ULEEBALANG DAN KORNTE VERKLARING

0
871

Pada masa Sultan Aceh masih berkuasa, konflik kepentingan ini awalnya dimulai oleh satu entitas kelompok politik, yang dikenal dengan Uleebalang. Pada mulanya, Uleebalang merupakan para penguasa daerah yang ditaklukkan oleh Sultan Ali Mughayatsyah, dan diberi kewenangan untuk menjalankan sistem pemerintahan, ekonomi, agama, sosial dan adat istiadat secara otonom, berdasarkan Surat Keputusan [SK] Sultan yang dikenal dengan sarakata dan disahkan dengan Cap Sikureung [Stempel Kerajaan Aceh].

Menurut Ahmad [1972], dalam bukunya Sekitar Kerajaan Aceh dalam tahun 1520-1675 menyatakan bahwa Uleebalang mempunyai kewenangan yang sangat besar, terutama mengenai urusan pemerintahan diwilayah tersebut. Namun meskipun pada dasarnya kewenangan Uleebalang dalam sarakata sebagai perpanjangan kekuasaan dari Sultan. Namun, dalam realitas para Uleebalang sudah berperan seperti seorang raja kecil di wilayah kekuasaannya tersebut. Uleebalang tersebut juga seringkali bertindak semena-mena terhadap rakyat, dan memanfaatkan kekuasaan tersebut untuk mencapai kemakmuran diri dan golongannya saja. Seperti dikutip oleh El-Ibrahimy [2001] dari buku Snouck Hurgroje yang berjudul de achehnese, yaitu: dalam segala hal para Uleebalang adalah pemeras rakyat, baik dalam hal sebagai penyedia modal, maupun sebagai penguasa yang menerapkan pajak dengan semena-mena, membangun sistem kerja paksa, dan berlaku kejam terhadap rakyat yang dipaksakan tersebut.

Pada tahun 1873, Belanda melancarkan perang terhadap Aceh. Pada awalnya, Sultan, Uleebalang, dan Ulama bersatu dan bahu membahu berjuang melawan penjajah Belanda. Namun pada saat perang sedang berkecamuk, pada saat rakyat Aceh sedang berkorban nyawa dan hartanya untuk membela tanah Aceh. Sebaliknya, Uleebalang mulai berpihak kepada Belanda dengan melakukan perjanjian (MoU) kesetiaan kepada para aggressor tersebut, yang kemudian dikenal dengan Kornte Verklaring.

Kornte Verklaring ini secara umum memuat beberapa hal (pasal), diantaranya; berisi pengakuan kedaulatan Belanda atas kerajaan Aceh; pengakuan terhadap bendera Belanda sebagai satu-satunya bendera yang sah di tanah Aceh; pengakuan tidak akan memberitakan bantuan kepada para pejuang Aceh yang sedang berjuang; pengakuan bahwa musuh Belanda juga merupakan musuh Uleebalang, dan Belanda mengakui Uleebalang sebagai raja dalam wilayahnya, yang dikenal dengan Zelfbestuurder (Ahmad, 2001).

Mengenai persekongkolan Uleebalang dengan Belanda tersebut sebagaimana ditulis oleh Paul Van t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog: Setelah pasukan-pasukan mendarat, memang ada beberapa pemuka rakyat yang rendah kedudukannya di daerah pantai datang menyerah. Diantara mereka ialah kepada daerah Meuraxa bernama Teuku Nek.

Hal senada juga dikatakan oleh Snouck Hurgronje bahwa Teuku Nek yang sedari semula pun adalah saka guru Pemerintah Belanda yang amat besar, tak lain adalah seorang penghisap dan pemeras yang sangat ulung di antara para Uleebalang.

Keperpihakan para Uleebalang terhadap Belanda ini, semata-mata karena ingin mendapatkan uang, dan dukungan untuk mempertahankan prilaku feodal dan tuan tanah. Akibatnya, ketergantungan satu pihak atas pihak lainnya dalam mencapai tujuan masing-masing Belanda sebagai kaum imperialis dan ingin menjajah, dan yang satu lagi (Uleebalang) ingin menjadi kaum kapitalis yang haus kekayaan dan kekuasaan. Inilah yang mendorong Belanda dan Uleebalang menggalang persetujuan diantara mereka dalam menghadapi perlawanan rakyat.

Hanya kaum ulama yang kemudian menjadi harapan rakyat. Teungku Syik di Tiro adalah tokoh ulama yang kemudian melanjutkan perjuangan Sultan yang telah ditawan oleh Belanda. Ia bersama rakyat berjuang melawan kaum penjajah Belanda. Sementara pada masa revolusi, perjuangan ulama yang tergabung dalam PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) menjadi garda terdepan bersama rakyat dalam melawan agresi Belanda dan juga dalam meruntuhkan sistem feodal yang dikuasai oleh para Uleebalang.

Meskipun kaum feodal dapat diruntuhkan oleh perjuangan ulama dan rakyat, khususnya setelah kemenangan ulama dalam perang Cumbok melawan Uleebalang pada tahun 1946 di bawah pimpinan Teungku Moh.Daud Beureueh. Namun, pola, prilaku, dan karakter feodalisme, serta kapitalisme itu belum juga terhapuskan.

Setidaknya, itulah yang masih tercermin di Aceh saat ini. Setelah Kornte Verklaring 2005 dengan negeri peninggalan Hindia Belanda ini ditanda-tangani, telah lahir prilaku-prilaku uleebalang baru yang kapitalis, dan haus akan kekayaan dan kekuasaan.

Ironis, tidak ada lagi kaum ulama yang menentang prilaku dan praktek seperti itu. Ulamapun terpecah dalam berbagai fraksi dan golongan. Masing-masing golongan mempunyai afiliansi dengan partai dan kekuasaan tertentu. Pun demikian, fondasi perjuangan seringkali tidak lagi atas dasar Islam, tapi atas dasar memperoleh eksistensi, kekuasaan dan menonjolkan identitas kelompok masing-masing. Islam bahkan dinilai menjadi hal yang negatif dan provokatif. Paling tidak itulah yang terjadi pada penerapan syariat Islam di Aceh.

Refleksi tentang kondisi ini, pernah dikatakan oleh Snouck seperti dikutip oleh El-Ibrahimy dari Van Kongsveld bahwa: Perang Aceh dikorbankan oleh para ulama, sedang para uleebalang bisa menjadi calon sekutu Belanda karena kepentingannya berniaga. Islam harus dinilai sebagai faktor yang sangat negative karena membangkitkan fanatisme anti Belanda (Barat, red) dikalangan rakyat. Setelah para pemuka agama ditumpas, maka pengaruh agama menjadi tipis di Aceh, sehingga para uleebalang bisa dengan mudah menguasai situasi.

Ulama memang tidak ditumpas, seperti yang pernah dilakukan oleh Van Heutsz. Namun, yang pasti peran dan eksistensi para ulama hari ini sulit menjadi garda terdepan untuk berteriak akan kebenaran dalam melawan kaum kapitalis baru. Barangkali sebagiannya telah ditumpas dengan materi (uang) atau sebagian lagi menjadi sekutu dari pemegang kekuasaan. Sementara kebanyakan rakyat masih dalam penderitaan. Barangkali inilah masalah lama yang muncul kembali, seperti kata El-Ibrahimy (2001) Indonesia tanah ulayat, tanah pusaka puluhan abad, negeri kaya rakyat melarat, bodoh pemikul beban orang Barat. Wallahualam.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.