Kabar ini menjadi panas setelah Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Timur berbalas pantun di Harian Serambi Indonesia (29/08/2010 dan 30/08/2010) tentang bagaimana Pemerintah Aceh melakukan persetujuan perpanjangan kontrak PT. Medco selaku kontraktor pemenang dalam explorasi dan exploitasi sumber gas Blok A yang berada di wilayah Kabupaten Aceh Timur, tanpa mengajak unsur Pemerintah Aceh Timur untuk duduk bersama dalam rangka memperoleh manfaat bersama berupa pembukaan lapangan kerja baru, adanya potensi dana corporate social responsibility dan berperan serta dalam participating interest.
Participating Interest
Mengingat begitu susah mencari padanan kata dari participating interest dalam bahasa Indonesia sehingga penulisannya dalam PP Nomor 35/2004 ini tetap menggunakan bahasa Inggris. Definisi participating interest menurut Oilfield glossary adalah The proportion of exploration and production costs each party will bear and the proportion of production each party will receive, as set out in an operating agreement.
Secara harfiah dapat diartikan bahwa participating interest (PI) adalah hak dan kewajiban dalam pengusahaan hulu migas yang dalam Pasal 34 ditawarkan oleh kontraktor kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pengusahaan hulu migas dilakukan dalam suatu wilayah kerja untuk mendapatkan hasil. Lazimnya dikatakan bahwa PI untuk suatu wilayah kerja adalah 100% PI. Artinya untuk mengelola sendiri suatu wilayah kerja, kontraktor mengemban seluruh hak dan kewajiban. Namun adakalanya di dalam suatu kontrak bagi hasil, pihak yang menjadi kontraktor lebih dari satu. Untuk wilayah kerja Blok A, ada tiga kontraktor yang terlibat dengan bagiannya masing-masing dari 100% PI yaitu Medco (41,67%), Premier Oil (41,66%), dan Japex/Japan Petroleum Exploration (16,67%). Sesuai Pasal 34 di atas maka Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur masih bisa mendapat PI sebesar 10% dari komposisi 100% dan bertindak sebagai kontraktor melalui BUMD. Untuk mengatur tugas dan tanggung jawab sesama kontraktor, maka para kontraktor akan membuat kesepakatan lagi yang dituangkan dalam perjanjian operasi bersama (Join Opearting Agreement/JOA).
Biasanya sebuah kerjasama operasi menunjuk salah satu pihak untuk menjadi operator dalam JOA yang umumnya adalah kontraktor yang memiliki PI tertinggi. Secara umum tugas dan tanggung jawab operator adalah mengelola dan menjalankan operasi bersama di bawah pengawasan dari komisi operasi yang merupakan badan perwakilan dari para pihak Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan badan pengambil keputusan tertinggi. Peran lain operator adalah mewakili kontraktor untuk menjalin komunikasi dengan BP Migas. Perjanjian antara sesama kontraktor ini disebut persekutuan perdata, artinya JOA ini tidak mempunyai nama bersama dan tidak berbentuk badan hukum. Tiap-tiap kontraktor harus memasukkan sesuatu dalam persekutuan. Pemasukan dalam hal ini tidak hanya berupa modal saja, tetapi juga tenaga kontraktor untuk menjalankan usaha hulu migas.
Menariknya PI adalah kontraktor dapat mengalihkan PI yang dimilikinya bahkan tanpa izin kontraktor sekutunya yang lain kewajibannya kepada pihak ketiga yang berdampak pada perubahan hak yang bakal dimilikinya. Artinya, BUMD yang didirikan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur apabila tidak sanggup menyetorkan modal dalam kontrak bagi hasil maka bisa mengajak perusahaan lain sebagai pemegang saham dari BUMD yang didirikan dengan mayoritas saham tetap dimiliki pemerintah daerah. Keikutsertaan BUMD dalam PI dilakukan sesuai dengan kelaziman bisnis biasa, dimana BUMD tetap harus melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana telah ditetapkan dalam JOA antara BUMD dengan kontraktor lainnya serta kewajiban yang tercantum dalam kontrak bagi hasil.
Keinginan pemerintah daerah dalam PI harus diiringi dengan kemampuan penyertaan modal dalam kontrak bagi hasil ini. Apabila suatu daerah APBD belum mecukupi bahkan defisit maka kecil peluangnya daerah tersebut bisa mendapatkan 10% PI melalui BUMD, kerena industri perminyakan merupakan industri padat modal serta berisiko tinggi. Untuk membagi risiko dan beban biaya tersebut maka dibentuk konsorsium yang terdiri dari beberapa kontraktor. Mengingat tingginya biaya dan risiko, maka BUMD yang ditunjuk menjadi kontraktor dapat terdiri dari sharing bersama Pemerintah Aceh dan Pemerintah Aceh Timur dan ditambah dengan perusahaan swasta lain jika memang kontribusi pemasukan dalam JOA belum mencukupi.
Mengingat kondisi di atas maka selayaknya, jika Gubernur dan Bupati serius dalam usaha mensejahterakan masyarakat dengan segera berhenti berpolemik dan menyusun langkah-langkah strategis dalam rangka PI, karena untuk mendapatkan 10% PI tidak mudah, dimana BUMD hanya diberi waktu 60 (enam puluh) hari sejak penawaran kontraktor untuk menyatkan kesanggupan sebagai kontraktor. Apabila melewati jangka waktu tersebut maka kontraktor berhak menawarkan ke perusahaan swasta nasional dan jika tidak ada yang menyanggupi maka penawaran akan ditutup.
Langkah-langkah Strategis
Langkah-langkah strategis yang bisa diambil adalah dengan menentukan dan menyepakati PI antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Aceh Timur dan bahkan dengan jika wilayah Blok A masuk ke wilayah administratif- Pemerintah Aceh Tamiang atau Pemerintah Kota Langsa berdasarkan persentase kandungan minyak dan gas dimasing-masing daerah. Penentuan persentase kandungan minyak dan gas bisa meminta pihak independen seperti Ikatan Ahli Geologi Indonesia sebagai tim konsultan. Selanjutnya, masing-masing daerah menunjuk BUMD yang akan mewakili daerah dalam bisnis pengelolaan lapangan minyak dan gas bumi.
Setelah perpanjangan kontrak selama 20 tahun mulai 1 September 2011, antara BP Migas dengan kontraktor (Medco, Premier Oil, dan Japex) ditandatangani, maka selanjutnya kontraktor akan mengumumkan penawaran 10% PI Blok A kepada BUMD tersebut dengan catatan menyatakan kesanggupan dan menyetorkan sejumlah dana yang jumlahnya proporsional dengan besarnya PI yang akan diperoleh. Dana yang dibutuhkan bisa diketahui dari rencana pengembangan lapangan (plan of development) yang disusun oleh operator Blok A dalam hal ini PT. Medco E&P yang telah dibahas dan dievaluasi BP migas untuk disahkan oleh Menteri ESDM.
Pemerintah Aceh Timur yang sepertinya mendapat persentase PI daerah tertinggi, apabila kekurangan dana investasi, maka melalui BUMD yang ditunjuk bisa membuka peluang seluas-luasnya kepada investor swasta baik dalam maupun luar negeri untuk turut mengelola Blok A di Kabupaten Aceh Timur. Hal ini dikaitkan dengan masih terbatasnya kemampuan pemerintah dalam mengelola industri hulu minyak dan gas bumi.
Sebagai perbandingan, biaya explorasi lapangan migas Blok Cepu sekitar Rp 25 triliun sehingga dana yang harus diserahkan oleh 4 (empat) BUMD (Provinsi Jateng (1,09%), Provinsi Jatim (2,24%), Kabupaten Blora (2,18%) dan Kabupaten Bojonegoro (4,48)) adalah Rp 2,5 triliun.
Public Interest
Manfaat ganda dari investasi daerah di sektor migas ini bagi Provinsi Aceh dan Kabupaten Aceh Timur adalah selain menerima pendapatan dari investasi 10% PI bagian kontraktor pengelola, juga menerima pendapatan dana bagi hasil migas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pendapatan daerah pertama masuk sebagai bagian lain-lain PAD yang sah, sedangkan yang kedua merupakan bagian dari dana perimbangan. Bagian keuntungan 10% PI daerah (sebagai bagian kontraktor pengelola) diterima sebagai dividen keuntungan perusahaan BUMD yang diberikan tahunan, untuk bagi hasil migas yang merupakan bagian dana perimbangan dilakukan transfer dari Pemerintah Pusat secara periodic per triwulan ke kas daerah. Menurut UU Nomor 33/2004 bagian dana perimbangan untuk minyak bumi adalah 84,5% untuk pemerintah pusat dan 15,5% untuk pemerintah daerah, sementara untuk gas 69,5% pemerintah pusat dan 30,5% pemerintah daerah. Bagian pemerintah pusat dibagi lagi menjadi bagian pemerintah provinsi, kabupaten/kota penghasil, dan kabupaten.kota se provinsi. Jika mengacu UUPA bagian pemerintah daerah lebih rendah yaitu 15% dari minyak bumi dan 30% dari gas bumi. Jadi bagi kabupaten/kota di Aceh lebih baik menggunakan UU Nomor 33/2004 daripada UUPA. Memang di UUPA pada Pasal 181 ayat 3 menyebutkan tambahan dana bagi hasil migas tapi manfaatnya hanya dirasakan Provinsi Aceh termasuk dana otonomi khusus- saja karena menjadi penerimaan Pemerintah Aceh dengan bagian 55% untuk minyak bumi dan 40% untuk gas bumi.
Jadi sekali lagi, UUPA itu menguntungkan Pemerintah Aceh dan merugikan Kabupaten/Kota, ini bisa dilihat bahwa dengan UUPA bahkan alokasi bagi hasil dari pertambangan minyak dan gas bumi turun 5% bila dibandingkan dengan kabupaten/kota yang menggunakan UU Nomor 33/2004.
Karena kekuasaaan Pemerintah Aceh terletak ditangan Gubernur maka selayaknya Bupati duduk bersama dengan Gubernur untuk membahas mengenai langkah-langkah strategis di atas dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dengan melepas rasa egois untuk kepentingan masyarakat Aceh terutama Aceh Timur. Meyakini bahwa kepentingan publik (public interest) yang paling utama maka akan didapatkan titik temu dalam usaha mewujudkan penambahan sumber pendapatan daerah melalui PI dan dana bagi hasil migas. Dengan adanya sumber pendapatan baru maka bisa diwujudkan proyek-proyek pembangunan baru melalui belanja modal dan barang/jasa di APBA/APBK sesuai dengan aspirasi masyarakat yang tertuang melalui program Rencana Kerja Pemerintah Daerah tiap tahunnya. Jika hal ini berhasil, maka akan menjadi catatan penting bahwa di era Gubernur dan Bupati sekarang kemakmuran rakyat Aceh terwujud.