BANDA ACEH – Perpecahan terbuka antara dr Zaini Abdullah dengan Muzakir Manaf (Zikir), masing-masing sebagai Tuha Peuet dan Ketua Umum Partai Aceh (PA), dalam memberikan dukungan kepada calon presiden Republik Indonesia, menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Tak kurang ulama dan politisi pun angkat bicara, meminta kedua tokoh yang juga berposisi sebagai pemimpin rakyat Aceh itu, untuk tidak saling menyerang, meski hanya dengan kata-kata, di ranah publik.
Kekhawatiran ulama ini cukup beralasan mengingat Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf saat ini masing-masing menjabat sebagai orang nomor 1 dan nomor 2 di Aceh. Ulama berharap perbedaan politik dalam pilpres antara dua pemimpin Aceh, yaitu Gubernur dan Wakil Gubernur, sebaiknya jangan sampai saling serang di depan publik, tulis Tgk H Faisal Ali, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, melalui pesan singkat (sms) kepada Serambi Kamis (3/7). Ulama yang juga Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Aceh ini, mengharapkan kepada kedua pemimpin Aceh itu harus mampu memberikan kesejukan kepada masyarakat, apalagi dalam suasana bulan Ramadhan sekarang ini.
Kami tidak mau perbedaan politik mereka makin melebar. Utamakan komunikasi sehingga tidak ada yang terfitnah dan tersudut. Ulama menginginkan kesejukan di bulan puasa ini. Rakyat masih ada yang kesusahan yang membutuhkan pikiran dan bantuan kita semua, ujarnya.
Terpisah, politisi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Mukhlis Mukhtar SH berharap Zaini dan Muzakir mestinya netral pada pilpres kali ini, tidak perlu menunjukkan pemihakan secara terbuka.
Kedua mereka seharusnya sadar bahwa bagi orang Aceh mereka itu adalah pemimpin rakyat. Jadi, tunjukkanlah kedewasaan sikap dalam berpolitik, jangan justru mempertontonkan perpecahan yang membuat rakyat Aceh bingung dan resah karena pemimpin mereka terkesan tidak lagi harmonis, kata Mukhlis Mukhtar menjawab Serambi per telepon tadi malam.
Pernyataan serupa dia cetuskan pertama kali saat berlangsung Aceh Election Club (AEC) atas prakarsa The Aceh Institute di Hotel Grand Nanggroe Banda Aceh. Mukhlis bahkan mengusul agar poin itu menjadi rekomendasi AEC yang ke-4 untuk disampaikan kepada Gubernur dan Wagub Aceh.
Mukhlis tak ingin, Zaini dan Muzakir yang notabene duet pemimpin Aceh tampak terpecah menjelang pilpres. Contohlah Pak SBY, meski memimpin partai, tapi sebagai kepala negara ia tidak terang-terangan mendukung capres tertentu, kata Mukhlis Mukhtar.
Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Syiah Kuala, M Jafar SH MHum yang dimintai pendapatnya mengutarakan panjang lebar tentang dasar hukum dan posisi partai politik dalam proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden RI. Jafar juga menjelaskan panjang lebar tentang posisi partai politik lokal (parlok) dalam hal dukung mendukung calon, dan mekanisme yang harus ditempuh.
Terlepas dari perpecahan di pucuk pimpinan Partai Aceh, M Jafar menyayangkan terjadinya pertentangan cukup terbuka di antara dua orang yang juga merupakan pucuk pimpinan rakyat Aceh. Kalau menurut saya, pertentangan ini sebenarnya pertentangan yang lama, kebetulan meletup pada momen pilpres ini, ungkap Jafar.
Jafar menambahkan, demi kepentingan Aceh yang lebih luas, maka elite Partai Aceh yang duduk di Pemerintahan Aceh harus segera menghentikan pertentangan ini, sehingga tidak menimbulkan kebimbangan rakyat. Jafar berpendapat, soliditas antarpemimpin dan rakyat Aceh jauh lebih penting daripada urusan dukung mendukung pasangan calon presiden.
Nasib atau masa depan Aceh tidak ditentukan oleh siapa capres terpilih, tetapi ditentukan oleh rakyat Aceh, ujar Jafar seraya mengutip arti dari ayat 11 dari Surah Ar-Rad.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Belajar dari ayat Alquran itu, maka yang perlu diciptakan adalah kebersamaan dan soliditas semua komponen masyarakat Aceh agar secara bersama-sama memperjuangkan kepentingan Aceh di Jakarta. Tidak ada artinya calon Presiden yang kita dukung itu terpilih, kalau rakyat Aceh tidak solid dan tidak kompak, imbuhnya.
Jafar menambahkan, kekompakan seluruh komponen rakyat Aceh sangat menentukan hubungan dan daya tawar (bargaining) kepada pemerintah pusat. Kalau dalam satu kelompok partai saja pecah berkeping- keping, maka bagaimana kita membuat bargaining dengan pusat. Bukan hanya kompak dan solid di kalangan mantan GAM saja, tapi semua komponen masyarakat Aceh harus bersatu untuk memperjuangkan kepentingan Aceh di tingkat pusat. Bukan kita malah saling menjatuhkan di sini, ujarnya.
Terkait dengan upaya penyelesaian masalah di elite Partai Aceh ini, M Jafar mengatakan, Ketua Tuha Peuet Partai Aceh yang juga Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haythar harus segera turun tangan. Menurut saya Tgk Malik Mahmud tidak boleh diam, di sinilah peran strategis yang harus segera beliau lakukan selaku Tuha Peuet Partai Aceh dan Wali Nanggroe yang merupakan pemersatu rakyat Aceh, ujar M Jafar.
Sebagaimana sering diberitakan, Zaini Abdullah bersama Zakaria Saman yang merupakan Tuha Peuet PA mendukung pasangan Jokowi-JK, sedangkan Muzakir Manaf mendukung pasangan Prabowo-Hatta masing-masing dengan argumen dan pertimbangan tersendiri
Sumber : Serambinews.com