Logical Fallacy, Jam Malam Untuk Melawan Corona?

0
131

Oleh : Muhammad Zaldi

Jam malam (avondklok), larangan berada dan berkegiatan di luar rumah di malam hari pada jam tertentu, biasanya diberlakukan dalam keadaan bahaya, seperti menghadapi pemberontakan atau pengambil-alihan kekuasaan dan perang.

Sejak kemarin, Minggu (29/03/2020), setiap rumah ibadah, masjid, surau, dan tempat-tempat yang menjadi pusat informasi masyarakat telah mengumumkan intruksi Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Aceh tentang Penerapan Jam Malam Dalam Penangan Corona Virus Disease 2019 di Aceh. Penerapan jam malam ini efektif berlaku di seluruh Aceh terhitung 29 Maret 2020 mulai pukul 20:30 hingga 05.30 pagi.

Maklumat tersebut dikeluarkan mendasari kepada Keputusan Presiden No 9 Tahun 2020 tentang perubahan atas Keputusan Presiden No 7 Tahun 2020 tentang tugas gugus  percepatan penangan Covid-19, maklumat Kapolri Nomor: mak/2/III/2020 tentang kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah dalam penangan penyebaran Covid-19.

Selanjutnya berpedoman pada Keputusan Gubernur Aceh Nomor: 360/969/2020 tentang penetapan status tanggap darurat skala provinsi untuk penangan Covid-19 di Aceh. Atas dasar inilah penerapan jam malam kembali berlaku di Aceh, kebijakan ini mengingatkan masyarakat Aceh pada kenangan 30 tahun lalu. Mengerikan dan tak sanggup dilupakan, belum selesai kasus pertanggungjawaban atas kematian sanak keluarga masa itu, kini Aceh harus menerapkan kehidupan ala-ala masa kelam dulu, sesuatu yang tak di inginkan untuk terulang dan di kenang namun harus diterapkan.

Di satu sisi kita sebagai masyarakat terkadang harus memposisikan diri pada posisi pemerintah saat ini, mereka bimbang untuk mencari dan memutuskan kebijakan terbaik dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek, sesuatu yang patut kita hargai dan apresiasi. Namun, aspek apa saja yang menjadi pertimbangan pemerintah Aceh? Ekonomi, politik atau keselamatan masyarakat? Mana yang menjadi paling urgent dalam kasus ini? Sebaliknya, pemerintah juga harus memposisikan diri sebagai masyarakat, agar dapat merasakan apa yang masyarakat rasakan dan tidak memilih keputusan-keputusan kontrovesial seperti saat ini yang berakibat pada pola kehidupan masyarakat yang semakin tertekan..

Besar harapan memang terkait kebijakan jam malam ini untuk dipertimbangkan kembali, mengingat tragedi masa lalu yang kelam belum terobati, jangan sampai generasi yang kini duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan anak-anak di bawah umur mempunyai gangguan psikis di masa mendatang akibat dari kebijakan jam malam. Generasi penerus harus benar-benar menjadi pertimbangan dari pemerintah Aceh dan jajaran dalam setiap memutuskan kebijakan.

Mengapa tidak, jika anggaran yang diperuntukan untuk jam malam yang dipenulis prediksi hingga milyaran permalam dialihkan kepada kebijakan lain yang lebih logis dan bermanfaat dalam memutuskan rantai penyebaran Covid-19. Sebut saja misalnya, anggaran itu dialihkan untuk memperketat jalur masuk ke Aceh seperti di bandara, pelabuhan, hingga perbatasan Aceh-Sumut. Bukan hanya untuk itu, anggaran juga bisa diplot untuk pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi para medis di rumah sakit. Hingga yang paling krusial adalah menerapkan dan merealisasikan UU No.6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan pasal 55 ayat 1 dan 2 yang mana pemerintah pusat harus memenuhi kebutuhan dasar masyarakat hingga hewan ternak di bantu oleh pemrintah daerah dan pihak terkait. Konon kebijakan menerapkan ini lebih logis dibandingkan dengan jam malam yang sama sekali tidak logis dalam memutus rantai penyebaran covid-19 ini.

Bayangkan saja jika jam malam diterapkan seperti sekarang, para penjual kaki lima yang mengantungkan asa hidup keluarga dengan berjualan nasi goring, mie aceh, martabak dan lain-lain. Bagaimana dengan nasib keluarga mereka jika tak ada pemasukan? Mereka bukan tak mengindahkan kebijakan pemerintah, tetapi mereka hanya berusaha menutup kemungkinan agar keluarganya tidak mati kelaparan, walaupun nyawanya sendiri terancam. Jika memang pemerintah menginginkan seluruh masyarakat Aceh untuk berdiam diri di rumah, maka pemerintah harus siap memberikan Sembilan bahan pokok (Sembako) kepada masyarakat Aceh tanpa pandang bulu. Jangan hanya mengeluarkan himbauan dan kebijakan yang cenderung tidak relevan dengan keadaan di Aceh saat ini, jangan seperti pepatah Aceh mengatakan Kuah beulemak U bek teuplah (Kuah harus lemak, kelapa jangan terbelah).

Kebijakan jam malam ini tentu memperkuat bahwa tak satupun pimpinan dari Forkopimda Aceh memahami tentang bagaimana cara pencegahan penyebaran Covid-19. Setiap kebijakan yang di ambil oleh Pemerintah Aceh selalu saja menjadi momok mengerikan, belum lama ini juga viral terkair kuburan massal yang disediakan. Jam malam adalah wujud nyata bahwa pemerintah merusak ekonomi rakyat, tanpa tanggung jawab.

Penyebaran virus ini memang bukan ulah pemerintah, tetapi itulah tanggung jawab yang mengharuskan pemerintah bertanggungjawab walaupun bukan kesalahannya. Namun hal itu bisa menjadi kesalahan pemerintah apabila memilih langkah-langkah yang salah, semuanya tergantung pada kebijakan pemerintah saat ini. Selamat atau tidaknya Aceh ke depan tergantung bagaimana pemerintah mampu meresapi aspirasi masyarakat Aceh bukan para pendesah di sekitarnya.

Pemerintah Aceh harus membuka mata dan menjadi pendengar yang baik dalam hal ini, tentu semuanya menginginkan yang terbaik. Paling tidak poin paling dasar adalah tranparasi terkait jumlah pasien positif dan strategi pemerintah dalam proses memutus mata rantai covid-19, karena sepengetahuan penulis bahwa jam malam sama sekali bukan solusi serta tidak masuk dalam standar World Health Organization (WHO). Tanpa kita sadari dengan memberlakukan jam malam di Aceh, kita seperti sedang dalam keadaan Darurat Sipil seperti tempo dulu.

Maka sangat besar harapannya jika pemerintah Aceh di bawah pimpinan Plt Nova Iriansyah mampu mengambil kebijakan dengan bijaksana sesuai dengan keputusan bersama Forkopimda Aceh. Semoga kebijakan atas jam malam ini bisa di pertimbangkan kembali di karenakan sama sekali tidak logis dan tidak dapat memutus rantai penyebaran covid-19 jika pintu masuk seperti bandara, pelabuhan, dan perbatasan serta jalur-jalur yang bisa di masuki lainnya tetap terbuka lebar. Rakyat Aceh hanya menginginkan kebijakan yang logis bukan sekedar kebijakan populis. Tidak ada rakyat Aceh yang mencoba membangkang, mereka hanya harus tetap menafkahi keluarganya agar tak mati konyol atas kebijakan yang setengah lepas tangan.

*Penulis adalah  mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry, Banda Aceh*

Email : Muhammadzaldi1001@gmail.com

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.