Dalam bahasa lainnya, preman adalah kaum abu-abu, yang tak sepenuhnya bersih atau sepenuhnya kotor, mereka hidup dengan mengintimidasi, teror dan mengedepankan kekerasan. Seperti penjelasan di atas, preman adalah orang yang bebas dan merdeka, di Indonesia, preman berada di setiap sektor, apakah itu di jalan, di pemerintahan, di sekolah, di kampus hingga merambah ke birokrasi institusi. Ada preman bahasa, ada preman kampung, ada preman kota dan preman-preman lainnya.
Fenomena sosial demikian, akhir-akhir ini terjadi di Aceh, walaupun sebenarnya sudah lama juga penyakit sosial ini bersarang, namun dalam beberapa bulan terakhir, ini menjadi isu hangat yang diberitakan banyak media dan dibicarakan orang-orang diwarung kopi. Premanisme proyek, begitulah sebutannya, entah dari mana asal muasal sebutan itu, tapi saya anggap sebutan itu pantas bagi mereka yang hidupnya dari memeras, mengintimidasi, meneror dan melakukan kekerasan pada pengerjaan sebuah proyek pembangunan.
Dalam sebuah bacaan, sebenarnya fenomena preman mulai berkembang pada saat ekonomi semakin sulit dan angka pengangguran semakin tinggi. Akibatnya kelompok masyarakat mulai mencari cara untuk mendapatkan penghasilan, dan salah satunya menjadi pemalak di proyek-proyek fisik atau proyek lainnya. Di Aceh, premanisme hadir dalam wujud yang lebih modern dan terorganisir, dan dari berbagai sumber baik itu media, obrolan warung kopi hingga milist-milist, mereka adalah bagian dari pejuang-penjuang masa lalu yang terpinggirkan dan tidak diperhatikan oleh kaumnya yang saat ini berkuasa.
Premanisme Lahir!
Tiga puluh tahun lamanya Aceh bertikai dengan pemerintah RI, lima belas ribu korban jiwa berjatuhan, hampir seluruh rakyat Aceh pada masa itu melebur menjadi bagian dari gerakan aceh merdeka, dari anak-anak hingga orang tua, dari mereka yang dendam karena keluarganya terbunuh hingga ada yang sekedar ikut-ikutan, namun realita saat itu menjadi GAM adalah pilihan terbaik bagi orang-orang didesa dan pelosok Aceh.
Setelah pertikaian berakhir dan damai pun datang menghampiri, hampir seluruh rakyat Aceh larut dalam euforia perdamaian yang diharapkan dapat merubah kesejahteraan menjadi lebih baik. 5 tahun perdamaian, kesejahteraan yang diharapkan tidak kunjung tiba, yang ada malah kemiskinan, stagnasi tanpa perubahan, disertai ketergantungan pada daerah lain yang membuat Aceh tidak mampu memproduksi hasil pangan, industri atau hasil alamnya dengan maksimal. Realitas saat ini ternyata menciptakan kondisi yang kondusif bagi budaya premanisme di segala lini. Hal ini malah membuat Aceh terpuruk dalam jurang potensi konflik horizontal.
Intimidasi, teror dan kekerasan menjadi cara hidup untuk mengisi perut yang kosong dan harapang-harapan orang di rumah (baca:keluarga). Mereka yang putus asa dan tak lagi memiliki pekerjaan seakanakan menganggap premanisme adalah jalan terbaik, lalu mereka mengorganisir rekan-rekannya untuk melancarkan aksinya di proyek-proyek yang sedang dibangun, khususnya di daerah mereka, dan bukan tidak mungkin merambah daerah lain yang dianggap menguntungkan.
Kian hari, premanisme makin marak di Aceh, lihat saja yang terjadi di Aceh Jaya, kontraktor menghadiahi konsultan pengawasnya dengan bogem karena sang kontraktor tidak terima hasil pemeriksaan proyeknya. Di Gayo Lues, sejumlah rekanan mencak-mencak karena panitia tender mencantumkan status TL(tidak lengkap) pada berkas dokumen yang mereka serahkan dan ketegangan antara rekanan dan panitia proyek pun terjadi. Di beberapa tempat lain juga terjadi hal yang tidak jauh berbeda, di Aceh besar, anggota panitia tender dibogem oleh peserta tender, begitu juga di Aceh selatan.
Premanisme haruslah dihentikan. Apapun alasan kelahiran premanisme tidaklah serta merta menjustifikasi bahwa pekerjaan itu baik. Mereka para pejuang terdahulu haruslah merubah cara berpikirnya, jangan dengan dalih bahwa dahulu ikut menjadi pejuang lalu sekarang setelah damai, karena tak mampu bersaing, ditinggalkan atau terpisah dari kaumnya lalu ikut menjadi preman proyek. Memang tak dapat disangkal, pekerjaan baru sebagai preman proyek sangatlah menghidupkan, dengan bermodalkan anak buah yang sangar, beberapa senjata tajam atau senjata api maka pekerjaan itu bisa dilakukan.
Pemerintah Aceh, Sadarlah
Di zaman yang serba sulit, jangankan untuk memenuhi kebutuhan sekunder, yang primer saja sudah sangat susah. Pemerintah Aceh harus lebih kreatif dalam mengembangkan potensi-potensi yang ada, ketersediaan lapangan kerja bagi kurang lebih dua ratus ribu orang yang menganggur di Aceh harus segera dipikirkan. Apakah itu dengan menghidupkan home industry atau solusi lainnya. Pemanfaatan hasil sumber daya alam dengan tepat guna juga menjadi keharusan. Pemerintah Aceh tak perlu terlalu mengobralkan hasil alam yang ada, memprioritaskan pendidikan terbaik bagi generasi Aceh masa depan untuk dapat mengembangkan serta memanfaatkan hasil alam di tahun-tahun selanjutnya merupakan pilihan terbaik dari pada menjual tanah beserta isinya kepada pemodal.
Dengan triliunan uang yang berada di Aceh, pemerintah harus belajar bagaimana caranya mengelola itu sebagai modal untuk kesejahteraan Aceh, tak bisa hanya melalui regulasi yang ada, namun pengawasan terhadap implementasi berdasarkan peraturan yang ada jauh lebih penting. Selain itu pelibatan seluruh komponen masyarakat dalam menentukan basis sentral pengembangan di tiap daerah berdasarkan potensinya juga harus dipertimbangkan. Aceh tidak bisa dibangun hanya dengan berada di belakang meja, kemudian ketok palu.
Bila pemerataan pembangunan, dan pengembangan perekonomian yang berbasiskan potensi setiap daerah diarahkan kepada kesejahteraan, maka premanisme di Aceh yang lahir saat ini akan menjadi masa lalu. Inti dari perdamaian adalah sejahtera. Segenap potensi yang ada, dorongan dan dukungan masyarakat haruslah membuat pemimpin Aceh mencurahkan seluruh kemampuannya untuk menciptakan Aceh yang sejahtera, seperti yang dicita-citakan rakyat Aceh dari dahulu hingga kini.