Dari pemetaan ini akan terlihat jelas apa saja jenis kekerasan dan konflik yang sering muncul di Aceh, lokasi dan pergerakannya, serta dampak kasus tersebut kepada masyarakat. Dari pemetaan inipula para pemangku kebijakan seharusnya bisa memahami pola untuk mengantisipasi konflik tersebut di masa datang.
Secara nasional, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan aktivitas pemantauan dan pemetaan konflik secara rutin di semua provinsi lewat program yang dinamakan Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK). Program ini dihadirkan bekerjasama dengan world Bank, dengan tujuan untuk memantau tingkat konflik dan kekerasan di semua wilayah, sehingga dari hasil pemantauan itu, Pemerintah dapat mengambil kebijakan preventif untuk meminimalisir, mengantisipasi dan mengelola potensi konflik tersebut di masyarakat.
SNPK ini adalah langkah keterbukaan Pemerintah dalam memberikan informasi yang akurat, sistematis dan rinci tentang konflik kekerasan di Indonesia. Pola pemantauan kekerasan ini dilakukan melalui analisis pemberitaan media. Caranya, semua pemberitaan media terkait konflik dan kekerasan dimasukkan dalam data entry berdasarkan wilayah dan jenis kekerasan. Pada waktu tertentu, data ini diteliti dan dianalisis untuk memahami pola dan tren kekerasan yang terjadi.
Sistem SNPK ini sebenarnya telah lama dilakukan di Aceh oleh LSM lokal untuk membaca pergerakan kekerasan di wilayah ini pascakonflik. Koalisi NGO HAM Aceh termasuk yang aktif melakukan pemetaan ini. Dari pengalaman kami, terbukti kalau pemantauan melalui pemberitaan media tidak cukup akurat. Pemantauan itu mestinya diperkuat dengan investigasi mendalam yang diperkuat pula dengan wawancara dan pandangan sejumlah aktor konflik itu sendiri. Dari pola seperti ini maka akan terlihat jelas tren dan fenomana kekerasan yang terjadi di lapangan.
Tren seperti ini biasanya akan berlanjut dalam beberapa periode ke depan. Karena itu, membaca tren kekerasan secara sistematis di hari kemarin, akan memberi pemahaman kepada kita tentang cara mengantisipasi potensi kekerasan dan konflik di hari esok.
Untuk pemantauan kekerasan dan konflik sepanjang tahun 2013 lalu, Koalisi NGO HAM mencoba memadukan pola pemantauan kombinasi ala SNPK dan investigasi lapangan serta wawancara para aktor. Dari pola pemantauan seperti ini, yang diperoleh tidak hanya data dan angka, tapi juga fenomena dari kekerasan itu sendiri. Pola ini merupakan kombinasi pemantauan teknik kualitatif dan kuantitatif. Sebagai lembaga yang bekerja untuk publik, kami mencoba memaparkan hasil pemantauan itu untuk menjadi pembelajaran kita dalam mengantisipasi potensi konflik 2014.
Kekerasan Berdasarkan Wilayah
Berdasarkan hasil pemantauan media yang dilakukan Koalisi NGO HAM dan SNPK, kasus kekerasan dan konflik yang terjadi di Aceh sebanyak 563 kasus.
Dari data temuan itu, terlihat kalau kawasan dengan tingkat kerawanan konflik yang tertinggi di Aceh ada di wilayah Aceh Utara 88 kasus), Aceh Timur (57), Banda Aceh (48), Bireuen (43), Pidie (32), Lhokseumawe (45)dan Aceh Besar (33). Data ini membuktikan kalau kawasan rawan konflik masih terdapat di wilayah pesisir timur. Sementara untuk wilayah pesisir barat, tingkat konflik relatif tinggi ada di Kabupaten Aceh Barat (23).
Untuk wilayah Aceh bagian tengah, tingkat kekerasan tertinggi ada di Kabupaten Aceh Tengah (15 kasus). Sabang adalah wilayah dengan tingkat konflik dan kekerasan paling rendah selama tahun 2013 ini (0 kasus).
Tren tingginya konflik di wilayah pesisir timur ini merupakan fenomena yang sudah biasa terjadi di Aceh. Data Polda Aceh juga menyebutkan kalau wilayah pesisir timur merupakan kawasan yang relatif lebih rawan terkait dengan konflik dibanding kawasan tengah dan pesisir barat Aceh.
Beberapa faktor penyebabnya adalah karena poulasi penduduk yang lebih banyak di wilayah ini, tingkat kemiskinan yang tinggi, serta banyaknya sumber ekonomi yang dikuasai kelompok swasta. Bank Indonesia cabang Aceh juga menyebutkan kalau peredaran uang di Aceh lebih banyak terdapat di pesisir timur dan wilayah Banda Aceh. (BI Aceh 2013).
Dalam sejarah konflik di Aceh, pesisir timur memanng merupakan kawasan yang paling rawan dengan bara kekerasan. Pada momentum-momentum politik tertentu, seperti Pemilukada 2006 dan 2012 serta dan Pemilu 2009, wilayah ini juga selalu menunjukkan adanya tensi konflik yang tinggi. Fakta ini membuktikan kalau konsentrasi penanganan konflik dan kekerasan seharusnya perlu ditingkatkan di wilayah ini.
Lebih-lebih pada 2014 ini, di mana akan berlangsung pesta demokrasi lima tahunan nasional. Sama seperti Pemilu dan Pemilukada sebelumnya, pemilu legislatif di Aceh diperkirakan bakal menghadirkan sejumlah kasus kekerasan. Potensi itu setidaknya terlihat di sepanjang tahun 2013, dengan munculnya sejumlah kasus kekerasan terkait Pemilu di banyak tempat. Ada kasus pembakaran mobil calon legislatif, ada penembakan dan pembunuhan aktivits partai, ada pula pengeroyokan terhadap orang yang dituduh merusak simbol-simbol partai. Jika di Provinsi Aceh, konflik dan kekerasan Pemilu belum terlihat, di Aceh, sejak pertengahan 2013, situasi sudah mulai memanas.
Pola Kekerasan
Salah satu kekerasan pemilu yang mendapat sorotan banyak media dan publik Aceh sepanjang tahun 2013, adalah kasus penembakan yang menewaskan Muhammad Bin Zainal Abidin (33 tahun), atau akrab dipanggil Cek Gu, Anggota Tameng Nasional Aceh (TNA), sayap politik Partai Nasional Aceh (PNA), partai lokal yang disebut-sebut pesaing kuat dari Partai Aceh (PA).
Baik PNA maupun PA adalah partai yang sama-sama didirikan oleh mantan pentolan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Cek Gu adalah mantan kombatan GAM yang memutuskan keluar dari Partai Aceh untuk bergaung dengan PNA.
Persaingan antara PA dan PNA sebenarnya sudah terlihat sejak awal. Kehadiran PNA juga tidak terlepas dari kekecewaan sejumlah tokoh GAM terhadap PA. Tak heran jika kedua partai ini sering sekali saling bersinggungan. Di lapangan, kader dan politisi kedua partai ini kerap terlibat bentrok, baik bentrok fisik maupun bentrok psikologi.
Penembakan yang mewaskan Cek Gu dipastikan terkait dengan persaingan politik kedua partai ini. Cek Gu ditembak pada pukul 05.00 WIB, Jum’at 25 April 2013 di Desa Beureueh, Kecamatan Mutiara Timur, Pidie, di saat korban dalam perjalanan pulang naik mobil Avanza pribadinya dari Peureulak, Aceh Timur menuju rumahnya di Titeu Keumala, Pidie.Ia sendirian di mobil itu.
Di sekitar desa Keumangan, Kecamatan Mutiara, Pidie, korban ditemui oleh dua pemuda yang sudah dikenalnya. Bahkan kedua orang itu sempat naik ke dalam mobilnya. Mereka berbicara sejenak sambil mobil berjalan. Tidak disangka, ternyata kedua rekannya itu sudah sejak awal berencana membunuhnya.
Ketika asyik menyetir mobil, salah seorang dari pelaku mengeluarkan pistol, dan langsung mengarahkan tembakan dari jarak satu meter ke tubuh Cek Gu. Dorr! Lekaki bertubuh kekar itu tewas dengan tiga tembakan kepala dan badah.
Setelah eksekusi selesai, kedua pelaku mendorong mobil Avanza itu bersama mayat Cek Gu di dalamnya, ke arah Sungai Tiro di Desa Bereueh Kecamatan Mutiara. Esok paginya masyarakat dikejutkan dengan penemuan mayat Cek Gu terbujur kaku terhembas bersama mobilnya di sungai tersebut.
Direktorat Reskrim Polda Aceh yang bekerja cepat mengusut kasus ini, tidak kesulitan mengungkap pelaku penembaka tersebut. Hasil penyelidikan terhadap sejumlah saksi di lokasi kejadian, akhirnya petugas Polres Podie, pada 29 April, menangkap Khairul Ansyari alias Adnan dan Munir alias Aneuk Saboh. Dua orang inilah eksekutir Cek Gu pada hari naas tersebut. Kedua pelaku merupakan warga Desa Bungie, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie.
Dari kedua tersangka, Polisi mengamankan satu pucuk senjata api jenis FN yang digunakan untuk menghabisi korban, peluru aktif sebanyak 20 butir, uang tunai Rp 9 juta, handphone dan beberapa barang berharga lainnya milik korban yang sempat dicuri para pelaku. Malah dari pemeriksaan terhadap pelaku, terungkap kalau rencana pembunuhan itu sebenarnya lebih kejam lagi. Setelah ditembak, korban mestinya dibakar beserta mobilnya. Tapi rencana ini urung dilaksanakan karena hari sudah terlalu pagi. Pelaku memilih mendorong mobil korban ke dalam sungai.
Dari hasil pemeriksaan lebih lanjut, ternyata kasus ini tidak hanya melibatkan kedua tersangka. Ada seorang tokoh politik lain yang terlibat sebagai dalang utamanya. Ia adalah Tgk Ilyas, anggota DPRK Pidie dari Partai Aceh. Dari hasil keterangan para pelaku, terungkap kalau kasus pembunuhan ini terkait dengan sakit hati Tgk Ilyas yang menuduh korban telah menjelek-jelekkan Partai Aceh dan petinggi di partai lokal itu. Cek Gu, antara lain sering menuding keterlibatan elit PA dalam menguasai sejumlah proyek yang ada di Pemerintahan Aceh.
Rencana pembunuhan Cek Gu itu disusun sendiri oleh Teungku Ilyas. Ia memanggil dua orang yang dianggapnya layak melakukan eksekusi itu, yakni Khairul dan Munir. Penyusunan rencana dilakukan secara matang dan bertahap. Pertemuan pertama berlangsung pada pertengahan Februari di sebuah warung kopi di Pasar Keumala, Pidie. Dilanjutkan pertemuan kedua dan ketiga bulan berikutnya di Kota Mini Kecamatan Mutiara.
Dari rentetan pertemuan inilah akhirnya rencana eksekusi Cek Gu dimatangkan, di mana Khairul dan Munir sebagai eksekutornya. Munir yang kenal baik dengan Cek Gu tidak sulit untuk mengatur rencana eksekusi itu. Sebelum eksekusi berlangsung ia sempat menelpon Cek Gu, menanyakan keberadaannya pada hari itu. Dari komunikasi itulah Munir mengetahui kalau pagi itu Cek Gu ada di Simpang Keumangan, Kecamatan Mutiara. Keduanya sempat janjian untuk bertemu di jalan. Tujuannya untuk ngobrol biasa saja. Cek Gu menyambut baik rencana pertemuan itu. Ia sama sekali tidak menaruh curiga kalau ia akan dieksekusi pagi itu. Makanya ia sempat mengajak Munir dan Khairul naik ke dalam mobilnya.
Malang bagi pelaku, ternyata ada masyarakat yang melihat aksi mereka, sehingga polisi pun dengan mudah mengungkap kasus pembunuhan tersebut. Polisi juga memastikan keterlibatan Tgk Ilyas dalam scenario pembunuhan itu.
Namun sejak keterlibatannya terungkap, Tgk Ilyas menghilang dari peredaran. Sampai saat inipun keberadaannya belum diketahui aparat keamanan. Ia tidak pernah lagi terlihat mengikuti sidang-sidang di DPRK Pidie. Keluarganya pun mengaku tidak pernah menjalin komunikasi dengan Tgk Ilyas. Tinggal Khairul dan Munir yang harus mempertanggungjawabkan tindakan mereka di pengadilan.[1]
Kasus kekerasan terkait dengan persaingan dua partai politik partai lokal Aceh, PA dan PNA, tidak hanya sebatas peristiwa pembunuhan Cek Gu saja. Ada sejumlah kasus lainnya yang terjadi di beberapa daerah, termasuk pembakaran mobil Ford merah bernopol BK 751 milik kader PNA, Harlina (38) saat diparkir di halaman rumahnya, di Keude Geudong, Samudera, Aceh Utara.
Herlina sendiri yakin kalau pembakaran mobilnya itu terkait dengan persaingan politik yang ada di wilayah itu. Makanya PNA kemudian mengadukan kasus ini ke polisi dan juga Badan Pengawas pemilu Aceh. Sayangnya, sampai saat ini pelaku pembakaran mobil itu belum juga terungkap.
Herlina bukanlah satu-satunya politisi PNA yang mendapat intimidasi atau teror. Sebelumnya seorang politisi PNA di Aceh Utara juga sempat diteror. Rumahnya dilempar dengan batu oleh dua orang tak dikenal.
Ada pula sejumlah politisi perempuan PNA yang mendapat ancaman agar tidak mencalonkan diri dalam pemilu 2014. Sedangkan seorang politisi PNA lainnya, Zuhra dari Aceh Besar, sempat diancam agar tidak ikut dalam Pemilu 2014. [2]
kekerasan politik itu tidak hanya dialami politisi PNA. Politisi PA juga mengaku pernah mendapat ancaman. Seperti yang dialami Fadil Muhammad (33) Wakil Ketua Komisi A DPRK Aceh Timur dari Praksi Partai Aceh, yang mengaku mobilnya ditembak orang tak dikenal saat parkir di depan Kantor Partai Aceh (PA) di Desa Peulalu, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur, pada pukul 03.00 dini hari, Minggu 14 Juli 2013. Dalam laporannya ke polisi, Fadil menyebutkan ada tiga tembakan yang diarahkan ke mobilnya sehingga membuat kaca dan bagian samping mobilnya bolong. Kasus penembakan inipun belum terungkap sampai sekarang.
Melihat tren kekerasan politik terkait dengan Pemilu ini, setidkanya menjadi indikasi kalau kekerasan Pemilu tampaknya akan menjadi ancaman serius dalam konstelasi politik Aceh di 2014. Bawasda Aceh saja mengaku, sampai November 2013 lalu, mereka telah menerima 41 pengaduan terkait ancaman dan konflik Pemilu 2014.
Persoalannya semakin rumit, sebab Pemerintah Aceh, DPR Aceh dan bahkan Komisi Independen Pemilih (KIP) Aceh tidak mengakui keberadaan Bawasda sebagai lembaga pengawas Pemilu di wilayah ini. Mereka menuding Bawasda Aceh yang dibentuk oleh Bawaslu pusat merupakan lembaga pengawas pemilu ilegal di Aceh.
Polemik kelembagaan ini tentu saja memperburuk pelaksanaan Pemilu Aceh 2014 menjadi semakin rumit. Selain ancaman kekerasan, konflik antar lembaga pelaksana Pemilu di Aceh juga sarat dengan masalah. Kondisi ini dipastikan berimbas pada situasi lapangan.
Rentetan persoalan ini menambah beban berat tugas aparat keamanan. Situasi itu diperburuk lagi dengan tingginya tensi konflik-konflik lainnya, seperti konflik sumber daya alam, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), aksi kekerasan terkait dengan tindakan main hakim sendiri oleh massa, konflik karena kebijakan pemerintah dan sebagainya. Konflik kebijakan pemerintahan ini juga pantas mendapat sorotan, karena masalah ini tidak hanya melibatkan masyarakat yang berbeda pendapat di tingkat akra rumput , tapi juga melibatkan konflik antara Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat.
Setidaknya ada tiga kasus konflik kebijakan Pemerintah Aceh yang mengundang kontroversi di kalangan masyarakat dan Pemerintah pusat, yakni terkait keberadaan Qanun Nomor 8 Tahun 2012 tentang Wali Nanggroe dan Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh. Satu lagi yang berpotensi menuai masalah adalah rencana Pemerintah Aceh untuk melahirkan Qanun Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A), yang katanya untuk melanjutkan tugas reintegrasi Aceh.
Khusus Qanun Wali nanggroe dan Qanun Lambang Aceh, sejak awal memang telah menghadirkan banyak perdebatan. Tidak hanya sebagian masyarakat Aceh dan Pemerintah Pusat yang mempersoalkan kedua qanun ini, Komnas HAM juga turut campur membahas kedua qanun ini.
Dalam penilaian Komnas HAM, kedua qanun ini diskriminatif. Sejumlah pasal di dua qanun itu tidak adil bagi suku-suku lain yang bukan merupakan suku mayoritas di Aceh.
Wakil Ketua Pengawasan dari Komnas HAM Kantor Perwakilan Aceh, Sepriady Utama mengatakan, alasan keberatan masyarakat terhadap kedua qanun ini adalah pertama, Lembaga Wali Nanggroe Aceh dan bendera yang diusulkan tak dikenal dalam budaya di kabupaten-kabupaten tersebut. Kedua, dua qanun itu diterbitkan dengan proses yang minim partisipasi masyarakat.
Ketiga, Qanun Wali Nanggroe menutup kesempatan masyarakat di kabupaten-kabupaten tersebut menjadi Wali Nanggroe Aceh. Keempat, penggunaan bendera Aceh berdasarkan bendera dari satu kelompok tertentu dapat menimbulkan trauma konflik yang terjadi pada masa lalu. Kelima, ada anggapan bahwa masyarakat Aceh yang berada dan bertempat tinggal di wilayah kabupaten-kabupaten tersebut tidak termasuk rakyat Aceh. [3]
Tak heran jika sepanjang 2013, sejumlah aksi protes kerap muncul di berbagai wilayah menuntut Pemerintah Aceh dan DPRK membatalkan kedua qanun ini. Koalisi NGO HAM mencatat, setidaknya ada 19 kali terjadi aksi demo di berbagai wilayah memprotes kedua qanun ini. Bahkan tim sosialisasi yang dihadirkan Pemerintah Aceh, mendapat penolakan di sejumlah daerah. [4]
Aksi demo menolak Qanun Wali Nanggroe dan Qanun Lambang Aceh terbanyak terjadi di Aceh Barat, Takengon, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Banda Aceh, Aceh Singkil dan Aceh Selatan.
Pemerintah Indonesia sendiri masih terus menyorot keberadaan kedua qanun ini karena tidak dianggap tidak cocok dengan semangat yang diusung ndang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Qanun Lambang dan Bendera Aceh mendapat kritikan tajam dari karena menggunakan bendera dan lambang GAM sebagai bendera dan lambang Aceh. Keputusan ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, di mana pada Pasal 6 ayat 4 menyatakan bahwa desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan dengan desain logo bendera organisasi terlarang atau gerakan separatis.
Menjelang penghujung tahun 2013, Pemerintah Aceh telah berupaya merevisi kedua qanun ini. Qanun Wali Nanggrore misalnya, sudah mendapat perbaikan di beberapa pasal. Anehnya, belum lagi perbaikan itu disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri, pada 16 Desember 2013, DPR Aceh langsung melantik Malik Mahmud Al Haytar, mantan perdana Menteri GAM sebagai Wali Nanggroe. Pelantikan ini erat kaitannya dengan pengalokasian dana yang telah ditetapkan DPR Aceh untuk Wali Nanggoe pada tahun anggaran 2014. Bahkan sebelum Malik Mahmud dilantik sebagai Wali Nanggroe, ia sudah mendapatkan alokasi anggaran operasional di dalam APBA. Aneh tapi nyata, tapi inilah Aceh.
Wajar jika Menteri Dalam Negeri menolak kebijakan itu. Ia beberapa kali mengoreksi penempatan anggaran untuk Wali Nanggroe, baik yang ditetapkan dalam APBA 2013 maupun yang disahkan dalam APBA 2014. Mendagri juga mencoret anggaran untuk Badan Penguatan perdamaian Aceh (BP2A) senilai Rp 80 miliar, karena badan ini belum mendapat pengesahan dari DPR Aceh sebagai bagian dari lembaga Satuan kerja Perangkat Aceh (SKPA). Kehadiran BP2A juga mengundang kontroversi di penghujung tahun karena Pemerintah Aceh terkesan sangat memaksakan agar lembaga ini hadir sebagai salah satu lembaga non struktural di Aceh.
Pemerintah Aceh secara diam-diam sebenarnya sudah menyiapkan rancangan qanun untuk memperkuat keberadaan BP2A ini, namun sampai akhir tahun 2013, belum jua disahkan. Rencananya sebelum April 2014, Rancangan Qanun BP2A ini akan disahkan sebagai qanun. Itu sebabnya untuk anggaran APBA 2014, DPR Aceh dan pemerintah Aceh sudah menetapkan anggaran untuk badan ini. Inilah risiko jika demokrasi dikendalikan oleh satu pihak saja.
Sebagaimana diketahui, Pemerintahan Aceh dan DPR Aceh memang sangat kental di bawah kendali Partai Aceh. Kursi Fraksi Partai Aceh di DPR Aceh lebih dari 50 persen. Kalaupun semua partai lain kompak untuk bergabung, mereka tetap tidak mampu mengalahkan dominasi Fraksi Partai Aceh.
Tak heran jika dalam sebuah sidang, seorang politisi partai nasional pernah mengatakan, Pokoknya apa pun yang dikatakan oleh Partai Aceh, maka itulah yang mesti disahkan DPR Aceh. Kalaupun kami bantah, pasti tidak ada gunanya. Kalau terus berdebat, ujung-ujungnya nanti voting. Kalau voting dilakukan, kami kalah juga.
Kekuatan Partai Aceh di DPR Aceh semakin tidak terkontrol karena Pemerintahan Aceh juga dikendalikan oleh politisi Partai Aceh. Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dan Muzaki Manaf, adalah tokoh penting dalam Partai Aceh. Keduanya merupakan elit GAM yang sangat berpengaruh di partai tersebut.
Jadi bisa dibayangkan betapa kuatnya dominasi Partai Aceh di Aceh, apalagi Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah adalah adik kandung dari Zaini Abdullah. Bagaimana mungkin seorang Hasbi Abdullah bisa secara objektif melakukan pengawasan terhadap kinerja kakaknya di eksekutif.
Ya, inilah Aceh. Sejak kesepakatan damai 15 Agustus 2005 ditandatangani di Helsinki, praktis Aceh memang dalam genggaman para politisi Partai Aceh, partai yang dikendalikan oleh mantan kombatan GAM. Tak heran jika ada anggapan kalau perdamaian itu hanyalah seremoni penyerahan kekuasaan dari Pemerintah Indonesia ke Pemerintahan Aceh yang dikendalikan mantan politisi dan gerilyawan GAM.
Jenis konflik lain yang intensitasnya cukup tinggi di Aceh sepanjang tahun 2013 adalah konflik sumber daya alam. Kasus seperti ini banyak terjadi di wilayah-wilayah yang banyak memiliki perusahaan perkebunan, seperti di Aceh Timur, Aceh Singkil, Nagan Raya dan Aceh Barat. Koalisi NGO HAM dan SNPK mencatat, sepanjang 2013 ada 25 konflik dan kekerasan terkait sumber daya alam yang mencuat ke permukaan. Sebagian besar di antaranya merupakan sengketa lahan.
Protes masyarakat terkait kebijakan pemerintahan dan pelayanan publik juga cukup tinggi. Seperti kasus yang terjadi di Aceh Tenggara pada 16 November 20913, di mana empat tenaga honorer Pemda setempat membakar kantor Badan Kepegawaian Daerah karena kecewa soal kebijakan pemerintah dalam hal pengangkatan tenaga CPNS. Ada pula aksi ratusan massa warga Desa Baroh Musa, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya, yang mengamuk di lahan pembangunan perumahan sejahtera tapak program KPR Kementerian Perumahan Rakyat, karena kecewa soal pembangunan rumah untuk keluarga miskin yang tidak dilengkapi surat-surat.
Yang menarik, konflik rebutan proyek juga banyak terjadi di Aceh. Seorang ajudan bupati di Aceh Barat Daya, 31 Oktober lalu, sempat diculik sekelompok pemuda yang diketahui merupakan anggota KPA setempat, karena kecewa soal pembagian jatah proyek. Ajudan tersebut kemudian berhasil melarikan diri dan mengadukan kasus penculikan itu ke polisi. Namun penanganan kasusnya belum jelas sampai sekarang.
Kasus terbaru terkait protes massa soal kebijakan pemerintah Aceh, terjadi di Kantor Gubernur pada 27 Desember lalu. Ketika itu, sekitar seribuan massa melakukan aksi demo dan pengrusakan terhadap sejumlah kaca dan ruangan di kantor tersebut. Kemarahan massa dipicu kekecewaan mereka karena Pemerintah Aceh tidak merespon proposal bantuan ekonomi sebesar Rp 500 ribu per proposal, sebagaimana dijanjikan pemerintah Aceh sebelumnya.
Mereka juga menuntut janji Gubernur Aceh Zaini Abdullah yang pernah menjanjikan bantuan ekonomi kepada masyarakat miskin di Aceh saat Pemilu 2012. Akibat aksi demo itu, enam orang ditahan. Polisi sempat melakukan tembakan peringatan ke udara untuk menenangkan massa yang mengamuk tak terkendali.
Di Desa Lhok Cut, Kecamatan Sawang, Aceh Utara, 26 Agustus 2013 terjadi kasus cukup mengejutkan, yakni aksi sekelompok massa yang membakar jebatan gantung, karena kecewa sebab jembatan itu tak kunjung direhab oleh Pemerintah setempat. Jembatan itu sudah lebih setahun mengalami kerusakan parah, sementara masyarakat sangat membutuhkan jasanya.
Mirip kasus Aceh Utara ini, di Desa Alue Seulaseh, Kecamatan Jeumpa, 6 Juli 2013, terjadi aksi pengrusakan pipa saluran induk air minum, karena pasokan air minum terhenti selama beberapa minggu.
Kasus-kasus perlawanan massa terhadap tata kelola pemerintahan ini menunjukan kalau masyarakat sudah cukup sadar tentang hak-hak ekonnomi, sosial dan budaya (Ekosob) mereka yang seharusnya disediakan pemerintahan. Itu sebabnya masalah pelayanan publik juga menjadi isu penting sepanjang tahun 2013 di Aceh. Setidaknya Koalisi NGO HAM dan SNPK mencatat jumlah kassus kekerasan dan konflik memprotes kebijakan dan tata kelola pemerintah di Aceh sepanjang 2013 mencapai 38 kasus. Terbanyak terjadi di Banda Aceh ( 5 kasus), disusul Aceh Utara (3 kasus) dan Pidie 2 kasus.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi persoalan pelik yang kerap terjadi di Aceh. tahun lalu, data yang tercatat menyebutkan ada 27 kasus KDRT yang mencuat dalam pemberitaan media. Namun pada kenyataannya, dipastikan angka itu jauh lebih besar mengingat banyak sekali kasus KDRT yang tidak muncul ke permukaan.
Namun dari semua yang dipantau oleh Koalisi NGO HAM Aceh, yang terbanyak adalah peristiwa kekerasan main hakim sendiri. Setidaknya ada 102 kasus kekerasan yang dikategorikan tindakan main hakim sendiri (vigilante). Sebagian besar kasus vigilante ini terkait dengan pelanggaran syariat Islam, seperti kasus khalwat, zina dan lainnya. Sebagian lagi terkait dengan kriminal.
Ada pula kasus main hakim sendiri oleh massa yang melawan kebijakan aparatur negara, seperti penganiyaan empat anggota Polres Aceh Utara oleh sekelompok pemuda Desa Ulee Matang, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara 1 November 2013. Pasalnya, pemuda setempat kecewa karena keempat polisi itu menangkap teman mereka yang dituduh menggunakan narkoba. Sedangkan untuk kasus main hakim sendiri yang terkait politik, di antaranya karena aksi penurunan bendera salah satu partai lokal. Tindaka itu menyulut kemarahan dari massa pendukung partai tersebut, sehingga terjadi aksi pengeroyokan yang membuat pelaku babak belur.
Dari 102 kasus main hakim sendiri yang terdata sepanjang 2013, kasus paling banyak terjadi di Aceh Utara 23 kasus, disusul Aceh Timur, 16 kasus, Aceh Besar 15 kasus, Bireuen serta dan Banda Aceh masing-masing 12 kasus.
Potensi kekerasan 2014
Dengan membaca fenomena kekerasan dan konflik yang terjadi sepanjang tahun 2013, bisa disimpulkan bahwa potensi konflik dan kekerasan di Aceh pada tahun 2014 akan tetap tinggi. Apalagi pada tahun ini berlangsung Pemilu legislatif yang diikuti tiga partai lokal di Aceh. persaingan pasti berlangsung sengit, terutama dua partai lokal yang sejak awal sudah terlihat saling sikut, yaitu Partai Aceh (PA) dan partai Nasional Aceh (PNA).
Lagi pula sudah jamak di Aceh, setiap penyelenggaraan Pemilu dan pemilukada, selalu saja disertai munculnya sejumlah kasus kekerasan. Beberapa di antaranya bisa dikategorikan kekerasan yang cukup mencemaskan karena memakan korban tewas. Pada Pemilu Legislatif 2009 misalnya, tercatat 13 orang tewas ditembak yang sebagian di antara mereka merupakan pendukung salah satu partai lokal.
Sedangkan pada Pemilukada Aceh 2012 lalu, para aktivits LSM Aceh setidaknya menemukan 108 kasus kekerasan cukup berat. Bahan ada aksi teror yang memakan korban sembilan orang warga pendatang, di mana pelakunya terbukti merupakan pentolan salah satu partai lokal. Dengan fakta dan data ini, maka wajar jika Polri jauh-jauh hari sudah memberi sinyal tentang tingginya eskalasi konflik kekerasan pada Pemilu 2014 di Aceh.
Persaingan Partai Aceh dan Partai Nasional Aceh pantas mendapat sorotan publik, karena konflik Pemilu yang terjadi sepanjang tahun 2013 umumnya melibatkan persaingan kedua partai lokal ini. Kalaupun petinggi kedua partai ini mengaku sudah melakukan konsolidasi untuk meredam konflik di antara mereka, namun konsolidasi yang dimaksud tidak tersosialisasi hingga ke akar rumput. Di tingkat masyarakat, aroma persaingan masih sangat kuat.
Indikasi persaingan tidak sehat itu bisa dilihat saat berlangsungnya Pemilukada Pidie Jaya pada Oktober lalu. Massa dari Partai Aceh dan Partai Nasional Aceh yang mendukung kandidat berbeda, beberapa kali terlibat aksi kekerasan. Salah satu pihak bahkan sempat membakar dua kantor camat di wilayah itu, karena merasa dirugikan dengan kebijakan aparat setempat. Perseteruan dua pendukung partai lokal ini kemungkinan berlanjut pada Pemilu Legislatif 2014 nanti.
Selain isu Pemilu yang pasti panas, konflik yang dipicu polemik Qanun Wali Nanggroe dan Qanun Bendera dipastikan belum mereda. Meski Malik Mahmud telah dilantik sebagai wali nanggroe, aroma penolakan tetap menguat di berbagai daerah.
Sampai panghujung tahun 2013, aksi pembakaran terhadap bendera GAM — yang telah diputuskan DPR Aceh dan pemerintah Aceh sebagai bendera Aceh — terus marak di beberapa daerah. Sosialisai kedua qanun ini tidak berjalan mulus, karena adanya aksi penolakan yang bercampur pula dengan ancaman dari kelompok yang anti dengan Wali Nanggroe dan bendera GAM.
Bukan tidak mungkin konflik bendera dan wali Nanggroe serta konflik-konflik lainnya terkait kekecewaan rakyat terhadap Pemerintah Aceh, menjadi mainan para lawan politik penguasa di Aceh dalam kampanye nanti. Jika ini yang terjadi, maka akumulasi konflik 2013 berpotensi menuai klimaks pada tahun 2014. ***
[1] Dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Sigli, Senin 23 Desember 2013, majelis Hakim akhirnya memvonis sembilan tahun penjara untuk Munir alias Aneuk Saboh dan sebelas tahun terhadap Khairul Anshari alias Adnan.
Amar putusan itu dibacakan majelis hakim yang sama dalam sidang terpisah, diketuai Nurmiati, didampingi dua hakim anggota, M Yusuf dan Anisa Sitawati. Sebelumnya, jaksa penuntut umum, menuntut Munir 13 tahun penjara, sedangkan Khairul Anshari 15 tahun. Majelis hakim menjerat para pelaku dengan pasal berlapis, yakni Pasal 338 dan 340 KUHP ditambah dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1959 tentang kepemilikan senjata api dan bahan peledak dengan hukuman sebelas tahun. Sedangkan terhadap Munir, majelis hakim berkesimpulan bahwa ia telah terbukti secara sah merencanakan pembunuhan terhadap Cekgu. Munir dibidik dengan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP karena bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum. Munir juga dibidik dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa dan diganjar dengan hukuman sembilan tahun penjara.
[2] Para calon anggota legislatif (caleg) Partai Nasional Aceh (PNA) yang mengaku kerap terintimidasi di Aceh, secara resmi telah meminta polisi mengusut tuntas sejumlah kasus pengancaman terhadap caleg mereka. Darwati A Gani, Caleg PNA untuk DPRA, yang merupakan istri dari Irwandi Yusuf, mengemukakan ini kepada wartawan dalam konferensi pers yang diadakannya di Banda Aceh, Jumat (26/4/2013). Selain Darwati, juga hadir para caleg PNA untuk DPRA dari daerah pemilihan lainnya, serta caleg DPRK Banda Aceh dan Aceh Besar. Darwati mengatakan cukup banyak caleg perempuan dari PNA di berbagai daerah yang diminta mundur oleh peneror. Jika tidak, maka para caleg itu diancam tembak. Akibat teror tersebut, sudah ada beberapa caleg PNA yang mundur. Ketua Umum PNA, Irwansyah, dalam konferensi pers di Kantor DPP PNA di Banda Aceh, Kamis 25/4/2013 menyebutkan di Aceh Besar saja ada lima calon PNA yang mundur, Pidie Jaya ada dua, Aceh Timur juga ada yang mundur karena ancaman akan ditembak. Serambi 28 April 2013
[3]Komnas HAM meminta agar pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh menyerap aspirasi seluruh pemerintah kabupaten/kota di Aceh.
[4] Syamsuddin, wakil Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) yang merupakan salah satu anggota tim sosialisasi Qanun Wali Nanggroe mengaku kalau mereka tidak bisa melakukan sosialisasi soal qanun tersebut di sejumlah daerah. Tim sosialisasi yang dipimpinnya mendapat penolakan, antara lain di Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Aceh Barat. Kalau di Aceh Tengah dan Aceh Tenggara, mereka dipaksa menghentikan kegiatan sosialisasi oleh sekelompok massa yang menolak qaun wali nanggroe. Yang lebih ekstri justru di Aceh Barat, karena tim sosialisasi itu diancam dan dipaksa untuk segera meninggalkan Aceh Barat.
Sumber : http://ahmadymeuraxa.blogspot.com/