Di dalam Islam, kita mengenal dharuriyah khamsah (5 hal primer yang harus dipenuhi) yaitu: menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga nasab dan menjaga harta. Kelima hal tersebut wajib terpenuhi dalam kehidupan seorang manusia. Perhatian yang diberikan Islam terhadap penjagaan tersebut sangatlah besar. Dalam kasus menjaga harta yang sifat keduniawiannya lebih kentara, menurut sebagian ulama fikih Allah swt. membenarkan seorang musafir untuk ber-tayammum (bersuci dengan menggunakan debu) jika memang tidak bisa mencari air dan khawatir barang bawaannya akan hilang. Hal ini menunjukkan kesakralan ajaran Islam yang humanis dan selalu memperhatikan kemaslahatan bagi manusia.
Ibn Urfah menyebutkan bahwa dalam setiap pensyariatan uqubat (sanksi) Allah swt. selalu menyesuaikan dengan kadar perbuatan yang dilakukan. Untuk menjaga jiwa Allah mensyariatkan qishash, untuk menjaga harta Allah mensyariatkan potong tangan, untuk menjaga akal Allah mensyariatkan cambuk bagi peminum khamar dan untuk menjaga nasab (keturunan) Allah mensyariatkan cambuk dan rajam khusus bagi penzina yang sudah pernah menikah (muhshan). ( Bidayat Al-Mujtahid, II/394).
Jika kita melihat lebih jauh makna had atau hudud dalam literatur Islam maka di sana akan ada ketetapan khusus dari makna had dimana hanya ada syariat yang akan menentukan jenis dan besarnya sanksi dan tidak ada hak bagi qadhi (hakim) untuk memilih hukuman bagi pelaku pelanggaran.(lihat: Iqna IV/244, Al-Muhalla XI/118, Syarh Al-Zarqany VIII/115) Jadi secara otomatis segala tindakan jarimah/ jinayah ( menurut istilah fikih keduanya memiliki persamaan makna umum dan khusus) yang memiliki konsekuensi hukuman dengan jenis had sanksinya berlaku menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah, walaupun nanti kita juga akan melihat bahwa sebagian jinayat yang tidak diakatagorikan kepada hukuman had karena jinayat ada yang berbentuk sanksi tazir sementara setiap jarimah hudud itu harus mengikuti ketentuan dari Allah swt.
Setelah berkembangnya Islam dan meluasnya pengaruh Islam ke negara-negara baru, timbul permasalahan baru di kalangan umat Islam, termasuk di antaranya istilah-istilah yang dulunya sudah baku. Hal ini dapat timbul dikarenakan terpecahnya umat Islam menjadi syubah (golongan kecil) dan perubahan tatanan kenegaraan termasuk dalam aspek hukum pidana dan perdata.
Peristilahan zina di dalam kamus hukum Islam dan hukum positif (konvensional) sendiri sangat berbeda jauh. Jika di dalam aturan Islam, zina itu diartikan semua jenis hubungan badan di luar hukum Islam(akad) sementara di dalam beberapa undang-undang modern,makna zina dikhususkan kepada hubungan selingkuhan bagi suami isteri atau yang bersifat pemaksaan, jika dilakukan secara suka sama suka maka tidak termasuk dalam kategori zina. (Tasyri Al-Jinaai fi Al-Islam, I/305)
Menjaga nasab dalam Islam adalah hal yang sangat urgen. Tidak mengherankan jika dalam satu hadis Rasul menganjurkan agar seorang laki-laki jika ingin menikah maka hendaknya memilih calon yang baik nasab (keturunannya). Sebagaimana pula diakui dalam ilmu kedokteran/psikologi, bahwa seorang anak sedikit tidaknya akan terpengaruh dengan sifat bawaan dari orang tuanya. Walaupun kebaikan atau kejahatan orang tua tidak sepenuhnya membawa pengaruh terhadap anak.
Fungsi dari menjaga nasab adalah terhindarnya manusia dari berbagai kemunkaran. Seperti dalam hal nikah, jika zina terus menyebar maka sangat ditakutkan akan terjadi pernikahan antara satu darah yang secara tendensus telah dilarang di dalam fikih Islam. menjaga nasab juga menjadi dasar keharmonisan keluarga agar terlepas dari segala persengketaan dan fitnah yang timbul. Semua hal tersebut akan membawa kepada kekacauan persatuan umat yang sangat ditekankan di dalam Islam.
Selain penyakit individu seperti HIV yang akan menyebar, zina juga menyebabkan terjadinya penyakit sosial yang lebih parah. Hilangnya rasa kemanusian dengan melakukan aborsi akibat hamil di luar nikah, dekadensi moral yang berujung kepada kehancuran peradaban umat manusia. Semua ini bermula ketika syahwat badan manusia tidak disalurkan secara benar, padahal untuk mencukupi kebutuhan syahwat manusia dengan segala kenikmatan duniawi Allah telah mensyariatkan nikah,dalam kenikmatan tubuh Allah tetap juga melimpahkan pahala asal dilakukan dengan cara yang syari.
Jika sebagian kaum feminis turut mendukung terjadinya zina maka sama saja mereka menolak untuk dilindungi oleh hukum Islam. kebiasaan yang terjadi, dalam kasus zina,perempuan adalah objek ekploitasi. Dalam hal ini, hanya lelaki saja yang banyak mengambil keuntungan dan secara lahiriah beban yang ditanggung oleh perempuan lebih berat.
Demi kenikmatan sesaat dari hasil hubungan zina, berbagai macam kerusakan timbul. Siapa orang yang akan merawat anak zina, bagaimana pertumbuhan mental anak yang lahir dari hubungan yang tidak sah, bagaimana nasib wanita korban zina. Semua problema ini akan muncul kemudian hari tanpa dapat kita antispasi. Hanya karena sifat manusia yang senang mengejar kesenangan sesaat. Padahal sifat dari ajaran Islam itu adalah senang dalam kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena mempertimbangkan kemaslahatan manusia dan kerusakan yang akan timbul akibat zina, maka Allah swt menurunkan sanksi tegas bagi pelaku zina. Cambuk bagi lelaki dan perempuan lajang dan rajam bagi yang sudah menikah.
Sanksi ini jangan kita baca sebagai sebuah hukum asasi, artinya timbulnya hukum bukan untuk menghilangkan nyawa manusia yang dipaket dalam bentuk rajam, tetapi lebih kepada bentuk penjagaan dan preventive (pencegahan). Karena hakikatnya Allah tidak akan menghukum kita (manusia) jika kita tidak melanggar aturan-Nya, dan ketika kita melanggar aturan Allah berarti sama dengan kita menjerumuskan diri ke dalam jurang kehinaan. Ketika manusia sudah terjatuh ke dalam lumpur dosa, Allah memberinya jalan keluar untuk mencuci diri agar perbuatan yang dilakukan tidak diulangi lagi, salah satunya dalam bentuk pemberian sanksi.
Adapun dasar dari dalil uqubat zina firman Allah pada surat An-Nisa ayat 15 dan 16. Namun menurut mayoritas ulama, dalil yang paling kuat untuk menetapkan had zina adalah firman Allah pada surat An-Nur ayat 2 dan 3 yang dianggap sebagai nasikh (penghapus hukum terhadap surat An-Nisa ayat 15 dan 16) serta hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Daud dan Tirmizi yang berbunyi, Ambillah dariku, maka sungguh Allah telah memberi jalan bagi pelaku zina, bagi yang belum menikah dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun dan bagi yang sudah pernah menikah dicambuk 100 kali dan dirajam. Rajam sendiri bermakna dilempar dengan batu.
Syariat rajam di dalam Islam diterima oleh seluruh kaum muslimin pada awal perkembangan Islam kecuali kaum khawarij. Mereka tidak menerima dalil kecuali yang diriwayatkan secara mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang yang mustahil mereka melakukan kebohongan). Padahal dalam kitab fikih Islam, fakta rajam ini sendiri datang melalui lisan dan perbuatan Rasulullah saw. Dan dalil dalil itu diriwayatan oleh jamaah ahli hadis dan merupakan hadis yang muttafaq alaih (bersepakat ulama besar hadis dengannya).
Golongan Khawarij yang menolak rajam tidak serta merta menolak seluruh had yang telah ditetapkan, tetapi mereka tetap menerima hukum jilid (cambuk) 100 kali bagi pelaku zina yang menurut mayoritas ulama dikenakan hukuman rajam. Keengganan Allah untuk memberikan hukuman secara rinci dalam masalah zina ini merupakan di antara kasih sayang Allah bagi manusia, tetapi hal ini bukan dengan maksud agar kita bisa mempermainkan hukum Allah. tetap saja ketetapan yang datang dari Allah sangat jelas walaupun secara tersirat. Walaupun demikian, sanksi rajam tidak bisa dilaksanakan serta merta. Harus ada ketentuan-ketentuan yang dipenuhi agar rajam dan cambuk dapat dipenuhi seperti adanya saksi, pengakuan, tanda-tanda (seperti hamil) dan liaan Ketika kehormatan jamaah (masyarakat luas) telah ternodai, maka masyarakat pula-lah yang berhak memberikan sanksi yang dijalankan sesuai dengan hukum Allah. Hikmah dibalik pensyariatan rajam akan timbul jika zina tidak lagi merajalela. Oleh karena itu untuk mengetahui hikmah tersebut zina perlu dibasmi walaupun dengan memberi peringatan melalui hukuman yang telah ada.
Jika dikatakan rajam melanggar hak asasi manusia, maka sungguh manusia lah yang sebenarnya melanggar hak Allah bahkan hak masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu sangat pantas jika Allah memberikan hukuman apa yang pantas dan layak menurut Allah.
Rajam adalah kenyataan hukum yang harus dihadapi oleh pelaku zina yang sudah menikah, tidak ada alasan lain untuk mengganti atau menukar hukuman yang ada. Walaupun Abu Yusuf sahabat Abu Hanifah membenarkan agar orang yang berzina tersebut menikah dan terlepas dari hukuman rajam akan tetapi pendapat ini sangat lemah bahkan di dalam mazhab Hanafi sendiri. ( Badaai Shanaai, VII/62).
Pendapat beberapa ulama kontemporer yang mengatakan yang tidak sepenuhnya mendukung uqubat rajam bukan sepenuhnya dipahami demikian. Karena mereka (semisal Syekh Mustafa Zarqa dan Syekh Abu Zahra (Nidham Al-Tajrim,I/180) menanggapi hadis yang berkenaan tentang rajam adalah bukan bagian dari had akan tetapi tergolong tazir yang keputusannya dari qadhi namun mereka juga tetap menyetujui dilaksanakannya rajam bagi pelaku zina
Rajam berada dalam dua simpang penuh liku. Pertama ia berada dalam lingkup fikih Islam. Hampir semua ulama sepakat bahwa rajam disyariatkan oleh ulama klasik dan modern kecuali golongan Khawarij, bahkan ada yang mengatakan telah mencapai derajat ijma. Sementara sebagian ulama kontemporer memang ada yang tidak mengakui rajam sebagai had tetapi mereka sepakat tentang pensyariatan rajam dalam bentuk tazir namun pendapat mereka ini juga dibantah oleh mayoritas ulama kontemporer ( seperti Dr. Abdul Qadir Audah dan Dr. Ali Manshur). Sehingga pendapat paling kuat adalah tentang sahnya hukuman rajam sebagai had bagi pelaku zina yang sudah menikah.
Adapun simpang kedua adalah bermain dalam kajian sosial. Dimana upaya rajam dianggap tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia. Lalu kemanakah kita menempatkan hak Allah yang kita langgar. Kalaulah kita boleh menerapkan salah satu kaidah ushul fikih jika kita memang tidak menerima dalil Al-Quran dan hadis yang telah penulis sebutkan,jika terdapat dua kemudaratan maka diambil yang paling kecil bahayanya. Perbuatan zina adalah kemudaratan bagi pelakunya dan bagi orang di sekitarnya dan rajam kita anggap saja (walaupun dengan terpaksa) sebagai kemudaratan kedua karena menghilangkan nyawa. Maka pilihan mana yang akan kita ambil. Apakah membasmi rajam agar manusia bebas atau membasmi perbuatan zina tersebut?
Mengenai tidak terdapatnya hukuman rajam di dalam Al-Quran yang dijadikan dalil oleh orang yang inkar sunnah untuk menolak rajam, penulis mencoba menjawab dengan memaparkan sikap Umar Bin Abdul Aziz ketika didatangi oleh utusan khawarij yang menanyakan sekaligus mencela sikap Umar yang mengakui hukuman rajam bagi penzina muhshan. Umar menjawab, Apakah kalian tidak mengambil sesuatu kecuali yang ada di dalam Al-Quran? Mereka menjawab, iya, Umar melanjutkan, Beritahu aku jumlah rakaat salat wajib dan rukunnya dan beritahu aku apa saja yang diwajibkan zakat beserta ukuran dan masanya. Kemudian mereka (orang Khawarij) kembali dan tidak mendapat jawabannya. Lalu mereka kembali mendatangi Umar dengan tidak mendapat jawaban apa apa. Kemudia Umar menanyakan, dari mana kalian memperoleh cara pelaksanaannya selama ini? mereka menjawab, karena Nabi dan orang mukmin setelahnya melakukannya. Lalu Umar berkata, demikian juga dengan rajam, nabi dan khalifah sesudahnya juga merajam pelaku zina muhshan (Al-Mughni, X/119).
Imam Syaukani dan Ibn Qudamah sendiri menganggap bahwa hadits rajam telah diriwayatkan oleh orang yang hampir mencapai derajat mutawatir ( Nail al-Authar, 95 dan Mughni, X 118 ) dan bukankah kita umat Islam meyakini bahwa tidak ada dari kalam dan perbuatan nabi itu melainkan wahyu Tuhan.
Jadi Syariat rajam bukanlah sebagai pelencengan dari hukum Islam dan patut dilaksanakan. Mengingat bahaya merebaknya zina di kalangan umat Islam sangat meresahkan dengan tetap mempertahankan Islam yang membawa rahmat dan penuh kasih melalui sosialisasi dan pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya menerapkan syariat Islam serta perlunya mengubah paradigm masyarakat agar tidak memahami rajam sebagai pembunuhan tidak beradab, tetapi harus dipandang sebagai al-wiqaayah (pencegahan) merajalelanya zina di kalangan masyarakat. Wallahu Alam.