Pertama, Pidie dan Aceh Utara mendominasi perolehan KTP para kandidat. Apakah kedua kawasan ini memang lumbung suara dan penting bagi siapa pun yang ingin menjadi kepala daerah di Aceh?
Benar. Berdasarkan Data Pemilih Tetap (DPT) Pilpres 2014 Aceh Utara memang merupakan lumbung suara utama di Aceh dengan total 393.166 suara yang disusul oleh Pidie dengan total 288.651 suara, Bireun (295.499), Aceh Timur (271.531), dan Aceh Besar (246.311). Tidak bisa diingkari bahwa menguasai suara pada lumbung-lumbung ini menjadi strategi untuk memenangkan kontestasi pada level propinsi.
Kedua. Dengan mengacu pada data perolehan dan persebaran KTP, siapa kira-kira yang berpeluang menang?
Berpedoman pada data yang kita miliki berbasis pada total jumlah dukungan KTP dan dominasi persebaran di Kab/Kotamaka terlihat Paslon Zaini-Nasaruddin akan mendominasi perolehan suara diantara para kandidat independen. Dukungan terhadap Zaini-Nasaruddin berjumlah 203 ribuan, sangat mencolok dibandingkan dengan dukungan terhadap dua Paslon lainnya: PutehSaid (158.992) Paslon Zakaria-Alaiddin (154.331). Dukungan dominan untuk Zaini juga lebih tersebar yaitu di 13 Kab/Kota dibandingkan dukungan untuk Paslon Puteh (dominan di 5 Kab/Kota) dan Apa Karya (dominan di 4 Kab/Kota). Namun hal ini masih bersifat subjective, karena proses penggalangan dukungan KTP ini dilakukan oleh Zaini dalam posisi beliau sebagai incumbent. Wajar bila banyak dukungan yang mengalir untuk beliau, khususnya oleh orang-orang yang ingin mengafiliasikan diri dengan beliau, dengan segala alasan pramatis di belakangnya. Pun demikian, data ini tidak menjadi patokan final, sebab masih ada masa 6 bulan lagi bagi setiap paslon untuk menggalang dukungan lebih massive dan meraih posisi Aceh-1
Ketiga. Ada kandidat yang tidak mendapatkan selembar pun KTP dukungan dari Singkil dan Gayo Lues. Ada pula yang sangat dominan di suatu daerah. Variasi perolehan KTP di setiap daerah itu memang sangat bervariasi. Apakah ini kebetulan belaka atau bagian dari strategi?
Variasi dukungan dari daerah untuk para calon lebih merupakan sebuah kebetulan saja, karena yang dikejar oleh para calon adalah pemenuhan syarat minimal pendaftaran dimana dukungan itu diperoleh di lebih dari setengah kab/kota dalam propinsi Aceh. Hal ini tidak terlepas dari persoalan tehnis, siapa saja kaki paslon yang terdapat di setiap daerah teresbut. Maka ketersebaran yang ada saya lihat dari frame itu, disamping karena singkatnya waktu yang tersedia untuk para kandidat dalam menggalang dukungan. Baru setelah status pencalonan disahkan para kandidat akan bekerja lebih serius menuju titik kemenangan masing-masing.
Yang menarik dari pilkada kali ini adalah terkonsentrasinya para kontestan dari wilayah-wilayah tertentu saja yaitu Pasee termasuk Bireuen (seperti Tarmizi Karim, Zaini Djalil, Mualem, TA. Khalid, dan Irwandi Yusuf), dan Pidie (Apa Karya dan Doto Zaini). Maka konsekuensinya akan terjadi perebutan suara dari lumbung yang sama. Hanya mereka yang mendapatkan wakilnya dari daerah-daerah yang under-representasi saja seperti Doto Zaini dan Irwandi yang berwakilkan sosok Tengah-Tenggaradan Abdullah Puteh yang berwakilkan sosok Barat-Selatan, yang berpotensi mendongkrak suara ekstra dari wilayah-wilayah tersebut.
Hal menarik lainya dari pilkada kali ini adalah tersebarnya suara, dan yang sudah pasti adalah menurunnya suara untuk kandidat-kandidat yang yang selama ini mengandalkan heroisme dan sentimen etno-nasionalisme Aceh sebagai barang dagangan dalam memenangkan kontestasi. Hal ini sudah bisa kita prediksikan dari hasil pemilu legislatif 2009 & 2014 serta hasil pemilukada 2006 & 2012 dimana performa kandidat yang mewakili kepentingan Partai Aceh (PA) menurun secara gradual. Pemilu 2017 ini bisa diprediksikan merupakan kelanjutan dari pemilu 2012. Hal ini sesuai dengan prediksi lembaga IPAC (yang digawangi Sidney Jones), dimana masa kejayaan PA akan berakhir pada tahun 2022.
Berdasarkan fenomena politik terkini, dan prediksi dari IPAC tersebut, maka bisa asumsikan bahwa kandidat yang diusung resmi oleh PA akan memperoleh suara yang tidak se-signifikan sebelumnya. Bukan tidak mungkin, kejutan besar lainnya akan terjadi dimana kandidat yang diusung resmi oleh PA gagal memenangkan kontestasi. Publik jelas akan kecewa dengan fakta itu, namun kekecewaan itu tidak se-dramatis bila PA kalah dalam pemilu-pemilu sebelumnya. Konon lagi bila yang terpilih nantinya adalah salah satu dari 3 kandidat lainnya yang juga memiliki Trah Sinambong Wali Hasan Di Tiro: Doto Zaini, Apa Karya atau Irwandi Yusuf.
Fajran Zain
Direktur Aceh Institute
Telah dipublikasikan di harian Serambi Indonesia, Edisi Sabtu, 20 Agustus 2016