Jujur saja, saya sangat tersinggung sekali dengan hal ini. Masalahnya bukan kepada rumit atau tidaknya, tetapi apakah saya tidak diperkenankan untuk mengerti apa yang orang Aceh sedang bicarakan dalam tulisan yang saya sedang baca?! Sebegitu arogannyakah orang Aceh?!
Lalu kemudian ada seorang kawan yang menjawab karena memang tidak pernah belajar tata bahasa Aceh meski sehari-hari menggunakannya. Bahkan ada banyak kata yang baru diketahuinya akhir-akhir ini. Dia memberi contoh kalimat Ureung Aceh ka jitipe yang sekilas mirip dengan Ureng Aceh ka jipeungeut. Di dalam bahasa Indonesia, artinya Orang Aceh sudah ditipu, tetapi tipu yang seperti apa dulu?! Jipeungeut dan Jitipe beda sekali artinya, begitu penjelasan kawan saya.
Begitu juga dengan arti dalam bahasa Indonesia, ke mana, ke atas, turun ke bawah, keluar? Ke mana? Kalau dalam Bahasa Aceh ada ek u ateuh, tron u yub, teubit u lua Saya sendiri bingung dengan tata cara menulisnya yang benar. Saya terus terang tidak tahu. Hanya sedikit sekali ahlinya, tambahnya kemudian.
Saya jadi teringat dengan kelakar seorang kawan yang pernah tinggal di Aceh, dia bilang, tidak sulit untuk mempelajari bahasa Aceh. Cukup dengan kombinasi huruf vocal a, i, u, e, o saja, pasti sudah bisa berkomunikasi. Entah benar atau tidak, saya tetap tidak tahu karena ini pun tidak ada yang menjawabnya dengan sungguh-sungguh.
Mendapat penjelasan demikian, saya lalu menjadi bersedih hati. Sungguh sangat menyedihkan bagi saya pribadi, bila mengetahui bahasa yang tidak dikenal dan dipahami dengan baik oleh mereka yang memilikinya. Sama seperti Bahasa Indonesia juga, tidak dikenal dan dipahami dengan baik, sehingga banyak yang kemudian menjadi tidak bangga dengan bahasanya sendiri. Berteriak soal kebanggaaan dan nasionalisme atas Bahasa Persatuan tetapi hanya sekedar berteriak saja. Di dalam implementasinya, sama sekali tidak sesuai dengan apa yang diucapkan. Bagaimana mau ada perubahan?!
Kata adalah kelompok terkecil dari sebuah bahasa yang bila dirangkaikan menjadi sebuah kalimat. Setiap kata memiliki arti dan makna tersendiri, begitu juga bila dirangkaikan menjadi sebuah kalimat. Belum tentu kata yang sama dalam satu kalimat memiliki arti dan makna yang sama. Kata memang sangat ambigu dan sangat tergantung kepada persepsi dan interpretasi masing-masing yang membacanya. Begitu juga di dalam berhahasa, karena bahasa itu sendiri terbentuk dari pola pikir, cara pandang, serta situasi dan kondisi kelompok masyarakat yang membuatnya.
Struktur di dalam pola pikir dan cara pandang inilah yang dibuat untuk berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya., sehingga bila kata dan bahasa tidak juga dipahami dan dimengerti dengan baik, maka hanya sekedar sarana komunikasi saja. Tanpa disadari telah memiliki pola pikir, cara pandang yang terstruktur dari situasi dan kondisi yang ada. Sama sekali tidak memiliki landasan yang kuat untuk bertahan dan mempertahankan diri dari pengaruh yang lainnya. Menjadi sangat tergantung kepada situasi dan kondisi. Tak heran bila kemudian menjadi lemah, karena politik permainan bahasa itu sudah bukan barang baru lagi digunakan sebagai sarana untuk melemahkan.
Salah satu bentuk pembodohan dan perpecahan yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan permainan politik bahasa. Mungkin masih terdengar janggal, tetapi sangat kelihatan sekali bahwa permainan ini sangat menjerumuskan. Yang paling mudah adalah ketika janji-janji lewat kata dan bahasa dijual saat pemilihan umum berlangsung. Berapa banyak yang terjerumus dan lalu baru menyadarinya pada saat sadar semua janji itu adalah palsu?! Sebegitu mudahnyakah dipermainkan oleh kata dan bahasa?!
Dalam konteks bahasa daerah, bukan hanya Aceh saja yang mengalaminya. Bisa dikatakan seluruh wilayah Indonesia mengalami hal yang sama. Akibatnya yang paling fatal adalah ketidakmampuan untuk membedakan jenis kata dan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Etika di dalam berbahasa pun diabaikan sehingga bahasa kemudian menjadi disamaratakan. Bahasa pergaulan, bahasa sehari-hari, bahasa untuk bekerja, bahasa pemerintah, bahasa Negara, disamaratakan begitu saja. Begitu juga bahasa dalam konteks sosial dan budaya. Jika memang demikian, apakah pantas mengaku sebagai seseorang yang memiliki etika?!
Untuk selanjutnya, bila tidak memiliki etika, lantas bagaimana mau melakukan perubahan?! Bagaimana untuk melawan permainan politik bahasa saja tidak mampu?! Tidak bisa memiliki landasan dasar yang kuat untuk berjuang dan melawan, mana mungkin bisa memili kekuatan?! Tidak usah bicara soal teritori di mana sekarang ini sulit sekali membedakan perjuangan atas nama teritori, bahasa saja tidak bisa membedakannya. Mana yang untuk pribadi, kelompok, bangsa, dan Negara pun tak bisa membedakanya, dan akhirnya karena manusia cenderung mementingkan pribadi dan kelompoknya, jadilah selalu dikuasai oleh pribadi dan kelompok. Untuk apa kalau begitu berteriak, memaki, menghujat, dan menghakimi?!
Lihat saja contoh kasus yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia sekarang ini. Sama-sama tidak paham bagaimana menggunakan bahasa yang baik dan benar sehingga sama-sama tidak tahu latar belakang dan akar permasalahan yang ada. Tidak tahu juga bagaimana menyelesaikannya dengan baik. Malah justru sepertinya dijadikan permainan menggunakan permainan politik bahasa untuk mengalihkan berbagai isu yang terjadi. Apakah ini harus terus berlanjut?!
Kembali lagi ke soal bahasa Aceh yang memang rumit. Ini bukan masalah rumit atau tidaknya, tetapi masalah keinginan untuk mempelajarinya dengan baik dan benar. Serumit apapun bila ada keinginan yang kuat pasti bisa dipelajari. Alangkah baiknya bila semua mau mengerti betapa kata dan bahasa itu sangatlah penting bagi kehidupan kini dan juga masa mendatang. Bila memang ingin kehidupan ini menjadi lebih baik, jadikanlah kata dan bahasa itu sebagai landasan yang kuat di dalam bercara pandang dan berpola pikir.