0
174

Pada zaman perang Belanda, istilah pungo dikenal dengan kata moorden (bahasa Belanda). Sebutan tersebut dipopulerkan oleh R.A. Kern, salah seorang penulis berkebangsaan Belanda. Menurut mereka perjuangan rakyat Aceh yang rela dan bangga untuk mati dalam membunuh para serdadu Belanda sebagai sebuah kegilaan(madness). Mereka tidak dapat membayangkan tentang madness-nya orang Aceh yang ingin membunuh Belanda dengan cara apapun dan dimanapun Belanda itu ditemui, meskipun sebenarnya resikonya akan mati ditembak para serdadu Belanda yang mempunyai persenjataan yang lebih cangkih pada saat itu. Namun dalam kenyakinan orang Aceh, membunuh para penjajah Belanda merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan, dan sesuatu yang dicita-citakan; apakah ia adalah seorang laki-laki ataupun perempuan, bahkan anak-anak sekalipun. Mereka semua merasa senang jika dapat membunuh para serdadu Belanda saat itu. Hal inilah yang membuat Belanda kemudian menganggap orang Aceh itu moorden.

Setelah Belanda meninggalkan nusantara dan kalah perang dengan tentara Nippon Jepang, kegilaan di Aceh masih terus terjadi. Namun motivasi pungo itu yang berbeda. Jika pada zaman tempoe doeloe rakyat Aceh dianggap pungo karena berjuang membela agama dengan berbagai cara. Maka prilaku pungo setelah penjajahan Belanda dan Jepang, lebih banyak didasari oleh kenyakinan yang memberhalakan Negara (sate).

Prilaku madness setelah kemerdekaan, sebaliknya dipraktekkan oleh para serdadu Negara terhadap rakyat Aceh, ketika terjadi gugatan terhadap janji Soekarno kepada rakyat Aceh yang telah diingkari tersebut, lahirnya perang DI/TII. Menindaklajuti deklarasi DI/TII itu, ribuan tentara dikirim ke Aceh, dan ratusan rakyat Aceh tak bersalah di Pulot Tjoet Jumpa, Aceh Besar dibantai oleh para penyembah berhala tanpa alasan. Kebanyakan yang menjadi korban kegilaan itu adalah rakyat yang tak berdosa; kaum tua, wanita dan anak-anak.

Pada tahun 1976 ketika dideklarasi successor state di Gunung Halimon, Pidie.Madness behavior [prilaku gila] kembali dipraktekkan. Melebihi prilaku Aceh Moordenyang pernah dialami oleh Marsose Belanda. Karena pejuang Aceh tidak pernah membunuh anak-anak belanda, tidak pernah memperkosa wanita-wanita Belanda, ataupun membakar orang hidup-hidup.

Sebaliknya, prilaku moorden pada saat operasi jaring merah telah menjadikan Aceh, seperti dalam film holocaust. Tidak hanya orang dewasa yang menjadi korban, tapi juga wanita hamil dan anak-anak yang masih balita, bahkan janin yang belum lahirpun menjadi korban keganasan kegilaan itu (baca: Aceh Bersimbah Darah).

Prilaku dan praktek pungo (medness behavior) yang terjadi secara tertutup selama hampir tiga puluh tahun di Aceh, terutama di kamp Rumoh Geudong, hampir serupa dengan apa yang dilakukan oleh serdadu Amerika terhadap muslim di di Kamp X-ray dan Delta Guantanamo Bay, dimana para tahanan mengalami kekerasan dan perilaku tidak manusiawi yang bertubi-tubi mengakibatkan beberapa tahanan harus pingsan dan bahkan meninggal. Penganiayaan dan pelecehan seksual terhadap tahanan muslim di Penjara Guantanamo mendapat perlakuan sangat tidak manusiawi oleh serdadu Amerika, bahkan terhadap salah satu Kapten James Yee, yang telah memeluk Islam, juga tak luput dari siksaan karena kegilaan itu.

Prilaku pungo itu terus terjadi di tanah Aceh hingga melebih seperampat abad lamanya, hingga tanah ini benar-benar merah dengan tumpahan darah, baik dalam operasi jaring merah, darurat militer, pembantaian cuak, dan operasi-operasi lainnya Hingga pada akhirnya, mengutip kata Ebit G.Ade, bahwa mungkin alam telah bosan dengan kegilaan itu, dan kemudian menghapuskan semua darah yang telah memerah di tanah Serambi Mekkah ini dengan gelombang Tsunami. Ribuan para penumpah darahpun akhirnya hilang disapu sang gelombang. Alam menunjukkan kegilaannya melebihi kegilaan manusia. Namun dibalik itu, sebenarnya alam ingin memberikan pelajaran bahwa semua manusia akan kembali kepada Tuhan, dan negara ini hanyalah sebagai tempat untuk hidup berdamai, mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, bukan untuk saling membunuh satu sama lain.

Namun sayangnya, hanya sedikit manusia yang dapat mengambil pelajaran dan semua fenomena alam itu. Sehingga prilaku pungo itupun terus terjadi kapanpun dan dimanapun mereka berada. Seperti ditulis oleh Taufil Al-Mubarak dalam bukunya AcehPungo (2009) bahwa prilaku-prilaku pungo, menjadi sesuatu yang sering dilakukan oleh para penguasa negeri dengan berbagai tingkah lakunya yang tidak rasional, tidak masuk akal dan praktek-praktek kotor (uncivilization) terhadap negeri dan rakyatnya sendiri dan untuk mencapai kepuasan diri dan politiknya.

Beberapa waktu yang lalu, seorang sahabat dengan spontan mengeluarkan kata pungo. Kata-kata itu keluar setelah ia membaca sebuah surat kabar yang berjudul: Perampok beraksi di bulan Ramadhan, 60 mayam emas ludes. Suatu hal yang tidak pernah ia pahami, dan juga tak masuk akal. Ketika saat syaitan diikat pada bulan suci ini, namun sebaliknya, manusia yang telah menjadi syaitan untuk terus berbuat kejahatan terus terjadi. Sehingga, kisah prilaku moorden dinegari ini ibarat sebuah sinetron, dari satu episode ke episode berikutnya, dari satu bentuk ke bentuk yang lainnya, baik secara resmi maupun tidak resmi, secara terorganisir maupun secara personal, seakan tidak pernah habis-habisnya. Wallahi a’lam bisshawab.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.