Negosiasi Tilang : Bayar atau Pengadilan?

0
450

Trend bayar ditempat dan atau gertakan untuk bayar ditempat, tanpa ada proses acara berperadilan, namun cukup bernegosiasi dibawah pohon, telah menjadikan sang polisi juga berperan sebagai sang hakim. Yaitu yang berhak memutuskan salah tidaknya seseorang dalam berkendaraan di jalan.

Sementara, di dalam UU No.22 tahun 2009 Pasal 267 tentang Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dinyatakan bahwa, ayat (1) Setiap pelanggaran dibidang lalu lintas dan angkutan jalan yang diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat dapat dikenai pidana denda berdasarkan penetapan pengadilan

Dalam aturan tersebut, sangat jelas dinyatakan bahwa penetapan yang dikenai ancaman pidana denda harus ditetapkan melalui proses pengadilan, bukan jalanan. Lalu kenapa hal ini terjadi?

Moralitas dan Kesadaran Hukum

Barangkali persoalan moralitas dan kesadaran terhadap hukum, baik oleh oknum petugas, maupun masyarakat masih terlalu rendah. Hal ini seringkali menimbulkan tawar-menawar terhadap ketentuan undang-undang, apalagi ketika tawar menawar itu menguntungkan secara materi, meskipun dengan harga damai tapi sangat menjanjikan.

Menjanjikan karena menurut kabar uang tersebut, tidak disetorkan ke kas Negara yang berbeda dengan denda yang dibayar dipengadilan, dimana uang denda tersebut masuk ke kas Negara. Lalu kemana? tanyakan pada rumput yang bergoyang, kata Ebiet G.Ade.

Sementara bagi sipelanggar, tawaran bayar ditempat juga dianggap sebagai solusi untuk efesiensi dan efektifitas dari pada harus berurusan dengan pengadilan, yang membutuhkan waktu dan proses yang panjang, apalagi jika kendaraannya kemudian ditahan. Aliran simbiosis muatualisme inilah yang kemudian aturan hukum dapat dibeli, terlebih ada penjual. Seperti kata Iwan Fals dalam potongan lirik lagunya: tawar menawar, harga pas, langsung tancap gas.

Tegakkan Wibawa Polisi

Imej dari praktek tersebut, secara langsung telah meruntuhkan kewibawaan hukum dan penegak hukum. Padahal peran polisi sebagai penegak hukum haruslah menjadi frontline (garda terdepan) untuk mewujudkan ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat.

Peran Polantas (polisi lalu lintas) juga tidak saja menertibkan administrasi berkendaraan dengan pemeriksaan surat menyurat berkendaraan, namun juga lebih dari itu, yaitu menegakkan ketertiban berlalu lintas. Baik berupa menetralisir kemacetan, maupun memberikan kenyamanan bagi penguna jalan. Karena harus diakui bahwa tidak semua pengguna jalan berprilaku baik dan mengenderai sesuai aturan.

Bagi oknum polisi yang bermental ceperan, ini menjadi peluang untuk melakukan tawar menawar dengan sipengendara, baik yang tidak mampu menunjukkan administrasi berkendaraan atau yang melanggar rambu-rambu lalu lintas.

Dalam kondisi demikian, diperlukan upaya secara totalitas untuk mewujudkan kredibilitas polisi sebagai penegak hukum dalam mewujudkan kewibawaannya dimata hukum dan masyarakat, diantaranya: Pertama, perlunya sosialisasi undang-undang mengenai lalu lintas secara terus menerus, agar masyarakat semakin paham dan tahu mengenai kewajiban dan larangan dalam berkendaraan di jalan raya. Upaya sosialisasi harus melibatkan dan bekerjasama dengan semua pihak, baik sekolah, perkantoran pemerintah, maupun pihak Gampong yang merupakan basis penduduk yang menjadi penguna jalan raya.

Kedua, institusi kepolisian harus menindak tegas terhadap anggotanya yang terbukti melakukan tindakan diluar procedural undang-undang terhadap pengendara lalu lintas. Masyarakat juga harus diberi ruang, untuk melakukan komplein secara hukum, jika diperlakukan diluar procedural oleh penegak hukum tersebut.

Ketiga, budayakan prilaku lebik bijak untuk mengikuti proses penilangan sesuai ketentuan UU dari pada memberi uang damai kepada oknum polisi. Karena nyakinlah, pemberian uang damai secara tidak langsung meruntuhkan martabat polisi dimata masyarakat, apalagi uang tersebut diserahkan secara tidak resmi (sembunyi-sembunyi). Kemudian, ketika prilaku ini terus dibiasakan, maka tidak menimbulkan efek jera bagi pegendara kendaraan,karena menganggap kesalahan dapat dibeli dengan sejumlah uang.

Keempat, ciptakan sistem birokrasi yang mudah bagi pelanggar. Banyak orang yang melanggar lalu lintas, karena tidak mengerti mengenai ketentuan pidana terhadap pelanggaran lalu lintas, ada pelanggaran yang berupa administrasi (denda) dan ada juga yang harus dipidanakan (kasus kendaraan hasil pencurian), dsb. Namun jika praktek uang damai terus dilakukan terhadap tindakan pelanggaran tersebut, maka akan sulit mewujudkan tertib lalu lintas yang baik, malah sebaliknya akan melahirkan praktek korupsi dijalanan oleh para oknum petugas polisi. Maka, kata tilang sajaakan lebih baik, daripada tawar menawar, harga pas dan langsung tancap gas seperti kata Iwan Fals. Karena harga pengadilanpun akan lebih murah dari pada harga jalanan. Barangkali!.

Opini Ini Pernah di Muat di Harian Serambi Indonesia

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.