Unimal: Sarang Intelektual Atau Preman?

0
146

Peristiwa kekerasan itu jelas mencerminkan budaya primitif yang diperankan mahasiswa, yang memanfaatkan kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah. Bagi saya perilaku itu tidak lepas dari lemahnya manajemen pendidikan di kampus serta budaya fasismiliteristik yang tumbuh, berkembang dan mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya Aceh pasca-konflik berkepanjangan.

Selain merupakan peristiwa heriditer (biologis semata) yang mewarnai sifat manusia, tentunya aksi preman seperti itu ada pemicu yang membangkitkan emosi pelakunya. Seharusnya selaku kaum intelektual mahasiswa dapat menghindari pikiran dan sikap demikian ketika menyelesaikan masalah. Mahasiswa yang melakukan pemukulan itu telah menunjukkan arogansi dan kelemahan daya nalarnya dalam menyelesaikan konflik secara damai dan bermartabat. Sang intelektual malah berperilaku seperti preman pasar.

Menurut Horton dan Hunt (1994) kerusuhan mencakup pameran kekuatan, penyerangan terhadap kelompok yang tidak disenangi, perampasan dan perusakan harta benda terutama milik kelompok yang dibenci. Setiap kekerasan kolektif memberikan dukungan kerumunan dan kebebasan dari tanggung jawab moral, dengan demikian orang dapat menyalurkan dorongan hati sekehendaknya. Secara psikologis orang yang berada dalam kerumunan merasa bahwa tidak ada orang lain yang memperhatikan dan mengenalnya. Dan dalam kerumunan orang banyak, mereka menjadi gampang meniru perbuatan orang lain. Kondisi seperti ini menyebabkan anggota kerumunan lepas kendali, sehingga memungkinkan seseorang melakukan tindakan agresif dan destruktif. Dari sinilah lahir tingkah-laku manusia yang kejam nan sadistik. Perilaku bergerombol telah menyebabkan penurunan intelektualitas dan moral, serta hilangnya rasionalitas individu yang ada dalam kerumunan tadi.

Kejadian seperti itu sangat menarik bagi saya. Ada banyak keanehan atas penyerbuan terhadap mahasiswa Unimal itu. Pertama mengapa mereka mengetahui posisi kedua mahasiswa Unimal di pos LBH Lhokseumawe? Lantas apa yang melatarbelakangi aksi pemukulan? Siapakah aktor intelektual dibalik penyerbuan? Tiga variabel pertanyaan itu menjadikan saya sangat tertarik mengulas lebih dalam lagi akar masalah dibalik penyerangan tersebut.

Menurut saya aksi kekerasan bermula saat surat yang dilayangkan sejumlah organisasi mahasiswa seperti FKMA (Forum Komunikasi Mahasiswa Aceh), Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), SUMAK, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Hukum Unimal, DPM Fakultas Pertanian Unimal, DPM Fakultas Ekonomi Unimal, dan DPM Fisip Unimal kepada Perwakilan Komnas HAM Aceh. Isi surat itu salah satunya mengkritisi kebijakan dan menyuarakan ketimpangan kampus yang dilakukan oleh pihak rektorat Unimal. Secara tidak langsung mahasiswa menolak bentuk otoriterisme rektor terhadap mahasiswa Unimal.

Hal ini dibuktikan dari Surat Edaran Nomor 1435/H45/KM/2009 yang ditandatangani Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan. Isi surat menegaskan pelarangan bagi mahasiswa terlibat dalam organisasi yang tidak disahkan oleh rektorat dan dekan. Jika sejumlah larangan dalam edaran tidak digubris mahasiswa, maka rektorat mengancam skorsing, dilarang mengikuti kegiatan akademik, dan drop-out. Tidak tanggung-tanggung, rektorat membentuk Tim 12 yang terdiri : Bakhtiar. S.ST. MT, Asnawi. ST, Amrizal J Prang. SH, Mariyudi. SE. MM, Ir Amri. MT, Baidhawi, SP. MP, Ferry Safriwardi. ST. MT, M. Husen, MR. SP, Fajri. S.Ag. MA, Sumiadi. SH. M.Hum, Ikramuddin. SE, dan Sanusi. SE. Tujuan pembentukan tim 12 yaitu melakukan pemeriksaan terhadap seorang mahasiswa Unimal bernama Isbahannur.

Tindakan rektorat dengan mengeluarkan surat edaran itu menunjukan pengekangan kebebasan berpendapat. Ini sama dengan pola Orde Baru. Tidak mungkin mahasiswa melakukan tindakan tersebut bila tidak ada pemicunya. Kita tidak bisa menyalahkan mahasiswa, karena harus dilihat apa sebab mereka melakukan tindakan tersebut. Itu disebut hukum sebab-akibat, aksi-reaksi, ada sebab sampai ada akibat, ada aksi sampai ada reaksi. Jadi siapakah aktor intelektual di balik kerusuhan? Tentunya orang tersebut memiliki otoritas kuat di kampus itu.

Akar pemicurnya penuntutan atas trasnparansi dan akutanbilitas pengelolaan kampus serta memberikan pelayanan bagi mahasiswa secara maksimal. Banyak indikasi mengarah pada adanya tindakan penyimpangan anggaran di Unimal. Usulan melakukan audit pernah dinyatakan Moharriadi Komisi F DPRA Aceh di sebuah koran lokal pada 16 Juli 2008. Ditambahkan lagi Gerakan Perubahan Kampus (GPK) menduga dana pendidikan yang berasal dari Bank Dunia, APBN, APBA maupun dari ABPK telah digerogoti pihak yang berwenang di kampus dambaan masyarakat Lhokseumawe dan Aceh Utara itu. Setelah dugaan ini muncul sebuah tim audit dari kepolisian dan BPKP Aceh untuk memeriksa kampus tersebut. Sayang, hingga kini pemeriksaan tersebut belum menunjukan kejelasan atau penyelesaian hingga tuntas.

Mirisnya lagi sejumlah dosen Unimal yang tergabung dalam GPK mempertanyakan tindakan plagiasi karya ilmiah berupa tesis master (S2) milik seorang dosen, yakni DR Asnawi yang dijiplak oleh Rektor Unimal A Hadi Arifin, yang dimasukan ke dalam sebuah jurnal milik salah satu fakultas di perguruan tinggi negeri tersebut.

Karena itu, saya menyarankan polisi harus benar-benar serius menuntaskan penyelidikan siapa pelaku aksi anarkis tersebut dan memberikan penjelasan detail tentang akar masalahnya sehingga penyerangan itu dilakukan. Bilamana ini tidak dilakukan pihak kepolisian, maka apatisme masyarakat terhadap institusi ini kian membesar. Ini tantangan yang harus ditunjukan dengan aksi yang jelas, sehingga kepercayaan masyarakat kepada polisi akan bertambah. Biarlah proses hukum dan kerja polisi yang profesional yang akan menjawabnya.

Akhirnya, di tengah sengkarut yang terus mendera kampus negeri muda di Aceh ini, hendaknya ada proses refleksi mendalam yang dilakukan baik oleh sivitas akademika Unimal atau cendekiawan Aceh lainnya untuk menempatkan kampus sebagai pusat kecemerlangan (centre of excellence) dan bukan pusat barbarisme. Kampus harus menjadi tempat untuk berpikir dan mengembangkan nalar yang sehat bagi kemajuan pengetahuan dan pembangunan masyarakat, dan bukan sebagai perusahaan yang bisa dikelola dengan sikap otoriter, eksklusif, dan sekehendak hati. Unimal harus berubah atau sejarah yang akan merubuhkannya.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.