Sehingga esensi ibadah puasa sebagai medium revolusi untuk mewujudkan derajat takwa yang paripurna (Qs. Al-Baqarah:183), akan menemukan signifikansinya ketika ada pertautan antara kesalehan individu dan kesalehan sosial. Puasa yang kita jalankan di bulan Ramadan ini akan kehilangan makna, ketika komitmen kepada Tuhan sebagai manifestasi kesalehan individu tidak berbanding lurus dengan komitmen kepada makluk Tuhan (kesalehan sosial).
Bahwa puasa yang kita jalankan harus berjalan seimbang antara syariat (ritual) dengan spiritual, bukan sebaliknya menegasikan keduanya. Ritual yang tidak diimbangi dengan gerak spiritual, akan menghilangkan pesan sosial-kemanusiaan dari ibadah puasa itu sendiri. Karena ritual yang sudah terintegrasi dengan spiritual akan melahirkan individu-individu saleh yang mampu mengartikulasikan komitmen ketuhanan sekaligus komitmen kemanusiaan. Namun dalam prakteknya selama ini, ibadah puasa yang kita jalankan masih jauh dari muatan spiritualitas.
Dimana ibadah puasa yang dijalankan masih bergerak pada pemenuhan dahaga kesalehan individual, sementara banyak saudara-saudara kita yang tidak bisa menjalankan ritual shaum dan ibadah yang lainya karena berjuang untuk bertahan hidup dari jerat kelaparan. Padahal kesalehan sosial adalah bagian yang tak terpisahkan dari kesalehan individu. Bagaimana kita bisa menuju derajat takwa? Sementara proses menuju takwa yang kita lakukan masih parsial.
Ibadah puasa yang kita jalankan belum menyentuh muatan kemanusiaan (nilai sosial), ketika masih berporos pada takwa individual. Mestinya, bulan Ramadan menjadi momentum yang tepat untuk menumbuhkan nalar sosial-kemanusiaan umat beragama (Islam). Hal ini akan terjadi ketika ritual dan spiritual bersinergi dalam menggapai takwa. Selagi kita hanya menekankan aspek ritual, maka puasa yang dijalankan tidak akan pernah membawa pesan sosial-kemanusian, sehingga tidak berimplikasi pada tumbuhnya takwa kolektif.
Memang, puasa tidak sama dengan ritual-ritual lain seperti sholat dan zakat misalnya, yang mana takaran praksisnya dapat dinilai oleh publik. Sementara puasa merupakan bentuk kepasrahan secara total dan sungguh-sungguh seorang hamba terhadap Sang Pencipta. Dimana wujud ketundukan tersebut hanya yang bersangkutan dan Sang Khalik sendiri yang tahu. Sebagaimana yang tertuang dalam hadis qudsi puasa adalah kepentingan-Ku, dan Aku-lah yang membalasnya.
Agar kepasrahan tersebut betul-betul terefleksikan secara total maka menjadi sebuah keharusan untuk menghamba secara holistik kepada Sang Khalik. Dalam artian penghambaan kita kepada Tuhan, harus terjawantahkan kemaslahatanya terhadap makluk Tuhan. Kita boleh berbuka puasa dengan makanan yang enak-enak sementara ada saudara-saudara kita yang tidak dapat menikmatinya karena didera kemelaratan. Kita boleh beribadah dengan khusyu, sementara banyak saudara-saudara kita yang tidak dapat melakukanya karena diharuskan mencari nafkah untuk menyambung hidup.
Bahkan yang lebih ironis, kelebihan materi yang dimiliki bukanya digunakan untuk membantu saudara-saudara yang serba kekurangan, malah cenderung dihambur-hamburkan untuk memenuhi nalar konsumtif. Ibadah kita akan menjadi pincang kiranya, ketika muatan-muatan spiritualitas menghilang ditengah desakan ego kesalehan individual tersebut.
Saling Mengingatkan
Karena itu menjadi momentum yang tepat bagi kita semua dengan kehadiran bulan suci Ramadan yang penuh rahmat dan maghfirah ini, untuk sejenak berkontemplasi. Mari kita jadikan bulan istimewa penuh berkah ini untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan kebenaran. Mengingatkan pemimpin agar senantiasa amanah dalam memikul dan melaksanakan tanggung jawab, mengingatkan pendidik untuk senantiasa istiqomah dalam menularkan ilmu yang bermanfaat dan mengingatkan generasi muda agar tidak hanyut dalam kelalaian bermaksiat serta mengingatkan diri sendiri dan keluarga untuk senantiasa berpijak pada jalan kebenaran yang Allah gariskan.
Karena boleh jadi kesalahan dan kelalaian yang dilakukan secara terus-menerus adalah akibat sikap tidak merasa berdosa dan bersalah, sementara pada sisi yang lain tidak ada yang memberi teguran terhadap perilaku tersebut. Tengoklah sekadar contoh, perilaku para generasi kita yang tanpa merasa berdosa berboncengan penuh mesra dengan yang bukan muhrim diatas kendaraan bermotor, atau tanpa sedikitpun merasa bersalah berdua-duan dengan yang bukan muhrim ditempat-tempat sepi. Hal ini kalau tidak secepatnya diperhatikan (diingatkan) oleh kita semua, maka boleh jadi akan dianggap sebagai hal lumrah di bumi Serambi Mekah ini yang notabene sebagai negeri syariat.
Hal inilah yang diingatkan oleh Ibnu al-Jauzi dalam Shaidul Khatir, ketahuilah, ujian paling besar bagi seseorang adalah merasa aman dan tidak mendapatkan siksa setelah mengerjakan dosa. Bisa jadi hukuman datang belakangan. Dan hukuman paling berat adalah jika seseorang tidak merasakan hukuman itu. Sampai hukuman itu menghilangkan agama, mencampakan hati hingga tak bisa menentukan pilihan yang baik. Dan, diantara efek hukuman ini adalah seseorang tetap melakukan dosa sedangkan tubuh segar bugar dan seluruh keinginanya tercapai (Shaidul Khatir, 169).
Untuk itulah momentum puasa kali ini harus betul-betul terefleksikan secara mendalam antara ritual dan spiritual, dengan memperbanyak tausiyah dan saling mengingatkan. Sehingga Islam betul-betul akan menampakan wajah rahmatan lil allamin. Dengan harapan tidak ada lagi dikotomisasi hanya karena pretensi superioritas; antara yang kaya dan miskin, pemimpin dan rakyat, serta ulama dan umat, namun semuanya akan setara dalam hamparan kualitas keimanan dan derajat ketakwaan.