Pertarungan tersebut berlangsung dengan sangat hebat, arenanya meliputi semua lapangan kehidupan; di rumah, di jalan, di tempat hiburan dan sekolah, di bis dan kendaraan umum lainnya, dalam majalah dan surat kabar, dalam ceramah-ceramah dan buku-buku, di pedesaan dan di perkotaan. Pemeran dan pelakunya adalah para generasi muda, putra-putri, orangtua, para pengajar dan pelajar, para pengarang dan pemikir, pria dan wanita bahkan semua manusia ikut terlibat dengan kemelut ini.
Sebenarnya, fenomena pertarungan budaya ini semakin tragis dan parah semenjak dunia Islam terlena dan lelap dalam tidur selama tidur panjang mereka yang lebih kurang dua abad. Dan yang paling dahsyat yaitu sejak kejatuhan negeri-negeri Islam ke tangan kaum imperialis Barat. Hal itu sebagai efek kejumudan (stagnasi) umat dalam bidang mental, spiritual, cita rasa, pemikiran dan kreasi. Kebekuan yang telah mengubah karya dan upaya generasi sebelumnya menjadi monumen mati tanpa ruh dan lebih suka menirukan dan menelan budaya asing, tanpa berdaya membuat terobosan dan gebrakan baru sebagai alternatife dengan mentransformasi nilai-nilai Islam (Values of Islam) bagi dinamika perubahan di tengah-tengah kekacauan nilai di zaman seperti ini.
Pada gilirannya, umat Islam khususnya generasi mudanya terlanjur sulit melepaskan diri dari seni budaya materialistis sekuler Barat karena telah merasuk ke dalam dirinya. Tidak mengherankan lagi bila mereka tergila-gila dan menggandrungi para seniman Barat, begitu ngefans dan mengidolakan berbagai group band dan musik serta personilnya seperti, Madonna, Mick Jagger, Jason Donovan, Bon Jovi, Rod Stewart, Michael Jackson, Tommy Page, juga seniman-seniman dalam negeri/daerah yang tidak berbudaya Islami serta masih banyak idola-idola lainnya baik di bidang film, musik maupun seni lainnya.
Mereka tidak sempat lagi berpikir lebih jauh tentang idola-idola mereka tersebut yang faktanya kehidupan mereka jauh dari nilai-nilai Islam. Mereka telah menjadi lebih lekat di benak kawula muda Islam lengkap dengan ulah dan lika liku hidupnya. Bahkan sudah lebih lekat dari pada nama-nama para Nabi dan Rasul, para pemikir dan ulama Islam serta budayawan dan seniman muslim masa kini dan yang lampau. Mereka lebih hafal dan fasih dengan lagu-lagu dan film-film asing yang urakan ketimbang membaca surat Al-Fatihah. Sungguh memalukan dan memprihatinkan bila kondisi generasi kita telah terjangkit kronis penyakit demam asing asal trendi, gandrung dengan produk seni budaya yang asing dari nilai-nilai Islam dan budaya kesopanan Timur sebagai korban dari Ghazwul Fikri sebagai suatu upaya bertahap pemurtadan umat Islam dan pengasingan nilai-nilai Islami.
Ironi Seni Aceh
Tradisi seni budaya kita sebagai orang Aceh juga banyak yang telah terkontaminasi oleh seni budaya Barat yang materialis dan liberalis. Akibatnya, kita terjebak dengan tradisi dan budaya polesan yang mungkin karena pertimbangan komersial, faktor keawaman ataupun pemaksaan image tanpa didukung penghayatan nilai dasar keislaman. Lihat saja, dari sekian banyak film-film Aceh kita, sangat jarang yang mengandung unsur-unsur nilai Islam dalam tampilannya, para artis Aceh pun bahkan merasa lebih pede (percaya diri) dengan meninggalkan jelbab yang menjadi identitas kemuslimahannya. Begitu juga lagu-lagu yang cenderung bermuara kepada kepada nilai-nilai kebebasan yang tidak Islami. Padahal, saat ini Negara-negara tetangga kita seperti Malaysia sedang gencar-gencarnya mentransformasi tradisi seninya dengan nilai-nilai Islam, seperti pembuatan film Ipin dan Upin, bahkan mereka lebih tegas lagi dengan melarang aksi panggung artis-artisnya yang dinilai seronok.
Menurut para seniman, secara umum seni merupakan penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantara alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara) penglihatan (seni tulis/lukis) atau dilahirkan dengan perantara gerak (seni tari, drama). Sedangkan menurut Islam, seni adalah sebuah refleksi dan ekspresi dari berbagai cita rasa, gagasan dan ide sebagai media komunikasi yang bergaya estetis untuk menggugah citarasa inderawi dan kesadaran manusiawi dalam memahami secara benar berbagai fenomena, panorama dan aksioma yang menyangkut dimensi alam, kehidupan, manusia dan keesaan/keagungan rabbani berdasarkan konsepsi ilahi dan nilai-nilai fitri yang tertuang dan tersajikan dalam bentuk suara/ucapan, lukisan/tulisan, gerak dan berbagai implementasi dan apresiasi lainnya. Seni realitanya sebagai suatu media komunikasi, interpretasi, sekaligus kreasi.
Maka dalam menilai sebuah apresiasi seni tidak dapat dielakkan dari unsur-unsur dan dimensi-dimensi integralnya yang menyangkut; keyakinan, ideologi, motivasi, pola pikir, kepekaan, kepedulian, arah dan tujuan di samping aspek gaya dan estetikanya. Oleh karenanya, tidak ada satu pun bentuk apresiasi dan karya seni yang bebas nilai.
Dalam Islam seni bukan sekadar untuk seni yang hampa nilai, keindahan bukan berhenti pada keindahan dan kepuasan estetis. Sebab semua aktivitas hidup tidak terlepas dari lingkup ibadah yang universal. Seni Islam harus memiliki semua unsur pembentuknya yang penting yaitu; jiwanya, prinsipnya, metode, cara penyampaiannya, tujuan dan sasaran. Motivasi seni Islam adalah spirit ibadah kepada Allah, menjalankan kebenaran, menegakkan dan membelanya demi mencari ridha Allah swt. bukan mencari popularitas ataupun materi duniawi semata.
Seni Islam harus memiliki risalah dakwah melalui sajian seninya, misalnya seperti film Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang kental dengan nilai Islamnya. Begitu juga nasyid-nasyid/lagu yang ditampilkan oleh group-group seperti Rabbani, Raihan, Bimbo, Saka, Opick, Izzatul Islam, Snada, Ruhul Jadid, Shautul Harakah, serta Kande-nya Rafli dengan aneka nasyid/lagu-lagunya yang Islami yang ternyata bahkan mendapat antusiasme terbesar kawula muda Aceh saat ini. Jadi, transformasi tradisi seni dan budaya kita sebenarnya adalah hal yang bisa dilakukan dengan tetap berbegang kepada nilai-nilai Islam.
Mungkin masalahnya, keengganan lah yang menjadi kendala utama karena perasaan takut menurunnya nilai-nilai komersil seni tersebut. Maka dengan realitas kesiapan masyarakat menerima seni yang bernafaskan Islam tadi, mungkin sudah saatnya pegiat seni kita kembali ke budaya seni yang mengandung nilai-nilai Islam yang mulia. Dan Aceh punya potensi untuk itu. Siapa bilang seni Islami tidak laku?