Jak Ta Saweu, Ngat Ta Teupeu Keunebah Raja
Itulah slogan yang diusung pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VI tahun 2013. Meskipun tidak semua orang paham apa maksud dari slogan tersebut, namun ribuan manusia mensesaki arena Pesta Rakyat Aceh tersebut. Banyak yang bercerita tentang kehebatan dan kesuksesan piasan tersebut, begitu tidak sedikit juga mengalami duka dan nestapa, karena kehilangan anak atau kereta. Namun dengan slogan Jak Ta Saweu telah menghipnotis ribuan manusia dari berbagai pejuru tanah Aceh, bahkan sebagian pendudukan nusantara lainnya pergi ke arena PKA untuk melihat Keuneubah Raja.
Penulis juga mendengar banyak cerita tentang kehebatan berbagai agenda PKA, tidak hanya menampilkan peninggalan-peninggalan kuno, seperti Piring Antik, Al-Quran yang ditulis tangan oleh para Ulama Tempoe Doeloe, hasil kerajinan tangan rakyat Aceh, dan penampilan berbagai atraksi kebudayaan, tob laboh, rapai geleng, dan lain sebagaimana. Piasan rakyat Aceh ini juga meninggalkan cerita yang heroik seperti atraksi Tong Setan, Komedi Putar, Rumah Hantu Blau, bahkan PKA ini juga menampilkan tumpukan sampah mencapai 28 ton setiap harinya.
Dari cerita-cerita itu, penulis tidak mendengar dari para pengunjung tentang Keuneubah raja Aceh. Penulis juga mencari stand Istana raja Aceh dalam piasan rakyat ini untuk mengetahui apa sebenarnya keuneubah raja Aceh tersebut, sayang yang dicari tidak ditemukan. Penulis juga bertanya kepada beberapa pengunjung, apakah mereka menemukan keunebah raja dalam piasan rakyat Aceh ini? Namun umumnya tidak mengatahui apa itu keunebah raja.
Ironis, karena ada yang celetuk mungkin keyboard menjelang tengah malam itu ya keunebah raja, atau mungkin yang dimaksud keunebah raja adalah berhimpitannya lelaki dan perempuan dijalan dan area acara itu bang jawab seorang pengunjung sambil tertawa sinis. Penulis menyadari jawaban tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena memang ada benarnya. Artinya suasana dan atmosfer Pekan Kebudayaan Aceh tidak berbeda dengan piasan rakyat di wilayah Indonesia lainnya seperti Pekan Raya Jakarta (PRJ) yang juga dilaksanakan setiap tahunnya.
Penulis kembali mencari tahu Keuneubah raja seperti yang dislogankan. Akhirnya di satu sudut PKA diantara tumpukan buku-buku yang dijual oleh penjual musiman, penulis menemukan sebuah buku berjudul: Sultans of Aceh: Aceh Sultanate, Iskandar Muda, Ali Mughayat Syah, Iskandar Thani, Alauddin Al-Kahar, Zainatuddin of Aceh, Taj Ul-Alam. Penulis langsung membeli dan membaca buku yang dicetak pada tahun 2010. Mungkin ini yang dimaksud dalam slogan Keunebah raja, bisik dalam hati penulis.
Dalam buku itu penulis menemukan beberapa keuneubah yang nyata dari raja Aceh. Pengarang buku mengatakan bahwa Sultan Aceh bukan raja telah meninggalkan rakyatnya dengan penuh kemakmuran dan kesejahteraan. Rakyat kerajeun Aceh juga menjadi penduduk yang menghasilkan berbagai hasil pertanian yang kemudian di ekspor ke berbagai negara di Dunia. Pedagangan keurajeun dan yang di keunebah oleh Raja/Sultan Aceh juga sangat disegani oleh negara Eropa seperti Portugis, Spayol, Inggris, Turki dan bahkan Belanda Sendiri serta beberapa kerajaan Asia lainnya, seperti Japan, China, India, dan Juga Afrika. Raja/Sultan Aceh juga meninggalkan sistem moneter yang kuat, beberapa wilayah di semanjung Malaya menggunakan mata uang kerajaan Aceh sebagai mata uang transaksi perdagangan dengan dunia global. Terakhir raja-raja Aceh juga meninggalkan heroisme mempertahankan agama dan kedaulatan wilayah serta segala sumber daya alamnya dari jajahan bangsa Asing. Tercatat dalam sejarah Sultan Muhammad Daud Syah pada tahun 1874 menyatakan perang terhadap invansi Kerajaan Belanda (Dutch Kingdom) yang akhirnya ia tertangkap dan dibuang ke Batavia.
Penulis merasa merinding ketika membaca akhir perjuangan para Sultan Acheh masa itu, meninggalkan cerita kejayaan, kehematan, kehormatan dan jati diri ruh Islam dan Bansa Acheh yang mulia.
Keuneubah Paska MoU?
Sejarah Aceh modern kembali dimulai dengan tinta emas MoU Helsinki dan lahirnya UU No.11 tahun 2006 sebagai renaissance konstitusi Aceh abad modern, setelah sebelumnya Aceh mengunakan Qanun Meukuta Alam sebagai konstitusi dalam penyelengaraan pemerintahan di Aceh.
Melalui UU No.11 tahun 2006 ini Aceh merasa kedaulatan, kehormatan, jati diri dan ruh ke Acehan kembali setelah masa kelam 32 tahun lamanya. Aceh mendapatkan dana yang cukup besar hasil konsensus politik dengan penguasa Indonesia di Jakarta. Tahun 2013 saja seperti diberitakan sejumlah berita Aceh mendapatkan 11,7 Triliun rupiah atau sebelas ribu tujuh ratus milyar. Dana yang sangat besar untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi rakyat, seperti yang pernah ditinggalkan oleh raja-raja Aceh pada tiga ratusan tahun yang lalu.
Sebagai kerajaan dalam persatuan Indonesia, pemerintahan Aceh belum mampu melakukan apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Aceh masa Iskandar Muda. Data yang dirilis oleh Gerak Aceh dari jumlah dana tersebut baru 40% dapat direalisasikan (Isra Safril, 09/13). Tingkat kemiskinan dan pengangguran masih sangat singnifikan. Ratusan ribu pendudukan Aceh bertarung untuk memperebutkan puluhan kursi untuk dapat menjadi abdi dalem republik. Sementara Sumber Daya Alam dikuasai oleh Asing. Perusaan Nations Petroleum seperti dikatakan oleh Muhammad Slamet, vice President Corporate Services kepada Penulis menyatakan siap dan telah mendapat persetujuan dari pemerintah Aceh untuk melakukan eksplorasi Gas disepanjang celah bukit barisan provins Aceh. Sementara kerajaan Aceh abad modern ini hanya menerima revenue yang tidak jelas bagaimana pembagian persentasenya.
Disisi lain, kemandirian hanya dirasakan oleh sekompok orang dan golongan. Kemampuan Aceh dalam memerdekakan diri dari ketergantungan politik ekonomi Sumatera Utara masih jauh panggang dari api. Harapan membangun Geotermal Seulawah sebagai sumber energi listrik milik Pemerintah Aceh seperti tenggelam dalam awan hitam karena terlalu lelah memperjuangkan simbol dari pada subtansi.
Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa pembangunan di Aceh memang jauh lebih baik dibandingkan ketika dalam konflik. Sarana dan prasaran umum sudah terbangun, meskipun secara kualitas masih jauh dibandingkan dengan sarana umum di negara Skandinavia. Prilaku kleptokrasi harus dihilangkan dari pejabat birokrasi Negara, karena kepemimpinan adalah amanah seperti dikatakan oleh para Sultan dan Ulama Aceh masa lalu. Kepemimpinan bukanlah tujuan untuk menumpuk kekayaan untuk pribadi, melainkan harus dimanfaatkan dengan seksama untuk kesejahteraan rakyat.
Penutup
PKA setidaknya sudah menjadi penghibur bagi rakyat yang haus hiburan. Manusia Aceh terlena dalam Keyboard dibeberapa stand dan suara mengaji bada magribpun tidak terdengar, kerana keinginan melihat keunebah raja. PKA juga dapat melupakan sejenak tentang realisasi APBA yang masih sangat minim, melupakan sejenak kemiskinan dan angka pengangguran.
Akhirnya, seorang pengemis yang mondar mandir di arena PKA mengatakan kepada Penulis PKA ini menjadi ladang bagi saya untuk mendapatkan reseki jauh lebih banyak dari pada hari biasa, dan saya nyakin bagi orang lain yang berkuasa juga menjadi ladang mendapatkan reseki jauh lebih banyak dari apa yang saya dapatkan, mungkin ini juga yang dimaksud jak ta saweu, bah ta teupeu keunebah raja. Wallaalam.