Pembedaan pemberlakuan HAJ bagi non-muslim hanya akan melahirkan masalah baru. Akan timbul ketidakpastian hukum bagi non-muslim yang melanggar HAJ, khususnya terhadap delik-delik pidana yang tidak diatur secara khusus dalam KUHP, seperti masalah khalwat, judi, minuman keras, dan lain-lain. Secara alami, tidak ada orang yang senang dijatuhi tindak pidana. Dengan adanya diskriminasi hukum ini, secara tidak langsung memberikan keleluasaan bagi non-muslim untuk lari dari jeratan HAJ.
Pengaruh Diskriminasi Hukum Pada Jaman Kolonial
Pengistimewaan pemberlakuan hukum ini, bisa dipahami sebagai akibat dari indoktrinasi penggolongan hukum, yang pernah diterapkan pada masa kolonial. Dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS), Belanda mengatur pembagian golongan masyarakat Indonesia dihadapan hukum. Golongan tersebut dibagi menjadi tiga golongan yaitu Golongan Eropa, Golongan Timur Asing (non-Eropa dan Bumiputera), dan Golongan Indonesia (Bumiputera). Masing-masing golongan tersebut mendapatkan perlakuan hukum yang berbeda. Tanpa tersadari, saat ini pola pikir (mind set) pembuat aturan juga tergiring untuk mengikuti sistem penggolongan hukum tersebut.
Sebagai hukum yang mandiri, HAJ harus berani keluar dari indoktrinasi hukum kolonial. HAJ harus berani diterapkan terhadap semua golongan, karena disitulah terlihat supremasinya. Hukum bukan untuk dipilah dan dipilih, tetapi untuk diterapkan dengan pemaksaan kekuatan negara (law enforcement).
Contoh Penerapan Syariat Islam di Dubai
Ada contoh menarik tentang pemberlakuan syariat Islam di kota Dubai, Uni Emirat Arab. Kota ini telah menerapkan pemberlakuan syariat Islam, sebagai bagian dari hukum negara, terhadap semua golongan. Sebuah kasus tercatat, seorang turis non-muslim Australia bernama Alicia Gali tertangkap dan terbukti melakukan khalwat dalam keadaan mabuk di Starwood Hotel. Dalam proses persidangan, hakim tidak bisa menjatuhkan had zina kepadanya karena tidak ada empat orang saksi yang adil, akan tetapi hakim menjatuhkan hukuman tazir berupa hukuman 8 bulan penjara. Setelah kasus diputuskan, dunia internasional bereaksi dan mengecam putusan ini, akan tetapi, Dubai dengan kedaulatan hukumnya, dengan santai menjawab, bahwa Alicia Gali telah melanggar hukum di wilayah kami, dan kami berharap agar dunia internasional bisa menghormati kedaulatan hukum negara-negara lain. Kasus-kasus serupa seperti Alicia Gali hampir banyak mewarnai surat kabar internasional. Meskipun demikian, sampai saat ini Dubai masih menerapkan hukuman tersebut.
Dari kasus tersebut, terlihat bahwa syariat Islam bisa diterapkan walaupun kepada non muslim sekalipun. Logika hukum yang terlihat disini bahwa ketika suatu hukum diterapkan di suatu teritorial tertentu, maka hukum itu akan mengikat siapa saja yang melanggar hukum di wilayah itu. Hal ini dalam istilah hukum lebih dikenal dengan istilah law abiding citizen (hukum mengikat para warga). Dalam konteks ini, hukum tidak dipandang sebagai hukum untuk sebagian golongan, tetapi hukum untuk siapa saja yang telah masuk ke dalam wilayah tersebut, atau dalam hukum lebih dikenal dengan asas teritorial.
Prinsip Equality Before the Law
Prinsip persamaan di hadapan hukum (Equality Before the Law) yang termaktub dalam Deklarasi HAM PBB, menegaskan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama dihadapan hukum. Dalam prinsip ini, hukum dan hakim harus memperlakukan semua orang sama dihadapan hukum. Hukum dan hakim tidak boleh memberikan perlakuan (treatment) berbeda hanya karena memandang latar belakang ras, jenis kelamin, kebangsaan, warna kulit, kesukuan, agama, cacat, atau hal-hal lainnya yang bertujuan untuk membedakan antara satu dengan yang lain. Pemberlakuan prinsip Equality Before the Law sudah diterapkan oleh negara-negara Eropa dan Negara maju lainnya.
Dengan adanya prinsip ini terlihat bahwa, proses persamaan dihadapan hukum tidak dihambat sejak dari proses pembentukan hukumnya, seperti pada pembentukan Raqan HAJ.
Ketika suatu qanun dibentuk, Pemerintah Aceh harus sudah siap menghadapi berbagai tekanan dari media dalam dan luar negeri, atau dari masyarakat pada umumnya. Kesiapan ini dapat berupa argumen sanggahan, ataupun argumen-argumen hukum lainnya. Sehingga tidak terkesan bahwa Pemerintah Aceh seperti di kendalikan oleh media atau opini publik.
Diskriminasi dan penggolongan pemberlakuan HAJ, secara tidak langsung, telah merendahkan marwah dan martabat HAJ itu sendiri. HAJ sebagai hukum Islam, harus belajar untuk berdiri sendiri dengan corak, kekhasan, dan otonominya sendiri. HAJ pada dasarnya harus bisa mengisi kekosongan nilai-nilai hukum dan moral yang ditinggalkan KUHP selama ini. Bukan malah menempatkan diri diposisi terendah dibawah KUHP warisan kolonial.
Di akhir kata, penulis kembali menekankan bahwa ketika Syariat Islam sudah diformalkan (baca: diundangkan) maka secara otomatis ia menjadi hukum positif pada suatu wilayah. Ketika itu berlaku, Syariat Islam tidak bisa dikatakan sebagai hukum hanya bagi penduduk muslim, akan tetapi, Syariat Islam (baca: peraturan) bagi non-muslim juga. Wasalam.