Menguak Pengalaman Perempuan di depan Hukum

0
164

Kutipan di atas merupakan catatan pengalaman seorang kolega pada saat melakukan pendampingan kepada kliennya. Menariknya, kilasan cuplikan ini memberikan gambaran tentang bagaimana pengalaman perempuan saat berhadapan dengan hukum.

Bila dicermati dengan seksama, kasus diatas menyodorkan kepada kita suatu realitas tentang berbagai bentuk manifestasi dari bias gender yang terjadi pada lembaga penegak hokum (Feliciano, 2002). Pertama, tampak jelas adanya praktek ketidakadilan gender yang dilakonkan oleh si petugas dalam memproses kasus yang dilaporkan. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kesadaran dan sensitivitas gender dari para aparat penegak hukum. Menurut Savitri (2006) aparat penegak hukum, baik pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, belum banyak menguasai detil-detil dari penegakan hukum yang berperspektif perempuan.

Boleh jadi, ini disebakan oleh (a) latar belakang sosial seorang penegak hukum yang menganut nilai patriarkhi yang sangat berpengaruh terhadap tindakan/sikap dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum (Natsir, 2010), ditambah dengan (b) minimnya upaya non-yuridis, seperti penyelenggaraan seminar, workshop maupun pelatihan khusus yang dilakukan oleh institusi terkait untuk meningkatkan kesadaran aparatur penegak hukum dalam perspektif perlindungan perempuan, serta (c) tidak adanya keberadaan materi ataupun mata kuliah yang secara khusus memuat kajian hukum dan perempuan didalam kurikulum fakultas hukum (Amalia, 2009). Kelemahan kesadaran aparatur penegak hukum yang berperspektif perlindungan mengakibatkan lemahnya penegakan hukum untuk menegakkan keadilan.

Kedua, seringkali korban harus mengalami double victimisation dimana mereka harus menjadi korban kembali dari kekerasan yang dialaminya. Alih-alih mendapatkan perlindungan dari institusi penegak hukum, penegak hukum malah seringkali menempatkan korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan. Dalam kasus perkosaan misalnya, perempuan korban, sering kali dituding sebagai penyebab terjadinya perkosaan, bahkan terkadang ironisnya korban dianggap sah untuk diperkosa kembali. Alasan yang sering dipakai untuk menyalahkan korban kekerasan antara lain, dengan menggugat cara berpakaian korban, cara berbicara dan menuding perempuan sebagai istri yang tidak bisa patuh pada suami karena kelancangannya untuk beradu argument dengan suami (contoh dalam sebuah konflik keluarga). Akibatnya sistem hukum terperangkap pada menafikan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Ketiga, situasi semakin diperparah dengan sikap negatif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Pada saat petugas menginvestigasi perkara misalnya, korban seringkali dijejali dengan penghinaan dan cemoohan yang menyudutkan korban. Pertanyaan petugas dari cuplikan kasus diatas seperti” suami yang ke berapa bu ” dan ” buat apa ibu buat pengaduan, toh nanti malam ibu sudah tidur lagi dengan suami, merupakan gambaran konkrit dari sikap negatif ini. Sehingga tak jarang situasi yang tidak mendukung ini mendorong korban untuk mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pengaduannya.

Keempat, adanya kecendrungan untuk memandang rendah (trivialization) terhadap kekerasan berbasis gender (KBG). Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga (yang merupakan salah satu bagian dari KBG) juga dipandang sebagai masalah pribadi yang berada diluar jangkauan hukum. Sehingga tak ayal bila kekerasan dalam rumah tanga dan pelecehan seksual dipandang sebagai kasus yang kurang penting dan kurang patut untuk mendapat perhatian/penegakan hukum. Hal ini akhirnya berimplikasi pada penetapan sanksi/hukuman yang ringan atau bahkan pelaku mendapatkan impunitas , walaupun si pelaku terbukti bersalah secara hukum.

Penggalan catatan ini dapat merefleksikan tentang keberadaan sistem hukum Indonesia yang belum mampu memberikan keadilan dan perlindungan hukum bagi perempuan. Padahal di Indonesia sebenarnya sudah banyak peraturan yang mewajibkan aparat hukum, termasuk kepolisian untuk memberi pelayanan secara khusus bagi perempuan korban kekerasan, semisal UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) tetapi, mengapa UU ini belum efektif untuk pemenuhan hukum perempuan?

Bila dilihat dari sisi pembangunan sistem hukum, hal ini berkaitan dengan tiga pilar utama (Ali, 1996:213; Saifullah, 2007:26). Pertama, berkaitan dengan struktur hukum yang ada, dimana aparat penegak hukum yang tidak berkemampuan, tidak sensitif, tidak bertujuan memberi pelayanan kepada pencari keadilan, dan cenderung berpatok pada hukum formal tanpa inisiatif dimana aturan yang dibangun sering kali didasarkan pada adagium “setiap orang sama di depan hukum” dan kemudian abai terhadap situasi perempuan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa wajah penegakan hukum yang saat ini dipegang oleh penegak hukum berakar pada paradigma legalistic positivis (Rahardjo, 1993) yaitu pemahaman dan penafsiran hukum berdasar pada apa yang tertulis di undang-undang dan memberangus pemahaman konteks atas substansi undang-undang tersebut. Sehingga berimplikasi pada implementasi penegakan hukum yang hanya berkisar pada kegiatan mengeja undang-undang dan tidak pada konteks penafsiran kontekstual undang-undang.

Selain itu, terdapat kecendrungan untuk memandang pembuatan hukum sebagai tujuan akhir. Artinya bila hukum sudah ada maka sudah terpenuhilah tujuan penegakan hukum itu, tanpa perlu memikirkan dan mementingkan upaya penegakan hukumnya (law enforcement). Padahal, penegakan hukum itu sendiri harus dimaknai dengan arti yang luas, dimana termasuk didalamnya upaya membangun kapasitas dan sensitivitas kalangan penegak hukum, selain menyediakan perlindungan perempuan dan anak.

Kedua, secara substansi, aturan dan mekanisme yang dibangun memang tidak memperhitungkan pengalaman dan kebutuhan perempuan. Ketidakmampuan penegak hukum bisa karena proses pendidikan dan penguatan kapasitas yang tidak memadai, pengetahuan akan perkembangan hukum dan situasi sosial yang tidak merata, fasilitas kerja yang tidak layak, maupun karena sistem dan proses pemantauan yang lemah.

Ketiga, berkaitan dengan kultur hukum di Indonesia dimana masih kuatnya budaya patriarki dalam masyarakat umumnya, juga menjadi kendala menghadirkan keadilan bagi perempuan korban. Adanya perbedaan penempatan budaya antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat, artinya, bagaimana masyarakat menciptakan konsep mengenai perempuan dan laki-laki serta bagaimana masyarakat memberikan nilai dan norma mengenai apa yang pantas dan tidak pantas bagi perempuan dan laki-laki. Di sisi lain, budaya yang dianut oleh suatu masyarakat sangat berpengaruh pada perumusan hukum yang berlaku bagi masyarakat tersebut. Apabila budaya yang diakomodasi dalam rumusan hukum adalah budaya yang patriarkhis, maka hukum yang diciptakan akan tidak peka terhadap masalah-masalah yang dihadapi perempuan. Dalam hal ini, budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang dan hukum melegitimasinya (Irianto,2006).

Kenyataan ini menjadi tantangan buat semua pihak untuk terus bekerja lebih baik dan keras lagi untuk memberikan keadilan dan perlindungan hukum bagi perempuan. Atau akankah kita terus membiarkan perempuan korban kekerasan lebih memilih untuk diam dan menyembunyikan segala penderitaannya sebagai “nasib” yang tidak bisa diubah?

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.