The Aceh Institute: Penutupan Akses Informasi Pemilu oleh KIP dapat di Kode-Etikkan

0
160

Pernyataan Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Pandu Wibowo di koran Seramb Indonesia (19/4/2014) tentang pentingnya keterbukaan informasi terkait hasil perhitungan calon legislatif pada pemilu 9 April 2014 merupakan prinsip-prinsip demokrasi. Selain itu, menurut The Aceh Institute, tindakan ini dapat di kode etik-kan, dan juga dipidanakan jika terhadap penyimpangan data hasil pemilu.

Hasil pemilu itu adalah hak publik, tidak hanya hak penyelengara. Jadi ketika KIP, PPK, PPS, ataupun KPPS menyembunyikan data hasil perhitungan itu, merupakan pelanggaran terhadap UU No.14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik dan PP No. 61 tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU No.14 tahun 2008 tentang Informasi Publik.

Lebih rinci, peraturan KPU No.27 tahun 2013 memerintahkan penyelengara untuk mengumumkan kepada publik hasil rekap suara, seperti disebutkan pada Pasal 28 Peraturan KPU No.27 tahun 2013 PPK mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik dan Suara Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota di tingkat kecamatan di tempat yang mudah diakses oleh masyarakat dalam wilayah kerja PPK.

Artinya jika merujuk kepada PKPU itu maka PPK berkewajiban untuk mengumumkan kepublik terhadap hasil perolehan suara legislatif dan atau DPD pada pemilu 9 April 2014 lalu. Bukan sebaliknya, menutupi berbagai akses terhadap kepentingan Caleg, partai politik dan publik.

Selain itu, ketidakterbukaan informasi bagi publik yang dilakukan oleh penyelengara pemilu merupakan bentuk anti-terhadap prinsip-prinsip good governance. Jika melihat kebijakan KIP kabupaten Pidie dan Desk Pemilu Pemerintah Aceh yang menutup informasi pemilu kepublik, maka dapat disimpulkan KIP kabupaten Pidie dan Pemerintah Aceh tidak taat terhadap prinsip-prinsi demokrasi dan good governance.

Keterbukaan terhadap informasi data hasil pemilu, meskipun masih sementara dilindungi oleh UU. Termasuk UU pemerintahan daerah, dimana salah satu azaz hukum dalam UU tersebut, keterbukaan dan kepentingan umum.

Seperti diketahui bahwa hasil perhitungan pemilu, baik ditingkat KPPS, PPS, PPK dan KIP merupakan data untuk kepentingan umum. Maka publik berhak untuk menerima informasi tersebut.

The Aceh Institute, menduga ketertutupan Desk Pemilu Pemerintah Aceh dan KIP kabupaten Pidie tidak membuka informasi tentang data pemilih ke publik karena ada hal-hal yang berpotensi diselewengkan, dan atau penyalahgunaan data yang sudah masuk.

Ketidak-transparansi data hasil rekapitulasi ditingkat PPK juga menjadi potensi terjadinya gugatan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dari proses dan kebijakan yang dilakukan oleh KIP kab.Pidie tersebut. Disamping juga sebagai bentuk pelanggaran konstitusi, dan hak asasi manusia seperti disebutkan dalam Pasal 28 F UUD 45 menegaskan:

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Oleh karena itu, The Aceh Institute mendesak semua level penyelengara pemilu agar dapat memberikan akses informasi terkait hasil pemilu yang seluas-luasnya kepada publik, mendesak DKPP agar melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran kode etik dan atau pidana yang dilakukan oleh penyelengara pemilu di Aceh, karena telah melanggar pasal 2 peraturan KPU No.31 tahun 2008 tentang Kode Etik Penyelengara Pemilu, khususnya asas keterbukaan dan kepentingan umum. Jika peraturan ini dilanggara, maka sepatutnya DKPP mengambil tindakan untuk memberikan sanksi terhadap penyelenggara pemilu yang menyimpang dari aturan yang sudah ditetapkan tersebut.

Banda Aceh, 19 April 2014

The Aceh Institute

Chairul Fahmi, M.A

Direktur Eksekutif

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.