Maka, para intelekstual, reformis, dan ilmuan setuju akan penting pendidikan yang diformulasikan sebagai kunci untuk mengangkat derajat suatu bangsa. Sehingga baru-baru ini bangsa kita tersadarkan untuk lebih membangun bangsa dengan memperhatikan di bidang pendidikan, dimana sebelumnya perhatiaannya lebih besar di bidang ekonomi. Semoga dengan perhatian khusus seperti ini akan membuahkan hasil yang baik, bukan sekedar pelampiasan di bidang keuangan bangsa.
Ribuan kata syukur kami ucapkan untuk mu guru. Jasa abstrakmu tidak sepadan dengan material jika kami hendak membalasnya. Jadi, dengan momentum HGN (Hari Guru Nasional) 25 November ini merupakan satu bukti bahwa jasa sejatinya wajib dikenang. Momentum seperti ini soyogyanya menjadi musabah bagi diri kita selaku hasil dari didikan jasa mereka. Dikatakan orang bijaksana karena orang tersebut selalu mengkritik dirinya sendiri (bermuhasabah) dan berusaha mendapat kebaikan di akhirat. Sebaliknya, orang yang bodoh adalah orang yang hanya menuruti kehendak dirinya sendiri dan mengharapkan kebaikan-kebaikan dari Allah.
Beberapa kegalauan guru
Tentu sangat banyak poin-poin yang menjadi kegalauan atau kegelisan yang dihadapi guru, baik itu menyangkut dengan hak (seperti hak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas, hak atas kekayaan intelektual, rasa aman dan jaminan keselamatan dalam menjalankan tugas, begitu juga dengan kewajiban (seperti guru yang telah tersetifikasi harus mengajar 24 jam, guru harus memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kualitas) namun, riilnya terdapat guru-gur yang masih gaptek (gagap teknologi), begitu juga dengan keluhan untuk mendapatkan kesempatan mengajar 24 jam. Yang berujung kesemuaanya itu sebagai formalitas semata.
Ketika sesuatu yang penting dianggap sebagai suatu formalitas semata tanpa ada keinginan untuk mensiasati kebijakan tersebut sebagai titik tekan untuk memajukan dunia pendidikan, maka dikhawatirkan bukan semakin membaik kualitas pendidikan kita, namun sebaliknya yang akan terjadi. Sebut saja seperti, ketetapan Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM) yang dijadikan formalitas semata tanpa memertimbangkan poin-poin apa yang yang harus menjadi pertimbangan untuk menetapkan SKBM tersebut. Sebenarnya, jika kita hendak berbicara ideal, maka SKBM ini dipandang sangat ideal untuk melihat perkembangan arus maju mundurnya mutu pendidikan di setiap satuan pendidikan. Namun, sangat disayangkan kembali ini hanya menjadi suatu formalitas semata.
Maka, salah satu kegalauan guru terlihat kembali saat menetapkan SKBM tersebut. Kemudian, hal yang menarik lagi ketika seorang guru tersebut tidak merasa galau atau sangat menikmati dunianya, padahal secara tidak sadar mereka sedang dalam masalah besar. Tidak sedikit, seseorang sangat menikmati cara mengajarnya yang sejatinya sudah harus dirubah dengan melihat hasil dari didikannya, namun lagi-lagi dia sangat menikmatinya. Konteks ini serupa, saat seseorang sangat menikmati situasi rumahnya dan menganggap isi rumahnya sangat bagus, padahal tanpa ia sadari orang sekelilingnya menilai rumah dia sudah tidak layak untuk ditempati.
Sikap muhasabah bagi guru
Bukanlah dalam hal ini, kehadiran saya untuk mengkritik atau bertingkah kurang ajar untuk memberi nasehat kepada penaehat (guru). Namun, yang menjadi titik tekan adalah kita akan memahami bahwa manusia adalah makhluk yang unik, tentu perlu cara yang unik untuk mendidiknya. Selaras dengan harapan Ali bin Abi Thalib r.a, yakni: didiklah anak-anak kalian tidak seperti yang didikkan kepada kalian, karena ia diciptakan untuk generasi zaman yang berbeda dengan generasi zaman kalian
Jelaslah bagi kita bahwa setiap generasi memiliki karakteristiknya tersendiri, dan diperlukan alat, metode, materi, dan lainnya yang berbeda juga untuk mendidik setiap generasi tersebut. Derasnya arus globalisasi atau modernisasi mumbuktikan bahwa perkembangan generasi saat ini sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Bahkan, kita tidak bisa menafikan ketika kenyataan berbicara mengenai kualitas guru dalam bersaing di era teknologi, masih cukup menggelisahkan hati kita,. Sebut saja, seperti minimnya skil guru untuk memanfaatkan teknologi yang ada dan merealisasikannya dalam dunia pendidikan.
Maka, disini guru harus bermuhasabah. Dapat dianalogikan seorang guru yang memimpikan transformasi masyarakat, sejatinya mengendalikan proses permanen atas pengembangan diri sendiri, dan tidak harus menunggu sampai ada proses peningkatan profesonalitas yang diselenggarakan oleh penguasa. Semakin sadar seorang guru akan hal ini, akan semakin banyak belajar dari praktik (pengalaman) sehingga ia menemukan bahwa sangat mungkin untuk membawa (pengalaman tersebut) ke dalam kelas yang meraka ngajar yang merupakan praktik social.
Berarti guru dalam meningkatkan profesonalitasnya tidak harus menunggu semcama pelatihan atau workshop yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah. Namun, guru dapat mempelajarinya dari setiap pengalaman praktik dari tahun-ke tahun yang sudah mendarah daging baginya. Kembali di sini sejenak kita fokus, ketika seeorang guru yang sekian lama telah mengajar dengan materi yang sama, metode, media, alat evaluasi, dan lain sebagainya yang sama pula, namun lagi-lagi out putnya masih belum terlihat baik.
Hal ini, menunjukkan guru tersebut kurang peka untuk bermuhasabah terhadapa materi, metode, media, dan alat evaluasi (kurikulum) yang telah berjalan sekian tahun lamanya. Padahal, jika sikap muhasabah ia terapkan, tentu akan membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Bayangkan, dari setiap semester yang dilaluinya, guru akan terus belajar dari setiap kelebiahan atau kekurangan kurikulum yang ia terapkan, bahkan ia akan terus peka melihat karakteristik keberagaman anak didik mereka yang setiap tahun ke tahun selanjutnya memiliki keunikan sendirinya. Maka, ia akan semakin profesinal dalam menerapkan kurikulum pada anak didiknya, bahkan lebih jauh lagi, ia bisa meramalkan kurikulum masa depan yang lebih fleksibel, kontekstual, efesien, dan lain sebagainya.
Sikap muhasabah ini setidaknya dapat menjanjikan guru sebagai tulang punggung pendidikan bangsa ini. Begitu juga dari kebijakan pemerintah dengan sistem desentralistik memberikan peluang bagi guru untuk berkreasi dan berinovatif untuk meilhat kecocokan akan kebutuhan peserta didik yang memiliki keberagaman karakternya. Untuk mu guru, dengan sifat keihklasan mu dalam mengajar menjadikan apa yang sudah kami peroleh berguna bagi bangsa dan agama. Begitu juga, dengan momentum HGN ini membuktikan pada anak bangsa ini, bahwa jasamu tak akan terbalas, sehingga tidaklah berlebihan ketika dirimu disandang dengan istilah pahlawan tanpa tanda saja. Mengejar tidak ubah seperti seorang senniman, dan kami percaya kalau guru terhebat merupakan seniman terhebat dan kami percaya hanya sedikit sekali seniman yang hebat. Mengajar mungkin merupakan seni terhebat karena medianya adalah jiwa dan akal manusia. Semoga bermanfaat, Wallah alam