Aceh yang dikenal sebagai mercusuar Islam di Asia Tenggara merupakan basis Islam yang besar. Bahkan ketika Aceh menjadi pusat kerajaan Iskandar Muda, prinsip Islam coba diterapkan dalam segala lini kehidupan. Islamisasi pada masa tersebut tidak hanya pada masalah peribadatan saja tetapi juga mencakupi permasalahan kultural bangsa Aceh, hal ini mengulang kembali kejayaan yang diperoleh oleh endatu bangsa Aceh ketika memelopori Islam di nusantara di bawah kerajaan samudra pasai. Luasnya kekuasaan kesultanan Aceh pada masa Iskandar Muda tidak hanya mencakupi nusantara saja, tetapi merambah sampai ke semenanjung malaka dan daerah di sekitarnya. Pengaruh yang dimiliki kesultanan Aceh berlandaskan kepada tegaknya prinsip agama dalam setiap pengambilan kebijakan.
Kehendak untuk mengulang kembali sejarah emas bagi bangsa Aceh tersebut kembali muncul pada masa setelahnya. Puncaknya adalah ketika Aceh diberikan otonomi khusus bidang pelaksanaan syariat Islam dengan segenap kegiatan yang bertujuan untuk memperluas cakupan keistimewaan tersebut dalam kehidupan masyarakat, baik melalui syiar Islam ataupun pelaksanaan undang-undang Islam yang kemudian disebut qanun syariat Islam.
Setelah tujuh tahun pelaksanaanya, qanun syariat Islam terkesan sangat tertutup dan tidak berkembang. Hal ini menambah kekhawatiran bagi kita, apakah syariat Islam tidak membumi lagi di tanah rencong atau ada pemahaman yang salah dengan syariat Islam, sehingga masyarakat enggang untuk bernaung di bawah aturan Islam yang diterapkan dengan versi Aceh yang kental. Hal ini kembali menuai kontroversi ketika qanun-qanun yang dilahirkan tidak mendapat keabsahan dari eksekutif atau bahkan macet di tengah jalan. Maka polemik yang ditimbulkan pun semakin bervariasi. Di satu sisi ingin kembali kepada Aceh pada puncak kejayaan Islam, sementara itu sebagian pihak menginginkan Aceh menjadi maju dengan versi keterbukaan (permisifme), walaupun hal tersebut tidak sesuai dengan keluhuran budaya dan kearifan lokal masyarakat Aceh yang bertamadun.
Kecemasan ini juga timbul dari ulah oknum masyarakat yang mulai gerah dengan kinerja petugas pengawas pelaksanaan syariat Islam yang berbuah kepada tindakan main hakim sendiri. Selain itu, undang-undang syariat Islam juga terkadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang dengan kedok Islam. Sebut saja peristiwa heboh pemaksaan mesum yang pernah terjadi, semua ini berbuntut kepada opini masyarakat bahwa syariat Islam tidak sesuai diterapkan di Aceh.
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh, berada dalam tataran yang mencemaskan. Ketika seseorang berbicara hukum Islam, maka yang akan terbersit adalah cambuk, rajam, pemaksaan kehendak dan keterbelakangan. Semua ini lahir dari mindset yang salah tentang ajaran Islam. Kita mengklaim ajaran Islam itu adalah ajaran thaliban di Afghanistan, atau kadang kala ada yang menganggap bahwa kehidupan Islam seperti tergambar di daerah Timur Tengah yang terkenal dengan konflik dan kekumuhan. Pemahaman ini akan menjadikan upaya penerapan Islam sebagai solusi yang menyeramkan dan menempatkan ummatnya sebagai konsumer sejati.
Islam tidak terpaku kepada pembuatan sanksi (uqubat) saja. Paradigma perlu diubah. Islam tidak hanya dikenal dengan pamflet bertuliskan huruf Arab, karena di negara Arab nama gereja dan nyanyiannya pun dengan bahasa Arab. Islamisasi bukan berarti memindahkan kehidupan Timur Tengah ke dalam kehidupan kita, tetapi ajaran Islam lah yang menjadi standar. Islamisasi bukan transformasi Arab ke dalam kehidupan, tetapi penjelmaan Islam yang terangkum pada nilai-nilai kepatutan dalam realita masyarakat kita.
Pemahaman yang salah akan menyebabkan nilai Islam terkikis, kesadaran beragama muncul dari rasa takut dan stigma yang kaku, bukan kesadaran untuk memperoleh keluwesan hidup dalam dunia. Syariat Islam hanya dipandang sebagai obyek pengekangan, tidak pada nilai suci yang terkandung di dalamnya. Islam dalam pemahaman tersebut tidak akan pernah berhenti menuai kontroversi negatif, karena dasar pijakan kita ber-islam masih sangat rapuh, inilah menurut penulis kelemahan syariat Islam versi Aceh saat ini.
Hikmah di balik pemusatan periode Makkah sebagai latihan ruhani dan membentuk akidah seharusnya menjadi landasan bagi kita, tanpa bermaksud mengulangi tadarruj masa kenabian. Tetapi ada aulawiyat ( keutamaan) yang harus diperhatikan, tidak hanya pada ajaran nabi Muhammad, tetapi pada seluruh sejarah para nabi. Prinsip risalah Islam seperti ini telah berhasil membentuk seorang Abu Bakar yang rela menggadaikan seluruh harta untuk Islam, juga membuat Ismail kecil rela disembelih untuk menaati ajaran Tuhan.
Pengenalan Islam yang humanis harus bisa diterapkan dalam hidup. Solusinya bukan dengan menggadaikan nilai Islam lalu terjerembab ke dalam jurang sosialisme. Tetapi menanam ajaran Islam sehingga menancap kuat sebagai sebuah kesadaran taabbud (penyembahan) yang diaplikasikan melalui pemahaman ajaran Islam sebelum pengamalan lapangan.
Hal tersebut hampir terasa tidak masuk akal dengan kondisi kekinian di Aceh. Qanun pendidikan dikesampingkan. Pengaturan jadwal belajar yang mengacu kepada pengenalan ajaran Islam masih sangat minim. Hal ini semakin diperkeruh dengan opini buruk tentang ketertinggalan ajaran Islam. Lalu siapa yang akan menerapkan kehidupan Islam dengan kesadaran?
Kita memimpikan Islam yang menguasai peradaban seperti pernah terjadi di Madinah dan Baghdad dahulu. Dalam lingkup yang lebih kecil, kita ingin kehidupan Islam masa kesultanan Aceh tidak hanya sebagai ingatan, tetapi dapat kita rasakan dalam kehidupan bermasyarakat di era modern. ketika kita sudah beramal dengan kesadaran bahwa itu ajaran Islam adalah kewajiban dan hak kita. Pandangan ini akan merubah cambuk bukan sebagai sebuah hukuman, tetapi upaya menjaga kemaslahatan dan menjamin hak kita.