Jantung Hati Pendidikan? Jantung Pisang Mungkin

0
127

Tulisan Mahdi bermula dari keresahannya sebagai seorang akademisi ketika melihat lembaga pendidikannya, Unsyiah, tidak berjalan secara dialektis, memakai perspektif GWF Hegel. Pemahaman dialektika Hegel adalah bahwa sejarah kemanusiaan lambat laun, sejalan jahitan waktu, akan mematangkan dan memanusiawikan manusia. Berarti proses waktu adalah selalu positif dan konstruktif. Perspektif ini jika dianalogikan dengan logika Mahdi adalah seharusnya Unsyiah di usia 51 tahun semakin bisa mengembangkan pendidikan melampaui sejarah dulu (beyond the history), bukan sekedar jantung hati pendidikan Aceh, tapi inti dari seluruh inti (la creme de la creme) pendidikan Aceh.

Keresahan Mahdi ini adalah keresahan khas komunitas minoritas kreatif (creative minority) di dunia kampus mana pun, yang sedih melihat penguasa lembaga pendidikan membangun patronase kekuasaan dibandingkan intelektualisme. Coba saja telisik, bukan hanya Unsyiah, kampus lain, seperti Unimal adan IAIN pun ada sekelompok komunitas kreatif yang tak sudi melihat kampusnya semakin memble dan tak berkembang secara benar.

Komunitas ini adalah sang peniup peluit yang memekakkan telinga. Mereka membuat sang pangeran berkuasa di kampus (memakai istilah Machievelli, Il Principe) tak nyenyak tidur karena dunia kampus tak berwujud secara sempurna: mengabdi pada asas-asas keilmuan, penelitian, pencarian akan kebaruan, dan pemihakan sosial. Bahkan sebaliknya, kampus menjadi organisasi kekuasaan, oligarkhisme, dan premanisme. Masih beruntung kultur Unsyiah tidak membredel atau mengintimidasi sosok-sosok kreatif seperti Mahdi ini, dan membiarkannya sebagai bagian dari dialektika Unsyiah. Sebagai galibnya dunia pendidikan, protes dan kritik harus dinilai sebagai sesuatu yang membangun dan menguatkan, bukan malah mengancam.

Tapi bukan di situ poin tulisan ini. Bagi saya Mahdi masih agak berlebihan, seperti juga Alkaf yang romantis, mengharapkan Unsyiah menjadi jantung hati pendidikan Aceh kembali, seperti mantra Ali Hasjmy lima puluh tahun lalu. Omongan Unsyiah sebagai jantung hati pendidikan Aceh yang berarti seluruh nafas pendidikan Aceh tergantung pada Unsyiah di samping tidak realistis dan kontekstual, juga terlalu narsistik. Lima puluh tahun lalu hal ini mungkin cocok sebagai harapan dan doa-doa, tapi sekarang? Lembaga pendidikan Aceh bukan hanya Unsyiah dan Darussalam, tapi telah menyebar ke seantero Aceh dari pesisir Timur dan Barat. Kehadirannya pun bukan hanya industri pengajaran pencetak sarjana, tapi dalam taraf-taraf tertentu sebagai penggerak sosial. Maka pandangan ini saya anggap masih terlalu ideologis, belum objektif.

Terlalu berlebihan pula kalau kampus masih dianggap produsen utama pengetahuan masyarakat. Kalau kita jeli melihat, telah cukup banyak blok-blok sejarah (historical blocks) yang menjadi produsen pengetahuan. Sebutlah misalnya LSM, para jurnalis, seniman, dan peneliti dan pemikir independen yang tidak terikat pada birokrasi tertentu. Di tangan mereka ini sebenarnya wacana seni penemuan (art of discovery) cukup berkembang, dengan talenta yang dimiliki masing-masing telah mengembangkan pula wacana yang bersambut gayung dan berlepas tangkap, baik yang dimanfaatkan oleh pemerintah, organisasi, masyarakat sendiri atau diadopsi oleh kampus secara diam-diam.

Penelitian-penelitian, pelatihan, dan diskusi bersama masyarakat oleh komunitas non-kampus bahkan lebih bernyawa, karena akar masalah yang dicari dan dipecahkan berdasarkan proses partisipasi demokratis, tanpa melulu harus sesuai dengan metode atau teori ala universitas yang terkesan seperti mantra: out of date! Bukankah ini pekerjaan intelektual namanya? Selama ini, daya laju kampus masih terkesan tertinggal dibandingkan dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, sehingga sering-kali kampus tertatih-tatih dalam melakukan pembacaan atas perubahan yang telah terjadi dan meneropong dibalik meja akademis seolah-olah hal itu belum terjadi. Alangkah menyedihkan sebenarnya dunia kampus saat ini. Belum lagi penyakit syahwat kekuasaan para pengelola kampus, sehingga dunia yang seharusnya imajinatif dan inspiratif semakin kering dan meranggas.

Terakhir, dunia informasi yang diterima masyarakat tidak sepasif dan selinear 10-20 tahun lalu. Saat ini siapa yang tak mengenal internet? Banyak orang yang sebenarnya saat ini tidak lagi memerlukan guru atau dosen karena dunia internet telah menawarkan kelimpahan informasi yang menarik dan menyehatkan masyarakat. Telah tersebar e-book yang bisa diunduh (down loaded) secara gratis atau berbayar. Panggung untuk mengasah pikiran bersama telah tersedia dalam banyak bentuk diskusi terbuka, dialog interaktif, atau komunitas belajar yang cukup mudah diakses.

Saya bahkan menemukan banyak orang non-kampus lihai menjelaskan banyak kemusykilan sosial, etis, filosofis secara lebih baik dan tajam dibandingkan para dosen. Yang tersisa dari kampus hanya lembaga birokratik: pengesah ijazah untuk menunjukkan bahwa sang mahasiswa telah menjalani pendidikan. Banyak penulis handal yang menjadi rujukan tidak pernah mengecap pendidikan formal atau memegang ijazah, tapi mereka menjadi orang yang cukup berarti bagi pengetahuan, masyarakat, dan seni-sastra. Siapa yang tak kenal H. Agus Salim, Adam Malik, Prof. Sudjatmoko, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib, Rosihan Anwar, Prof. Sardono, Prof. Jakob Sumardjo, Ajib Rosidi, Zawawi Imran? Mereka dikenal sebagai pemikir dan filsuf tanpa memiliki gelar sarjana, master, atau doktor di depan atau belakang namanya.

So, jangan terlalu mengharap Unsyiah atau Darussalam bisa kembali menjadi jantung hati pendidikan Aceh. Biasa-biasa saja, jangan sedih jika era sekarang Unsyiah tidak gemilang seperti era-80-an dan 90-an yang menghasilkan banyak pemikir yang berkontribusi pada banyak penemuan secara nasional. Jangan pula gusar jika Unsyiah makin besar dan banyak dosennya lebih mengabdi pada institusi pemerintah sebagai staf ahli atau tim asistensi yang urusannya bukan memberi resep akademis tapi semata ekonomis. Mungkin, bukan Unsyiah yang tidak berkembang, tapi dunia intelektual di sekeliling Aceh yang lebih berlari kencang.

Unsyiah atau kampus-kampus Aceh lainnya jangan terlalu obsesif pada gelar jantung hati pendidikan Aceh. Frasa ini lebih baik dihapus saja dalam kosa-kata pergaulan pendidikan Aceh karena kesannya terlalu arogan. Lebih tepat disebut jantung pisang, yang berarti manfaatnya tidak lebih baik atau lebih rendah dibanding buah, batang, atau daun pisang itu sendiri. Ini mungkin lebih fair.

Atau paling tidak kampus hanya sebagai mediator atau fasilitator agar seluruh kerja pengetahuan yang dilakukan lembaga lain bisa sinergis. Karena jika kampus (Unsyiah) diangkat jabatannya sebagai pemimpin gerakan pengetahuan yang terjadi malah mendikte dengan pola parokialis-elitis yang selama ini diperankannya.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.