Ketika Perempuan Pesisir Aceh Bikin ’Bank’

0
178

Kami di sini tidak ada sanksi,
karena komitmen kami adalah kejujuran.

Beberapa waktu lalu, kami berkesempatan mengunjungi pantai Barat Aceh. Ada satu kegiatan yang sedang dilaksanakan berkaitan dengan evaluasi sebuah program institusi yang melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan rekontruksi Aceh.

Ada satu ilmu penting yang saya dapat dari perempuan pesisir di sana –bahkan para nelayan (suami mereka sendiri) iri dan ingin juga memiliki lembaga keuangan yang sama. Yakni, dua lembaga keuangan sederhana yang berkembang bagus. Lembaga tersebut bernama Kelompok Amal Usaha Mandiri (KAUM), Ummi Pesisir di Meurebo (Aceh Barat) dan Peubeudoh Gampong di Lhok Rigaih (Aceh Jaya). Untuk dua lembaga keuangan sederhana ini, kita sebut saja dengan ’bank’-nya perempuan pesisir di Aceh Jaya dan Aceh Barat.

Ummi Pesisir

KAUM Ummi Pesisir terbentuk sejak April 2009. Berawal dari diskusi kecil yang dilaksanakan para nelayan di sebuah kedai di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Ujoeng Drien Meurebo.

Awalnya, obrolan itu berlangsung santai dan berlalu begitu saja. Namun lahir beberapa topik yang membuat pembicaraan itu menjadi serius. Salah satunya adalah mengenai aset nelayan yang belum bisa menjadi jaminan bank. Berdasarkan kendala tersebut, sudah pasti mencari pinjaman sangat sulit, kecuali dengan menggunakan aset yang di luar aset nelayan. Padahal, nelayan hanya memiliki aset tertentu yang khusus dan terbatas.

Dari kondisi inilah yang membuat sebagian nelayan bermimpi untuk mempunyai sebuah ’bank’ nelayan. Untuk menampung ide awal tersebut, nelayan di Gampong Ujoeng Drien malah sudah lama melakukan arisan nelayan setiap Jumat dengan jumlah dana sekali pertemuan Rp50.000.

Tujuan lainnya yang dibayangkan adalah meningkatkan taraf hidup. Kaum nelayan tidak memiliki manajemen keuangan yang bagus, sehingga kadangkala mereka memiliki pendapatan besar ketika melaut, namun pendapatan tersebut tidak bertahan lama. Selain itu, ada masa sekitar 4-6 bulan nelayan di pesisir Meureubo tidak melaut karena musim angin barat.

Upaya meningkatkan taraf hidup tersebut, kemudian memicu perempuan pesisir untuk ’bermimpi’ lebih jauh lagi, mengenai pendidikan hingga level tinggi untuk anak-anak mereka. Selama ini, jumlah anak nelayan yang menempuh pendidikan tinggi sangat terbatas. Sebagian besar anak nelayan tergoda mendapatkankan uang secara cepat di pinggir kuala, dengan cara mencari ikan dan menjual hasil tangkapannya.

Boleh jadi paradigma berfikir sudah mulai berubah di Meureubo. Mereka sudah termotivasi untuk menggapai kemajuan, antara lain melalui manajemen keuangan dan peningkatan pendidikan anaknya.

Semangat inilah yang kemudian didiskusikan dengan anggota motivator masyarakat (MM) yang ada di Aceh Barat. Anggota MM tersebut merupakan pemuda yang dilatih berbagai ketrampilan usaha oleh lembaga pangan dunia, UN FAO. Melalui anggota MM inilah, perempuan pesisir Meureubo mengajukan diri sebagai kawasan pengembangan ekonomi pesisir.

Selama seminggu, mereka dilatih oleh fasilitator yang disediakan UN FAO. Ada 36 perempuan dan 10 nelayan. Dari pelatihan tersebut, mereka mendapat pengetahuan mengenai manajemen keuangan secara profesional, kegiatan simpan-pinjam, serta mengelola usaha-usaha lainnya.

Setelah mengikuti pelatihan, bangunan pola pikir mereka telah berubah drastis. Kondisi sulitnya mendapat pinjaman dari bank konvensional, membawa mereka berhubungan dengan rentenir. Lembaga keuangan ini sendiri suatu saat diharapkan bisa menanggulangi kebutuhan modal usaha agar mereka terhindar dari rentenir dan dapat menjalankan usahanya dengan lancar. Di samping itu, mereka bisa memfasilitasi pengusaha kecil untuk meningkatkan penghasilan secara teratur, agar disiplin dan bekerjasama dalam menjalankan usaha. Serta meningkatkan ketrampilan, memperluas pengetahuan dan mereka dalam menjalankan usaha dan meningkatkan pendapatan. Sementara tujuan jangka panjangnya adalah mampu meningkatkan standar kehidupan yang layak dan kesejahteraan keluarga.

Tidak lama setelah mengikuti pelatihan, mereka segera mewujudkan keinginannya. Ada 34 orang yang ikut, namun kini tinggal 28 orang (6 mengundurkan diri). Mereka mengumpulkan simpanan pokok sebesar Rp50 ribu dan simpanan wajib Rp10 ribu per bulannya.

Selama enam bulan saja (April-September 2009), mereka berhasil mengumpulkan simpanan sebesar Rp7 juta. Lima bulan kemudian mencapai Rp13,46 juta. Ada 18 orang yang sudah menikmati perputaran dana tersebut. Peminjam hanya boleh meminjam Rp500 ribu, dengan cicilan Rp55 ribu per dua minggu. Mereka masih memiliki kas hingga Maret 2010 sebesar Rp4,8 juta.

Sebenarnya bukan pada besarnya jumlah, namun pada semangat yang sudah mulai mereka bangun. Bahkan untuk menjaga keberlanjutan “bank” tersebut, mereka mengadakan pertemuan dua minggu sekali.

Di samping proses tersebut, mereka juga mulai mengembangkan beberapa jenis usaha anggotanya, antara lain pengolahan ikan asin (4 orang), berjualan kios (5 orang), membuat kue tradisional (3 orang), usaha kue basah (9 orang), pakaian keliling (3 orang), dan usaha katering (2 orang). Jumlah orang dalam jenis usaha tersebut dibagi dalam dua kelompok, Bungong Kupula dan Bungong Jeumpa.

Dengan kemampuan mereka, ada keinginan untuk mengubah cara hidup. Bahkan mereka berani bervisi, “menjadi lembaga keuangan syariah nomor wahid di Aceh Barat pada 2011”.

Peubeudoh Gampong

Di samping KAUM Ummi Pesisir, masih ada lembaga yang lain, yakni Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) Kelompok Amal Usaha Mandiri (KAUM) Peubeudoh Gampong, semacam lembaga keuangan mikro. Lembaga ini berada di bawah Badan Pengelola Kawasan Ramah Lingkungan Lhok Rigaih (Aceh Jaya)

Lembaga ini dibentuk perempuan Lhok Rigaih (Aceh Jaya) pada Februari 2009, dengan cita-cita yang nyaris sama dengan apa yang dibentuk di Ummi Pesisir (Meurebo, Aceh Barat), yakni memperoleh solusi modal usaha agar mereka terhindar dari rentenir, serta memperbaiki kualitas hidup hingga kualitas kesejahteraan. Ada keinginan kuat perempuan pesisir di Rigaih untuk membantu keluarganya terutama pada masa suami mereka tidak bisa melaut. Di samping itu, ingin mengubah cara hidup dan cara berusaha.

Dengan lembaga ini, mereka melaksanakan pertemuan seminggu sekali. Anggota-anggotanya difasilitasi untuk mendapatkan berbagai pelatihan usaha.

Pengurus KAUM Peubeudoh Gampong juga melakukan sosialisasi ke gampong-gampong lain, dengan harapan jumlah anggota mereka bertambah.

Di samping itu, secara rutin, pengurus juga membuat laporan dan evaluasi. Sebagaimana lembaga keuangan yang lain, mereka juga harus melapor setiap bulan laporan arus kas, laporan neraca, dan membuat pertemuan rutin.

Kini jumlah anggota mereka mencapai 43 orang, dengan total dana yang sudah terkumpul mencapai Rp33,35 juta. Dana tersebut berasal dari simpanan baku mereka Rp20 ribu dan modal awal Rp28 ribu. Dana yang sudah digilirkan mencapai Rp19,1 juta (yang boleh meminjam anggota yang berusia tiga bulan, dengan jumlah pinjaman di bawah Rp1 juta. Keuntungan yang diperoleh Rp1,4 juta dan sisa hasil usaha dalam setahun mencapai Rp700 ribu.

Ikrar KAUM

Ada sesuatu yang unik yang membedakan lembaga ini dengan lembaga keuangan lainnya, yakni mengenai ikrar dan pembacaan akad saat pengambilan pinjaman. Pengurus KAUM Ummi Pesisir dan KAUM Peubeudoh Gampong dengan bangga mengatakan: “Kami di sini tidak ada sanksi, karena komitmen kami adalah kejujuran.”

Ikrar yang dibacakan tersebut, antara lain: “Bismillahirrahmanirrahim. Adalah menjadi tanggung jawab saya kepada Allah swt untuk: (1) berikhtiar menambah rezeki untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga; (2) mendorong anak-anak untuk terus bersekolah; (3) membantu anggota kelompok bila mereka dalam kesusahan; (4) membayar kembali pinjaman setiap pertemuan; (5) Allah menjadi saksi dengan segala yang saya ucapkan dan saya lakukan.”

Hingga sekarang, mereka sama sekali belum bermasalah dengan pembayaran dari anggota yang telah meminjam.

Tulisan ini adalah hasil kalaborasi dengan Sulaiman Tripa

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.