raguan dalam mengklasifikasi teungku sebagai entitas sosial keacehan atau teungku sebagai istilah bagi seorang alim ulama. Hal ini seperti ditulis oleh JU, bahwa masyarakat di kampoeng tersebut tidak memanggilnya teungku. Ini menunjukkan bahwa ia bukanlah teungku dalam perspektif teungku dayah (alim ulama). Tapi disisi lain JU sepertinya tetap menyebutnya sebagai teungku yang berafiliasi sebagai teungku yang mempunyai basis keilmuan agama Islam, seperti ia menulis tapi disini kita sebut saja teungku. Artinya teungku mafia yang dimaksud disini adalah teungku dalam pemahaman umum yang mempunyai basis dayah. Hal ini dipertegas lagi bahwa teungku tersebut juga mendirikan balai pengajian plus.
Ketidakjelasan mengenai identitas teungku mafia inilah yang kemudian menjadi polemik dalam memahami kasus ini. Apalagi istilah teungku bagi rakyat Aceh adalah symbol bagi orang-orang yang dijadikan keteladanan dan referensi dalam ilmu agama. Bukan hanya sebagai sebuah entitas, yang dikenal dengan istilah teungku Aceh.
Moralitas dan Kejujuran
Terlepas dari perspektif teungku sebagai sebuah entitas sosial atau sebagai seorang yang alim ilmu agama. Namun jika benar bahwa fenomena dan fakta yang diungkapkan oleh JU dalam tulisannya tentang teungku mafia. Yaitu adanya oknum yang melakukan perbuatan manipulasi data, serta menjual nama dan foto anak-anak yatim untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Ini merupakan sebuah bencana moralitas dan rapuhnya kejujuran di negeri syariat ini. Hal ini juga menjadi tantangan besar bagi Badan Pemberdayaan Dayah di Aceh, sebagai lembaga resmi pemerintah Aceh dalam mendukung pengembangan dayah sebagai suatu lembaga pendidikan Islam yang menjadi kebanggaan pada masa lalu, dan juga harapan untuk masa depan.
Sebagai orang yang beriman, kita sepakat dan menyakini bahwa perbuatan menipu bukanlah perbuatan terpuji dan bermoral, melainkan perbuatan yang keji dan tak bermoral. Apalagi perbuatan manipu itu dilakukan dengan mengekploitasi anak yatim. Artinya bukankah itu juga dapat dikatakan dengan telah memakan harta anak yatim? Yang jika hal itu dilakukan bukahkan sama saja dengan telah mendustakan agama Tuhan?
Kejujuran sekan menjadi barang langka pada zaman sekarang ini, padahal Rasulullah sangat menekankan sikap dan sifat kejujuran umatnya. Karena sikap ketidakjujuran sangat dekat dengan sikap khianat, khususnya khianat terhadap keimanannya. Dan orang-orang yang berkhianat merupakan bagian dari ciri-ciri kemunafikan.
Jika negeri ini dipenuhi oleh orang-orang tidak jujur, pemimpin yang tidak jujur, politisi, ekonom, pedagang, penengak hukum atau bahkan teungku yang dianggap sebagai keteladanan dan sumber pengetahuan agama tidak lagi jujur. Dan hanya mereka yang tidak jujurlah yang mendapatkan segala sesuatu dengan mudah, sementara bagi mereka yang jujur tersingkir, tidak tersentuh dan termarginalkan. Maka secara tidak langsung dan perlahan kita telah menjadikan negeri ini menjadi negeri kaum tidak jujur atau dengan kata lain menjadi negeri kaum munafik, atau negeri para teungku mafia. Dan Allah berjanji, tidak ada tempat bagi kaum seperti itu selain neraka. Wallahualam.